Tragedi Dan Ironi “Wong Ndeso”
Oleh arif saifudin yudistira*)
“Kembali ke laptop…katrok…dasar ndeso!!!….”adalah jargon yang sering dipake thukul arwana presenter dan pelawak yang terkenal “ndeso”nya. Jargon tersebut menunjukkan bahwa orang desa kerap dihadirkan sebagai sosok yang lugu, tidak banyak tahu apa-apa, gagap teknologi, dan tidak gaul. Kehadiran Thukul sebagai sosok pelawak “ndeso” memang mencoba menggali dan mengingatkan kota yang penuh hiruk-pikuk dengan segala kemewahannya, dengan segala modernitasnya, dan kemajuan teknologinya hingga melupakan, meminggirkan dan menghilangkan identitas orang desa. Sosok Thukul mencoba mengembalikan itu dengan gaya lawaknya yang khas. Gaya lawak Thukul mengajak kita mengembalikan memori kolektif kita bahwasannya tidak selayaknya kita melupakan identitas kita berasal, yakni dari desa. Yah, kita ini orang desa, dan berasal dari sana.
Imaji orang desa juga dihadirkan oleh koes ploes dalam lagunya “gadis desa jadi biduan”.Di lagu tersebut koes ploes menggambarkan potret gadis desa yang datang ke kota menjadi biduan tapi lupa identitas kulturalnya, lupa identitas social dan kehilangan dirinya, sehingga ia merasa perlu mengubah dan menghilangkan identitasnya dan melebur ke dalam identitas kota. Identitas kota yang penuh dengan cap “maju, gaul, modis, dan tidak ketinggalan zaman” menjadi impian orang desa ketika hijrah ke kota.
Namun, saat ini kehadiran desa menjelma dalam ruang-ruang komoditas. Baik pada komoditas ekonomi, maupun komoditas politik. Dalam komoditas ekonomi, banyak produk yang memanfaatkan citra “orang desa”(wong ndeso) yang melekat pada artis. Dalam komoditas politik, kita juga mendengar jargon “bali ndeso mbangun ndeso” yang menjadi sihir politik bagi rakyat dalam kampanye. Alhasil, produk-produk ekonomi kita laku keras, dan kampanye politik politisi kita juga berhasil memperoleh kemenangan.
Ironi
Desa tidak hanya menjadi komoditas politik dan ekonomi dalam perkembangannya. Akan tetapi desa juga sebagaimana yang distereotipkan selama ini. Orang desa tetap saja menjadi sosok yang terpinggirkan, tersingkirkan dan tetap miskin. Harapan orang-orang dusun yang bermigrasi ke kota dengan berbagai khayalannya tak mampu mengubah nasib dan keadaan orang desa.
Sebenarnya kisah pahit ini sudah pernah dituliskan jauh-jauh hari oleh pramudya dalam cerpennya “Jakarta”. Simaklah peringatan pram berikut : “Jadi beginilah, kawan. Jakarta merupakan impian orang daerah. Semua ingin ke Jakarta. Tapi Jakarta sendiri hanya kelompokan besar dusun, bahkan bahasa perhubungan yang masak tidak punya. Anak-anak menjadi terlampau cepat masak, karena baji-baji, kanak-kanak dan orangtuanya digiring ke dalam ruangan-ruangan yang teramat sempit sehingga tiap waktu mereka bergaul begitu rapat. Masalah orangtua tak ada yang tabu lagi bagi kanak-kanak. Kewibawaan orangtua menjadi hilang, dan segi-segi yang baik daripada perhubungan antara orangtua dan anak dahulu, kini menjadi tumpul. Agama telah menjadi gaya kehidupan, bukan perbentengan rohani yang terachir.
Dalam cerpennya pramudya mengingatkan tentang sosok orang dusun yang sia-sia mendambakan impiannya dan mempertaruhkan hidupnya dijakarta. “Jakarta hanyalah kelompokan besar dusun” yang dengan kehadiran kita justru mempercepat runtuhnya dusun tersebut. Imajinasi kerja hanyalah impian semata, sebab Jakarta justru menghadirkan sebaliknya, kekerasan, kesengsaraan dan kemiskinan.
Desa telah jadi ironi dalam imajinasi orang-orang modern saat ini. Yang kalau kita kaji lebih dalam apa yang mereka harapkan sebenarnya ada di desa. Kehidupan yang tenteram, suasana yang akrab, budaya gotong-royong, serta kekayaan alam yang melimpah justru berada disana. Pendidikan telah mengubah imajinasi “wong ndeso” menjadi akarab dengan dunia kerja, status social, pekerja kantoran, hidup lebih kaya, dan akrab dengan nuansa kemajuan. Mas marco kartodikromo mengisahkan ini dengan baik dalam novelnya “student hidjo”. Hidjo diperingatkan oleh ibu dan ayahnya agar menjaga kesopanan dan cara berpakaiannya. Pendidikan membuat orang desa mengubah identitas mereka dan melupakan riwayat biografis mereka.
Realitas desa
Desa sebenarnya akrab dengan nilai-nilai filosofis dan khazanah yang luhur. Wejangan, pitutur dan juga kekayaan cultural begitu kaya di desa. Sebagaimana petuah orang jawa berikut : “Nge’li ning ora ke’li” yang maknanya ikut mengikuti perkembangan zaman, tapi tidak ikut arus dalam gemuruh dan tergelincir dalam arus jaman tersebut. Masih banyak pepatah yang lain yang berasal dari desa, misalnya di bali “Limane’ ane’h ngisiang tampul aneh’- ane’he ngisi pedang”yang artinya hukum dan patokan yang kokoh akan berani melawan kebatilan yang menghadang.
Selain itu, desa begitu lengkap dengan berbagai sumber daya alam dan kebutuhan kita. Kita seringkali lupa apa-apa yang ada di kota sebenarnya dipasok dari desa. Seperti beras dan bahan pokok lainnya, begitupun sumber daya manusia di kota adalah pasokan dari desa kita. Desa juga menggambarkan suasana pemerintahan yang dinamis, tenteram, dan penuh kedamaian yang sangat jauh berbeda dengan suasana di kota.
Oleh karena itu, sudah selayaknya desa kita bangun kembali. Dan menjadikannya sebagai subjek bukan objek dari pembangunan, serta tidak hanya menjadikannya sebagai lelucon tapi jadi motor perubahan bagi bangsa ini. Bukankah perubahan Negara-negara besar di dunia ini juga berasal dari peran besar orang desa?. Bukan sebaliknya kita tinggalkan dengan berduyun-duyun dan melupakan identitas,riwayat, dan biografis kita yang justru membuat tragedy dan ironi orang desa(wong ndeso). Begitu.
*) Penulis adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, bergiat di kawah institute indonesia
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda