Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Selasa, November 22, 2011

Menebus Kekalahan!!!



Oleh arif saifudin yudistira*)

Hampir seluruh masyarakat indonesia menyaksikan pertandingan final sea games sepak bola kita di layar televise kita. Kemenangan di beberapa cabang olahraga lain seperti tidak bisa menghasilkan senyum yang lebar, mengingat sepak bola seakan-akan menjadi kunci bagi kemenangan sejati. Ada apa dengan masyarakat kita?. Apakah sedemikian kalah negeri kita?.

Sepertinya negeri ini memang sama sebagaimana yang dikatakan pramudya: “kita sudah melawan mak, melawan dengan sepenuh tenaga”(bumi manusia). Siapa yang kita lawan?. Sepak bola adalah cermin, bahwa keberuntungan sekalipun seperti menjauh bagi indonesia. Meskipun kita sudah melawan, melawan dengan sekuat tenaga.

Final SEA GAMES XXVI tidak hanya sebagai symbol bahwa negeri ini memiliki riwayat yang cukup sengit dengan Malaysia, negeri ini cukup pelik dengan persoalan TKI, persoalan perbatasan wilayah yang menuntut pada satu emosi bahkan nasionalisme kita terusik. Sepak bola sebagai bagian dari simbolisasi itu, ternyata tidak mampu membuat kemenangan berfihak pada negeri ini. Yel-yel “ganyang Malaysia”, “malingsia” seperti tak punya makna?. Apakah ini cerminan kekalahan bagi republic ini?.

Sepak bola tak jauh dengan cerminan pemimpin negeri ini, sepak bola menggambarkan bahwa negeri ini sepertinya bakal jadi negeri kalah dan jadi negeri mainan bagi Negara-negara lain. Apa jadinya ketika kebijakan-kebijakan pemerintah pun tak bisa dibanggakan oleh rakyatnya?.Sepak bola sebagai simbolisasi dan alternative terakhir untuk melampiaskan rasa kekecewaan, rasa kesal, dan juga rasa emosi dari nasionalisme yang terusik,ternyata tak mampu menampik kesimpulan bahwa negeri ini negeri yang kalah.

Sepak bola dan politik

Ada kebangkitan dan rasa optimisme ketika sepak bola di negeri ini mulai mengalami perbaikan paska pergantian kepemimpinan PSSI. Ada perbaikan manajemen, perbaikan system, perbaikan regenerasi, namun belum mampu ditunjukkan dalam waktu dan momentum sea games kali ini. Siapa sangka sepak bola kita tak ada politik?.Siapa sangka sepak bola bukan perkara politisasi para pemodal, para korporat ?. Jangan kita terlalu lemas melihat kekalahan kita, tapi ada yang perlu di waspadai, yakni kemenangan korporasi yang meraup keuntungan dari iklan di sea games ini, rating iklan yang melonjak tajam, juga manajemen yang memperoleh keuntungan yang cukup, sehingga mereka tertawa lepas, dan sambil menertawakan kemenangan kita.

Persoalan sepak bola pun menyentuh pada persoalan citra, Bukankah ketika sea games menang, atau sepak bola kita menang, ada pula pihak-pihak merasa diuntungkan dan mempolitisasi sepak bola kita?. SEA GAMES adalah cermin bahwa SBY layak dijunjung, tapi kita melupakan kasus korupsinya nazarudin?.

Tak hanya sepak bola

Nasionalisme kita tak hanya dicerminkan dan diwujudkan dari sepak bola kita, sepak bola memang bagian dari simbolisasi itu, dan merupakan satu-satunya yang paling tidak bisa dibanggakan karena lama sekali kita memperoleh kekalahan dari Malaysia terus menerus. Mengapa nasionalisme kita tak melebar pada persoalan politisasi penyiksaan TKI di arab Saudi dengan memberikan hadiah gelar doctor honoris causa pada raja arab Saudi karena dianggap bisa melindungi TKI kita?. Mengapa kita tak marah-marah dan melampiaskan kemarahan kita memenuhi jalanan-jalanan kita ketika TKI kita dibunuh, dipancung,disiksa di negeri orang?.

Nasionalisme kita pun mesti kita pertanyakan ulang?. Negeri ini menjadi negeri kalah bukan karena persoalan bangsa lain, tetapi juga mentalitas kita dan pemimpin yang perlu pembenahan di sana-sini.Kita jadi bangsa yang cepat lupa, bahwa sejarah kebesaran negeri ini dibangun dengan persatuan yang kokoh dan kuat barulah berteriak ganyang Malaysia. Kalau kita belajar dari sukarno, dengan semangat mengenyahkan kapitalisme gagal karena kurang adanya persatuan yang kokoh, dan perhitungan yang matang. Sebagaimana sukarno waktu itu,SEA GAMES kali ini seperti menunjukkan demikian juga. Negeri ini perlu latihan, persiapan, persatuan yang kokoh bagi semua elemen. Tak hanya pemain, pelatih, manajemen, bahkan supporter yang tertib dan santun perlu juga kita tata. Negeri ini perlu belajar menerima kekalahan, bukan untuk menyesali,tapi menyadarkan kembali bahwa sepak bola adalah cerminan dari nasionalisme, cerminan dari politik, ekonomi, dan budaya kita.

Pertanyaannya kemudian, setelah kalah sepak bola dengan Malaysia terus bagaimana?.Apakah akan diam dengan menyesali kekalahan, tentu tidak demikian. Kekalahan ini adalah pelajaran penting sebagaimana yang sudah dilakukan para pendahulu kita, kemenangan tidak bisa diperoleh dengan cepat, instant, dan butuh proses yang panjang untuk itu.

Bukankah momentum kepemimpinan indonesia di ASEAN adalah momentum yang baik untuk melakukan itu?.Jika momentum ini tidak dimanfaatkan,maka kekalahan telak akan kita terima. Bukan hanya kalah dalam sepak bola, tapi juga ekonomi,social, politik, dan lain-lain. Kita masih punya optimisme untuk itu, kepemimpinan ASEAN mestinya adalah jawaban dan tantangan bagi kekalahan sepak bola pada SEA GAMES kali ini.

Mampukah kita melakukan hal tersebut?. Tinggal bagaimana mentalitas inferior itu harus dihilangkan, melainkan membangkitkan kembali mentalitas yang dibangun oleh sukarno waktu itu, kita menjadi bangsa yang “jatuh, bangkit kembali, jatuh, kemudian bangkit kembali” yang memiliki jiwa bangsa yang kuat dan tidak mudah lapuk dimakan zaman.

*) Presidium Kawah Institute Indonesia,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda