Imajinasi Pernikahan Yang Sakral
Oleh arif saifudin yudistira*)
Pernikahan bila ditinjau dari ilmu pengetahuan, kita akan mengenal sejarah sexology sebagai sejarah yang kerap intim dengan berbagai simbolisasi. Laki-laki disimbolkan dengan sosok yang utuh, dan perempuan diidentikkan dan disimbolkan sebagai paruh atau separuh. Maka kehadiran wanita dalam kehidupan ini adalah pelengkap tulang rusuk yang hilang ini. Ditinjau dari perspektif teologis, pernikahan adalah manifestasi penyatuan kembali sosok yang hilang, sosok yang hilang itulah perempuan.
Perempuan hadir sebagai entitas yang sempurna, kehadirannya melengkapi dalam alam mikro kosmos. Alam mikro kosmos menjelma dalam fisiologis berupa rahim, perempuan adalah rahim, sedangkan laki-laki adalah yang membuahi rahim. Maka entitas pernikahan dan segala hal yang berkaitan dengan hal tersebut adalah sakral ditinjau dari sisi religiositas. Sisi religiositas memandang bahwa pernikahan dihukumi wajib jika sudah mampu lahir dan batin, hukum nikah menjadi makruh bila tidak mampu secara lahir dan batin untuk motif tertentu dan nikah dihukumi haram bila hanya untuk menyakiti dan untuk mengambil harta orang yang mau dinikahi saja.
Sisi religiositas memandang bahwa agama menghalalkan nikah jika memang sudah mampu. Nikah dipandang tidak hanya untuk sekadar kenikmatan biologis saja, tetapi untuk mengekalkan peradaban. Peradaban itu dilahirkan dengan pelestarian konsepsi dan budaya manusia melalui pelestarian keturunan. Maka secara biologis, menikah merupakan penyempurnaan pertemuan dua entitas yang terpisah.
Ibnu Al-arabi pernah menuliskan ini :”Tubuh manusia pertama yang terwujud adalah adam.Ia adalah Ayah pertama jenis makhluk ini.Kemudian Tuhan memisahkan darinya seorang Ayah kedua bagi kita yang disebutNya ibu.Maka benarlah jika dikatakan bahwa Ayah pertama ini mempunyai satu tingkat lebih tinggi dari pada ibu, karena Ayah adalah asalnya(Ibu)”.
Maka sejarah penciptaan manusia adalah kesatuan. Kesatuan itulah yang kemudian menciptakan peradaban manusia hingga saat ini. Lebih lanjut Al-arabi menjelaskan :”Kaum perempuan dibuat sebagai yang dicintai karena mereka adalah lokus yang menerima aktifitas untuk mewujudkan bentuk yang paling sempurna daripadanya.Tidak ada lokus yang menerima aktifitas mempunyai kesempurnaan istimewa ini”.
Patologi Cinta
Freud menjelaskan yang dituliskan dalam Erich Fromm dalam “The art of love “ : “Bahwa manusia didorong oleh suatu keinginan yang tak terbatas untuk penguasaan seksual terhadap semua wanita, dan bahwa hanya tekanan masyarakatlah yang mencegah manusia dari tindakan menuruti nafsunya”. Bagi Freud, tindakan pelecehan seksual, tindakan yang berorientasi pada nafsu hanya dapat diselesaikan oleh tekanan dari masyarakat dan pencegahan dari masyarakat kita. Ketika masyarakat menganggap ini sebagai sesuatu yang didiamkan, maka hasrat dan naluriah manusia tersebut justru semakin menjadi.
Erotika media massa, serta pergaulan masyarakat modern hadir dalam budaya-budaya yang tak terkontrol. Budaya barat menjelma menjadi perilaku masyarakat kita dengan paradigma barat bahwa hubungan lawan jenis dimaknai sebebas-bebasnya. Maka budaya kita menjadi budaya yang mereduksi pergaulan dan misi suci pernikahan.
Imajinasi yang sakral
Imajinasi pernikahan adalah imajinasi yang sakral. Sakralitas dalam pernikahan diwujudkan dengan kebersatuan kepentingan, jiwa, hingga pada cita-cita membangun keturunan dan pewarisan nilai-nilai budaya dan peradaban manusia. Maka pernikahan tidak bisa dipandang sebagai aktifitas yang terpisah dari fisik dan jiwa. Yang terjadi saat ini, aktifitas pernikahan menjadi hilang kesakralannya. Para pemuda-pemudi saat ini menganggap pernikahan sebagai hal yang dilakukan setelah mereka melakukan sex setelah nikah. Nikah dipandang sebagai pelengkap sex tersebut.
Maka sex in the cost menjadi culture yang tidak asing di setiap perguruan tinggi. Data menunjukkan bahwasannya hubungan antara mahasiswa dengan dosen, antara mahasiswa dengan mahasiswa dalam melakukan hubungan nikah menjadi hal yang dilakoni setelah mereka melakukan hubungan sexual. Kenikmatan dan penyatuan jiwa direduksi menjadi pleasure(kenikmatan).
Kampus menjadi entitas yang melindungi ini dan menutupi ini demi citra. Citra akademis menjadi hal yang diutamakan padahal nikah mesti dimaknai sebagai penyatuan dua entitas yang terpisah, nikah itu mulia dan memuliakan kita. Nikah muda justru hadir sebagai jawaban yang premature karena peradaban manusia direduksi sekadar untuk menghindari pergaulan bebas. Hingga kualitas pernikahan tidak diperhitungkan baik sisi usia maupun bagaimana pernikahan membangun peradaban, alhasil pernikahan jadi buruk ketika konflik dalam keluarga tidak bisa diatasi oleh orang yang nikah muda.
Dalih rejeki akan dimudahkan, tentu akan didukung dengan kemampuan dan kedewasaan para pemuda dan mahasiswa yang melakukan nikah muda dengan kesiapan mental maupun spiritual.Meskipun realitas memberikan jawaban lain, bahwa nikah muda tidak didukung oleh sarana dan prasarana layaknya di Iran yang lengkap dengan berbagai fasilitas penunjang dari pemerintah. Sehingga nikah muda sering diakhiri dengan cerai gara-gara persoalan ketidak matangan secara ekonomi maupun psikologis, hingga persoalan keturunan yang tidak sehat.
Nikah sebagai tradisi
Di beberapa daerah dan suku di indonesia, pernikahan adalah budaya yang berjalan biasa. Nikah muda adalah keterbatasan mereka dalam membentuk dan membangun peradaban selanjutnya dan untuk melindungi arus modernitas. Nikah muda dijadikan sarana untuk motif bahwa pemuda harus segera meneruskan keturunan dan mengolah tanah yang ada di suku-suku dan daerah mereka. Lihatlah budaya suku samin, dan budaya di beberapa daerah pelosok di nusa tenggara barat, di papua, bugis, dan lain sebagainya.
Pernikahan bukan perkara modal atau kapital, tapi pernikahan adalah sarana pertemuan antar suku antar budaya, dan pelestarian alam mereka. Berbeda dengan di bugis atau dayak dan pelosok di indonesia, tradisi di sumatera dan madura menunjukkan hal lain. Pernikahan di kedua wilayah tersebut dipandang sebagai sarana untuk mewujudkan budaya mereka yakni budaya rantau. Budaya rantau dilakukan karena imajinasi perantuan membawa pada imajinasi kemakmuran, kesejahteraan dan kematangan.
Maka di kedua daerah tersebut, menikah dijadikan motifasi bahwa kematangan itu harus diperoleh melalui pernikahan dan perantauan. Aktifitas ini tidak bisa terlepas dalam budaya masyarakat di kedua wilayah tersebut. Maka menikah bukan persoalan kapital, tetapi persoalan harkat dan martabat lelaki sebagai sosok yang mampu mengayomi dan matang dalam membentuk dan membangun keluarga.
` “Imajinasi pernikahan hadir sebagai imajinasi yang suci, sakral dan penuh dengan motif mulia sebagaimana yang dititahkan Tuhan. Menikah adalah sarana membangun peradaban dan meneruskan generasi dan melestarikan visi dan misi kemanusiaan. Maka pernikahan adalah persoalan yang tak terlepas dengan kemampuan dan kekuatan manusia secara lahir dan batin yang membutuhkan persiapan matang. Sehingga persoalan modal adalah hal yang menopang,tapi tidak menutup kemungkinan,kekurangan modal digunakan sebagai motif bagaimana membangun kerja spiritual dan kerja fisik untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang ditanggung dalam pernikahan”.
Maka kapital bisa dipandang sebagai sebuah sarana untuk mendukung atau sebaliknya dijadikan motif yang jahat untuk menjadikan perempuan atau lelaki yang dinikahi sebagai sarana untuk memperoleh harta tersebut. Dan pernikahan pun menjadi hilang kesakralannya, karena motif harta, kuasa, pamor, dan wilayah-wilayah material. Akhirnya pernikahan menghilangkan misi sucinya “melestarikan keturunan, dan visi-misi umat manusia sebagaimana fitroh manusia sebagai kholifah di bumi ini” untuk mewujudkan masyarakat yang beradab.
*)Penulis adalah Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, bergiat di Kawah institute Indonesia, tulisan tersebar di berbagai media massa dan juga majalah nasional. Bisa dihubungi di tan.muda@yahoo.com
*) Tulisan Dimuat di MAJALAH PABELAN EDISI DESEMBER 2011
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda