Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Selasa, Agustus 11, 2009

"Narasi Dalam Dunia Imaginasi"



Oleh Arif saifudin yudistira*)

Pelan tapi pasti sekat imaginer itu kian lama kian luluh dan melebur menyatu dalam kehidupan kita. Pagi kita disuguhi dengan berbagai tayangan intertaint lengkap dengan kemasan berbeda-beda mulai dari gossip sampai pentas musik.
Pendongeng itu pun mulai mendongeng berbagai macam narasi dan mimpi-mimpi. Imagi yang melanakan ini dinikmati dari kalangan anak-anak sampai kalangan dewasa. Kita pun enyah meninggalkan kebiasaan mendengarkan dongengan ini sampai tak terasa kalau itu hanya dongengan.
Kita pun seakan tak kuat menghadapi dekapan dunia dibalik layar itu. Dari pagi kemudian siang,malam seakan kita tidak bisa melepaskan makhluk ini, televisi. Kita pun mulai lupa dengan orang-orang di sekeliling kita. Kita lebih intim bercanda, tertawa, menangis dengan makhluk televisi ini.
Perlahan tapi pasti dunia imaginasi ini memperbudak kita dengan gaya paling gaul,ngetrend, bahkan ”modern” . Tanpa sadar pun kita mengikuti pelan-pelan gaya, budaya, serta apa yang ada di televisi tersebut.
Pertanyaannya kemudian adakah budaya lokal? Adakah kemudian citra diri?adakah nilai otentik dari nilai budaya kita?. Yah, hilang tak terasa, tanpa sadar kita sudah dibius selama bertahun-tahun dalam hubungan intim dengan makhluk televisi ini.


Maka tidak heran banyak kasus kriminal, kemudian kasus asusila juga berawal melalui televisi ini. Berbagai mimpi, imaginasi, bahkan bualan-bualan mewarnai dunia kita setiap harinya dengan genit marayu mata, otak, bahkan hati kita untuk menyaksikannya.
Pun kita tak merasa bosan dengan apa yang disuguhkan, akhirnya kita buta melihat realita. Intuisi kita pun serasa lenyap, nilai-nilai yang ada berubah menjadi standar dalam kekaburan.
Dari fenomena ini, tak banyak orang bereaksi. Mulai sedikit-sedikit kekhawatiran ini pun dirasakan oleh beberapa kalangan. Berbagai seminar, diskusi, dan talk show pun mulai marak. Akan tetapi justru penikmat televisi pun bertambah banyak. Degadrasi bangsa bisa berawal dari sana, sedikit kemajuan bangsa juga bisa dimulai dari sini.
Dunia sudah mulai bertanya dan menggugat adanya efek mematikan ini. Dunia lain juga berteriak asyik menikmati sajian di dalamnya dan makin tak bisa lepas darinya[baca televisi].
Memang pada akhirnya kita sendiri yang akan menentukan bagaimana imagi-imagi ini tidak meringkus kita, membius, bahkan memperbudak kita, tapi kita yang menjadi tuan terhadap ”makhluk ”ini. Demikian.









Penulis adalah Mahasiswa bahasa inggris universitas Muhammadiyah Surakarta

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda