RUU perguruan Tinggi Dan Otonomi mahasiswa
Oleh arif saifudin yudistira*)
Mahasiswa selalu ramai dengan geliat aktifitas dan dinamika politik serta ekspresinya. Ekspresi intelektual ataupun ekspresi social sebagaimana yang diungkapkan oleh Tilaar (2001) Pendidikan yang baik tak melepaskan dari realitas di masyarakatnya. Seringkali aktifitas dan geliat mahasiswa menarik bukan saja karena ide-ide perubahannya dan cita-cita yang menghebohkan, tapi juga semangat heroic yang melekat padanya.
Etos akademik membawa mahasiswa tak hanya jadi makhluk individualisme semata, tapi juga membawa pada konsekuensi moral bahwa aplikasi keilmuan dari mahasiswa perlu diberi ruang dan membutuhkan wadah yang cukup untuk mengembangkan potensi kemahasiswaan tersebut. Sudah dari dulu, peran mahasiswa sebagai tonggak dan pelopor dalam pembangunan sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya tak perlu kita nafikkan. Begitupun harapan-harapan para kaum tua pun bertumpu pada anak muda. Syafii maarif pun berharap besar pada perguruan tinggi dimana mahasiswa bisa melakukan perubahan dan memberikan alternative solusi dari persoalan kebangsaan ini.
Aparatus ideology
Beragam fihak dan berbagai lembaga pun ingin berebut pengaruh, berebut ruang dan memperebutkan posisi dan letak strategis dari mahasiswa ini. Melalui berbagai cara salah satunya melalui kebijakan pemerintah, muncullah para pemegang kepentingan untuk mempengaruhi, mengkader, membina mahasiswa dalam kerangka kepentingannya. Salah satu lembaga paling efektif adalah perguruan tinggi. Disanalah berkembang paradigma keilmuan,mentalitas mahasiswa terbentuk, juga kebudayaan mahasiswa dilahirkan.
Disanalah apparatus ideology memainkan peranannya, dengan demikian, kampus dipandang sebagai tempat yang cukup empuk dengan masuknya berbagai kepentingan melalui program-program pemerintah, program kerjasama dengan swasta, juga lembaga-lembaga lain yang memiliki kepentingan terhadap perkembangan mahasiswa ke depan.
Pemerintah, melalui RUU Perguruan tinggi membuat peranan mahasiswa seperti tak ada gaungnya. Mahasiswa tak diberi tempat dalam memberikan pengaruh,sumbangsih, dan tetap saja ditempatkan sebagai objek dari kebijakan perguruan tinggi. Sedangkan perguruan tinggi adalah objek dari kebijakan pemerintah baik pendidikan swasta maupun negeri. Meski tidak kentara, kurikulum tetap menjadi monopoli pemerintah dalam menentukan arah perguruan tinggi kita. Alhasil, mahasiswa semakin tak bisa mengulangi kejayaan di masa lalu, ia bisa lebih lentur dan leluasa mengelola administrasi, mengelola keuangan dan konsep kemandirian dalam organisasinya.
Otonomi kampus vs otonomi mahasiswa
Sejauh ini, tak muncul kreatifitas mahasiswa yang tidak dibawah monitoring dari kampus dalam hal ini birokrat. Pengembangan kewirausahaan menjadi sebatas penyaluran dana pemerintah yang dijadikan legitimasi bahwasanya pemerintah memiliki relasi dan kepedulian terhadap mentalitas wira usaha mahasiswa. Begitupun pengembangan kemahasiswaan yang bertumpu pada pengembangan intelektualitas dan gagasan mahasiswa.
Yang aneh, penelitian mahasiswa pun ikut melengkapi rak-rak penelitian yang juga dari lembaga ilmu pengetahuan yang terlantar. Penelitian kita pun dikatakan kalah telak dan belum dimanfaatkan secara maksimal(kompas,24/11/2011). Akhirnya, mahasiswa pun tak tahu penelitiannya lari kemana dan difungsikan untuk apa, logika yang muncul adalah mahasiswa puas karena mendapatkan imbalan berupa uang yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan kesehariannya. Intelektualitas mahasiswa jadi tak berharga, bahkan tak lagi dipedulikan, cukup dihargai dengan uang pembinaan dan hadiah saja. Kejadian diatas adalah salah satu contoh dari otonomi kampus, atau otonomi birokrat, lebih jauh lagi otonomi pemerintah yang jadi alat kuasa untuk mengontrol mahasiswa, menentukan mahasiswa mau jadi apa, dan yang tidak mengenakkan adalah kreatifitas mahasiswa jadi terbelenggu dan tak maju.
Hal ini menandakan bahwasannya otonomi kampus atau birokrasi lebih dominan dari pada otonomi mahasiswa. Sehingga yang terjadi mahasiswa tetaplah menjadi objek kebijakan, tak memungkinkan merubah kebijakan. Melalui NKK/BKK format baru itulah mahasiswa tak beda dengan sapi perah yang siap disedot hasilnya dan juga dimanfaatkan untuk kepentingan tuan rumah yakni birokrasi dan pemerintah.
Kampus dan Peranan Kebebasan akademik
Kampus semestinya mengembalikan fungsinya sebagai tempat kebebasan ekspresi mahasiswa dan juga tempat mahasiswa beraktualisasi dengan berbagai konsepsi dan pemikirannya. Otonomi dimaknai sebagai wujud penghargaan dan penghormatan bahwasannya mahasiswa adalah sosok yang dianggap sudah mampu mengembangkan pemikirannya sendiri dan mengaktualisasikannya. Birokrasi tak lain adalah fasilitator dalam memberikan, membantu, dan mengusahakan berbagai fasilitas yang kiranya perlu untuk pengembangan mahasiswa. Dengan otonomi mahasiswa maka kebebasan akademik mahasiswa akan lebih berpeluang untuk berkembang. Mahasiswa diberi keleluasaan untuk berfikir, beraktualisasi, dan mengevaluasi diri, sehingga mereka akan lebih terlatih dalam mengembangkan bakat, keilmuan dan juga aktualisasi diri di dalam masyarakat.
Selama otonomi kampus atau birokrat yang lebih dominan dan berkuasa, maka tak mungkin mahasiswa memiliki perkembangan yang signifikan dalam melakukan kajian, refleksi dan aktualisasi yang mengembalikan perannya sebagai tonggak penerus bangsa ini. RUU Perguruan tinggi masih dalam pembahasan, kita tentu berharap banyak bahwasannya otonomi mahasiswa diberi tempat yang semestinya dalam kebijakan pemerintah melalui RUU ini. Di RUU inilah nasib otonomi kampus atau otonomi mahasiswa ditentukan. Jika memang pemerintah dan kampus peduli terhadap perkembangan dan peningkatan kualitas mahasiswa, tentu ruang-ruang kebebasan berekspresi dan otonomi mahasiswa diberi tempat yang semestinya. Begitu.
*) Penulis adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta,
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda