Buku-Pramudya-,Dan Mengapa Aku Menulis?
oleh arif saifudin yudistira*)
Kesukaanku pada buku sebenarnya bermula ketika masa kecilku Ayah sering membelikan aku majalah “bobo”. Dengan ilustrasi dan gambar-gambar yang ada dan cukup berkesan aku mulai menyentuh, dan menemui buku. Berlanjut ketika sekolah di TK,SD hingga ke jenjang selanjutnya, aku paling suka kalau ayah mendongeng. Kisahnya selalu menarik bagiku, atau kebiasaan Ayahku nembang jawa yang sampai saat ini masih terngiang-ngiang di kepalaku. Dalam lagunya “semut ireng” saya pernah bertanya “kebo bongkang itu yang seperti apa”? maka seketika ayah kebingungan dan sulit menjawab pertanyaan saya. Itulah sekilas memori yang aku simpan di masa kecilku. Di masa SMA aku menyentuh dan berkenalan dengan majalah horizon, di sana aku mulai mengenal tulisan sastrawi yang berupa cerpen, puisi hingga liputan tentang sastra di SMA-SMA. Aku mulai menyukai puisi, puisi yang berkesan di waktu itu adalah puisi sutardji calzoum bachri yang berjudul : KAKAWIN. Sejak saat itu, puisi jadi akrab di bangku SMA ku hingga aku kelas dua SMA.
Di bangku kuliah kakak-kakak angkatan ku mengenalkanku dengan buku, dari buku itulah aku tanpa sadar dikenalkan berbagai hal. Buku yang dianjurkan waktu itu adalah MADILOG. Semester pertama aku menggauli madilog hingga katam karena tuntutan debat dan diskusi. Sejak itu, aku mulai belajar membaca buku dengan sedikit penghayatan dan pengilhaman. Madilog meskipun awalnya agak susah, ia memberikan gambaran sosok tan malaka dengan segala petualangan hidupnya dan berbagai kebijaksanaan dan pelajaran berharga dari kemerdekaan. “Jika kamu menginginkan kemerdekaan suatu kaum, maka ia harus merelakan kemerdekaannya sendiri”. “revolusi itu mencipta”!. Beberapa kalimat dalam buku itulah yang menginspirasiku untuk berbuat meski tak banyak. Setelah itu, aku mulai mengenali buku-buku bacaan umum atau yang sering orang mengatakan ini dengan buku “berat”. Buku-buku agama, pendidikan, hingga buku-buku terbitan resist aku baca. Ada perasaan geli, tertawa,tersenyum, hingga perasaan ngiris ketika membaca terbitan resist. Aku seperti diajak menertawakan hidup bersama eko prasetyo penulis buku orang miskin dilarang sekolah, Guru mendidik itu melawan!.
Ketika beranjak beberapa tahun, perkenalanku dengan buku sastra mulai bermula. Di saat itu, aku tak mengenal apa itu sastra, bahkan membenci sastra. Aku membaca novel yang meyentuh dan berpengaruh dalam hidupku. “BUMI MANUSIA”. Dari situlah aku mulai menyukai novel-novel berikutnya. Sampai aku menemukan kuartet pulau buru dan menghabiskannya. Disana aku tak hanya bertemu kisah, tapi juga pengalaman, hingga bagaimana potret kehidupan ada disana. Dan yang cukup berkesan adalah bagaimana tulisan itu muncul dan perlu dimunculkan. “Pelajar adalah orang yang adil baik dalam pikiran maupun perbuatan”. Kemudian pertanyaan kartini dalam buku itu : “Tahu mengapa kau kucintai lebih dari siapapun?, karena engkau menulis, menulis adalah kerja untuk keabadian”. Dari sanalah aku kemudian menulis. Menulis bagiku waktu itu adalah untuk memberikan sesuatu yang paling tidak bermanfaat bagi orang lain meskipun baru sekadar ide saja. Maka sejak saat itu pula, lahirlah tulisan pertama saya yang dimuat di SOLO POS. sekitar tahun 2007. Waktu itu di rubric curhat, tulisan itu pula yang menjadi kenang-kenangan saya, tulisan itu bertajuk “Demo mengapa tidak”. Disaat itulah, aku mulai jatuh cinta untuk menulis hingga saat ini dan entah sampai kapan.
Bersama PAWON di tahun-tahun berikutnya, membaca sastra jadi tak begitu berat, dengan bulletin mungil itu pula aku mulai mengikuti diskusi-diskusi sastra hingga mengoleksi buku-buku sastra dari puisi, cerpen, novel. Novel yang berikutnya adalah novel PUTU WIJAYA. Dari sana saya menyukai gaya bertuturnya yang menghanyutkan dan mengajak pembaca ikut dalam novel tersebut. Maka tiap membaca novelnya tak terasa berkucuran air mata saya. Bersamaan dengan itu pula, di tahun ke depan saya harus mengucurkan air mata saya ketika melihat buku-buku koleksi saya dicuri orang, dan kembali ke toko buku saya tempat biasa membeli buku yakni di Gladag. Buku yang biasa saya peroleh dari berjualan rambak yang hanya memperoleh 30 ribu per minggu harus lenyap dan kembali di depan mata saya, tapi saya tak bisa memilikinya. Sejak saat itulah, buku adalah seperti nafas saya yang tak bisa saya lepaskan begitu saja.
Pramudya dan menulis
Di kuartet pulau buru dari bumi manusia hingga rumah kaca saya menemui kisah tirto adi suryo yang bergiat dengan pers, tulis-menulis hingga ia mengakhiri dan mengisahkan hidupnya dengan tragis. Ia bertekun belajar, hidup, hingga bergerak menggunakan tulisan, sampai-sampai ia dipenjara dan diasingkan dari para pembacanya, sahabat-sahabatnya, dan mati dalam kesendirian. Di saat itulah saya menyadari, menulis itu menyiksa, dan tak mudah. Dengan penjara sebagai resikonya, tapi efek yang ditimbulkan begitu berharganya, dan begitu luar biasanya. Menulis itu untuk pencerahan, menulis itu adalah lampu penerang yang membawa kegelapan pada jalan kemenangan. Itulah yang disadari tirto adi suryo dan juga kartini. Setelah tulisan saya yang pertama itulah saya merasa lega, hingga tulisan-tulisan saya berikutnya menyusul di Koran-koran local, regional hingga majalah-majalah nasional. Di saat-saat berikutnya, saya mengenal buku-buku biografi tokoh-tokoh nasional kita dan karya-karyanya, tan malaka, sukarno, hatta, hingga syahrir. Buku memoir, dibawah bendera revolusi, hingga buku pendidikan ki hajar dewantara adalah beberapa buku yang saya baca.
Dari pramudya itu saya kemudian mengerti bahwa tulisan itu tidak dilahirkan tanpa terlepas dari pengarangnya. Pramudya menuliskan kuartet pulau buru dan tulisan-tulisan lainnya ditekuni dengan kerja pribadi nya yang luar biasa. Ia mengumpulkan buku-buku bacaan dia, kliping-kliping Koran lengkap, konon adalah pertama terbesar di Indonesia setelah HB Yassin, yang dibakar orde baru. Di situlah saya menemukan tulisan adalah perlawanan terakhir tapi bukan tidak efektif. Tapi justru dari menulis di penjara itulah, ia bisa melahirkan karya, komunikasi dengan dunia luar penjara dan menghasilkan kerja kebudayaan. Bahkan Halim hade pernah menyebut : “Sastra kita saat ini belum ada yang bisa menandingi pramudya”. Pram menulis hidupnya dengan berdarah-darah dan dengan nasib tak seberuntung hatta dan lain-lain. Dari pram itu pula, saya belajar menulis dan arti sebuah tulisan. “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, maka ia ibarat anjing yang bodoh”. Pram tak hanya bercerita tentang tirto dan tulisan, tapi ia juga melakoni menulis hamper-hampir seperti mengatakan : “hidupku untuk menulis”. Bahkan ia mengatakan : “Saya sudah seperti kuli tinta”. Kegemaran membaca buku dan menulis itu yang sampai saat ini saya tekuni yang bermula dari pengalaman membaca buku pramudya, sebab disana saya menemukan arti tulisan, kepenulisan dan mengerti bagaimana dan sejauh mana tulisan itu berarti dalam perjalanan sebuah perubahan.
Buku Puisi Dan Kegemaran Membuat Puisi
Setelah SMA menekuni puisi, saya membuka-buka website tentang penyair Indonesia. Bertemulah saya dengan puisi joko pinurbo yang berjudul celana meski dalam web, dari situ saya mulai suka puisi lebih kental dari pada sma dan mencoba mengenal lebih jauh apa itu puisi dan mencoba membuat puisi. Akhirnya saya memperoleh buku puisi jokpin “DIBAWAH KIBARAN SARUNG”. Kemudian buku puisi berikutnya adalah buku puisi afrizal malna, awalnya saya mengenal penyair unik ini dari puisi-puisinya yang saya baca dari internet, dan akhirnya saya pun berkesempatan bertemu dengannya. Pertemuan dibalai sujatmoko mengenalkan siapa itu afrizal, puisinya, hingga cara dia menuliskan puisinya dan menganggap bahasa adalah penjara. “Kita dibaca bahasa, atau kita membaca bahasa” begitulah awlanya dia berujar dan berkelakar. Dengan lagak saya seperti mengetahui, saya mencoba menuliskannya di majalah nasional dan diterima dengan judul “Menarik benang merah sex dan politik”. Di saat itu pula, saya akan segera berangkat ketika ada diskusi puisi tentang afrizal ataupun diskusi lain yang menghadirkan afrizal. Dan di pertemuan di Taman budaya Surakarta , saya berkesempatan membeli dua buku afrizal yang bertajuk “ Arsitektur hujan”, dan “abad yang berlari”. Kemudian dari sana, saya mulai membuat puisi, saya suka menulis puisi karena saya pikir puisi adalah medium termudah dan termurah untuk menyampaikan gagasan dan ide kita, ketika tak sanggup dibahasakan melalui bentuk lain seperti esai, dan lain sebagainya. Salah satu puisi yang bercerita tentang afrizal pun pernah saya tulis sebagai wujud kegilaan saya bertemu afrizal malna : Perjalanan Panjang
untuk suara dari kaca yang berjalan
Aku menemuimu dengan panjang berkilo-kilo meter, hanya untuk mendengarkan suara dari kaca yang berjalan,/Aku mengorek isi dompetku hingga tak tersisa, demi melihatmu mengelus kepalamu yang mirip suara dari kaca yang berjalan,/Aku mendatangimu, seakan-akan telah rindu bertahun-tahun tak menemukan wajahmu,tubuhmu, dan juga senyummu yang cukup kharismatik/Sungguh aku berjalan berkilo-kilo meter untuk membawa tubuhku pulang/dan menantikan mimpi-mimpi menghujam kepalaku, yang berkesan dari suara kaca yang bergelantungan~
Sejak saat itu pula kegemaran menulis puisi saya kemudian diasah bersama komunitas pengajian puisi yang hadir tiap jumat pagi di UMS. Dari situlah saya tak hanya belajar bagaimana puisi saya estetis, tapi juga bermakna dan berkesan. Dan kemudian puisi saya berhasil di muat di harian joglosemar. Kemudian kesenangan belajar membuat puisi saya berlanjut sampai saat ini. Dan saya berharap di tahun ini, buku puisi saya bisa terbit.
Buku, Aku Dan hidupku
Bersama ini saya ingin mengakhiri tulisan saya dengan mengutip sindhunata : “Membaca buku adalah proses kreatif dan aktif,pembaca ditantang apa yang sebenarnya tak pernah selesai dalam bukita yang dibaca. Bahkan ia diminta untuk mengarang, dan menciptakan kisahnya sendiri atas kisah yang dituturkan oleh buku kita yang dibaca(Sindhunata,04).Maka membaca buku bagiku adalah pekerjaan yang seringkali tak pernah selesai. Sebab disana saya mesti bertemu dengan buku-buku yang lain, hingga berbagai peristiwa yang mengundang saya untuk menulis baik esai maupun puisi. Saya meyakini kecintaan terhadap buku ini tak mungkin sia-sia dan berbuah suatu hari nanti. Entah berupa berkah ilmu pengetahuan, rejeki hingga jodoh dan lain-lain. Dan tak kalah penting yakni bisa berbagi dengan tulisan dan ilmu yang kita miliki. Membaca buku sudah seperti kelaziman saya sebagai manusia. Sebab saya meyakini tanpa membaca buku, kita akan menjadi buta, atau bahkan seperti yang dikatakan remy sylado kita gagal jadi manusia, dan berhasil jadi hewan : “Meminjam kata San Min Chu I bahwa buku tidak dikenal di dunia hewan. Oleh sebab itu manusia yang tak mau mengurusi buku, mengenal buku, bahkan tidak mau membaca buku tak jauh beda dengan manusia yang mengambil inisiatif menjadikan dirinya sebagai hewan(Remy Sylado).
*)Tulisan terbit di Annida-online dan Pawon dalam Aku dan Buku
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda