Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Senin, November 28, 2011

Mahasiswa Dan Politik Nurani



Tanggapan untuk Radhar Panca Dahana KOMPAS (3/10/11)

Oleh arif saifudin yudistira*)


Kegelisahan yang dirasakan oleh budayawan kita radhar panca dahana patut kita cermati. Radhar panca dahana di opini kompas (3/10/11) mengungkapkan adanya budaya yang buruk di negeri ini dengan menunjukkan perilaku masyarakat kita yang mengkritik pemerintah dengan simbol-simbol kenegaraan seperti karikatur, foto SBY yang memegang kemaluan sendiri sebagai kritik yang berlebihan dan mencerminkan masyarakat yang kurang beradab.

Kekecewaan radhar adalah kekecewaan kita semua, radhar pun sebenarnya memiliki kegelisahan yang sangat akan kepemimpinan presiden kita(SBY) kalau kita mau dan masih menganggapnya sebagai presiden. Kekecewaan yang sama ini digambarkan dengan kalimat : “kenyataan di negeri ini menunjukkan kerja politik lebih didedikasikan pada (upaya merebut atau mempertahankan)kekuasaan ketimbang memperjuangkan nilai-nilai luhur yang justru menjadi keadaban lahirnya politik itu sendiri : menata dan mengelola negeri semata untuk memajukan dan memuliakan manusia”.

Kekecewaan radhar sebenarnya ada dua macam ; Pertama,sindiran akan budaya kita yang identik dengan budaya halus, dan anti kekerasan, tetapi tiba-tiba mengkritik dengan cara yang seperti mencerminkan masyarakat yang tak beradab. Radhar seolah-olah ingin mengatakan ; Apa yang terjadi dengan bangsa ini?. Kedua,kekecewaan radhar akan fenomena para pelaku politik saat ini yang sibuk ramai dan berebut kekuasaan di senayan dengan mengeluarkan kritik yang dipandang tidak beradab hanya untuk memenuhi nafsu dan hasrat politiknya yakni kekuasaan.

Daulat Rakyat

Kegelisahan tersebut sebenarnya merupakan pertanyaan retoris akan bangsa dan negara kita. Yang tanpa kita tanyakan kita sudah tahu jawabannya. Ketika gerakan tokoh lintas agama menyerukan bahwa pemerintah berbohong dan inskonstitusional, para tokoh lintas agama selalu menyerukan seruan moralis : “Jangan anarki, terlalu banyak darah yang ditumpahkan, kita tidak ingin darah keluar lagi di negeri ini, sudah terlampau banyak rakyat menderita”ujar syafii maarif dalam orasi kebangsaannya di solo.

Jalan pikir dan logika ahmad syafii maarif senada dengan radhar panca dahana yang tidak menginginkan kekerasan. Pertanyaannya kemudian, apakah rakyat kita yang tidak beradab? Atau para pemimpin dan politisi kita yang sesungguhnya biadab?. Demokrasi kita mengajarkan kembali arti pentingnya kedaulatan rakyat. Muh. Hatta seringkali mengatakan : Bahwa “rakyatlah yang berdaulat, bukan negara yang berdaulat”.Artinya, uraian radhar panca dahana menjadi tidak cocok ketika dihadapkan dengan kondisi kekinian di negeri ini. Rakyat kita sudah terlampau menderita dengan berbagai kebijakan dan juga sajian drama para politisi kita, apalagi korupsi yang semakin merajalela,bahkan politisi DPR berani mengatakan ingin membubarkan KPK dalam konflik “KPK dan badan anggaran DPR”(tempo,4/10/11). Sampai-sampai Busyro muqoddas mengatakan :”Apa boleh buat, kalau memang mau dibubarkan, kami kan hanya melaksanakan undang-undang”.

Demokrasi kita saat ini memang lebih cenderung pada demokrasi liberal dan kriminal. Liberalisasi yang ada pada demokrasi ditujukan atau diarahkan untuk berbuat kriminal. Misalnya korupsi berjamaah tanpa malu-malu, saling tutup-menutupi dan gotong royong untuk merampok negara ini. Realitas inilah yang kemudian menuntun rakyat kita suka yang serba instant, bahkan mereka rela berpanas-panas di jalan raya hanya untuk mengisi perut lapar mereka walaupun dengan melakukan demonstrasi simbolik dengan membawa kerbau misalnya.

Kebebasan kita setelah orde baru yang mengekang mahasiswa terkungkung dalam kampus dan bebas dari aktifitas politik membawa mahasiswa turun ke jalan dengan aksi-aksi heroik dan aksi sosialnya. Aksi-aksi simbolis yang digambarkan radhar adalah bagian dari wujud kekesalan dan ketidakpuasan terhadap kondisi negeri ini yang dipimpin oleh penguasa yang berhaluan neoliberalisme. Tentu mahasiswa memiliki kerangka analisis yang tajam, memiliki data yang mendukung dan nalar berfikir yang bisa dipertanggungjawabkan. Kritik tajam yang simbolis ini pun kerap dilancarkan ketika masa orde baru dengan mengatakan “DPR-nya bego-bego, “presidennya impor isteri” bahkan sampai muncul poster atau puisi “suharto asu”. Kejengahan dari masyarakat menjadi hal yang dilakukan dengan aksi simbolik, menggelitik, dan menampar tapi tidak dengan aksi bom dan teror yang mencekam sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah dengan teror kemiskinan, teror kekalutan ekonomi dan sebagainya.

Kesemua aksi-aksi mahasiswa diatas dilakukan tidak lain dan tidak bukan adalah sebuah jalan politik nurani mahasiswa menyuarakan aspirasi masyarakat. Jika ada yang mengatakan mahasiswa sudah tidak berpolitik nurani, maka ini pertanda negara ini mau hancur. Sejarah telah mencatat perubahan bangsa ini dimulai dari pusat peradaban dan kebudayaan , tidak lain dan tidak bukan adalah dunia kampus-kampus kita yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat tentunya.

Tanpa kekerasan

Jika politik simbolis dinilai sebagai cara-cara yang tak beradab,apakah sudah ada cara ampuh lain yang mampu menegur pemimpin kita yang berbuat kelewatan ini?. Barangkali kita bertanya ulang terhadap radhar panca dahana : “ Pemimpin yang beradabkah ketika dikritik dan dihujat dengan simbol yang begitu keras masih diam dan menjabat sebagai pemimpin kita?”.

Budaya kepemimpinan kita memang sangat buruk, para pemimpin kita seperti menunggu kritik dan suara keras dan terus-terusan dari rakyat barulah mereka menyadari bahwa kepemimpinan mereka buruk dan juga salah arah. Seharusnya pemimpin kita meniru ahmadinejad yang memimpin iran dengan sangat sederhana sekali, rumah sederhana, fasilitas sederhana tapi tegas terhadap kekuasaan despotik dan korup. Pemimpin jepang dan china adalah contoh yang menunjukkan budaya malu penting dalam kepemimpinan kita untuk menunjukkan integritas, harga diri sebuah bangsa. Apa artinya kedaulatan bangsa yang dipertanyakan radhar panca dahana ketika negeri ini dipimpin politisi busuk dan menjual kedaulatan negerinya dengan menghamba pada asing, inferior dan korup. Gene Sharp dalam bukunya The politics of non violence action mengatakan bahwa “metode perlawanan tanpa kekerasan salah satunya dengan komunikasi publik yakni dengan slogan, simbol-simbol,selebaran, pamflet-pamflet dan spanduk-spanduk”.Metode ini dipandang lebih efektif daripada dengan metode kekerasan yang justru melahirkan pemimpin yang lebih diktator.

Dimana Pers dan mahasiswa???

“Tugas pers bukanlah untuk menjilat kekuasaan, tapi justru untuk mengkritik yang berkuasa” (PK Ojong). Lalu dimanakah pers kita berada saat ini, ketika kondisi negeri ini sudah kian carut-marut?.Jawabannya tentu terlihat dengan fenomena yang terjadi saat ini. Pers kita digambarkan tidak jauh berbeda dengan kondisi orde baru yang merangkul pers ibarat kawan sejawat.

Semenjak SBY memimpin, SBY beberapa kali memperoleh penghargaan akan apresiasinya terhadap kebebasan pers. Dari situlah kita melihat, hubungan relasional antara pers, partai politik, dan para koalisi SBY seperti aman-aman saja dan seolah pers tidak tahu apa-apa.Ini yang menjadi PR bagi pers kita agar lebih menyuarakan hati nurani rakyat kita.

Hal ini tentu berbeda dengan politik nurani mahasiswa, meskipun ada beberapa demonstrasi dan budaya kritik yang identik dengan politik uang, masih banyak mahasiswa yang mengkritisi pemerintah melalui budaya tulis, budaya orasi ilmiah dan juga aksi-turun kejalan dengan menyuarakan suara rakyat. Sehingga,kritik radhar perlu kita dengar, akan tetapi kita perlu memperoleh jawaban “politik yang baik” yang seperti apakah jika membiarkan penyalahgunaan kekuasaan(abused power) ini terjadi terus-menerus dan mendiamkan rakyat kita makin banyak mati dengan sendirinya dan menjadi korban kedzaliman rezim???.Tentu radhar punya jawabannya.


*)Penulis adalah aktivis IMM SOLO, presidium kawah institute indonesia






0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda