Kata, buku, kita
Oleh arif saifudin yudistira*)
“Pada mulanya
adalah kata-kata itu mengada bersama Tuhan serupa dengan kata-Tuhan,kata itu
merupakan kreasi”
(Nadine Gordimer)
Manusia memiliki kelebihan dibanding makhluk lain.
Salah satu diantaranya adalah bahasa. Kemampuan berbahasa itulah yang membuat
manusia bisa mengucap kata. Huruf jadi acuan kedua setelah belajar berkata-kata
diajarkan kepada kita di masa bayi. Kata itulah yang mengucap dan diucapkan
oleh kita. Dunia kita dicipta dan digerakkan oleh kata. Siapa tak kenal filsuf
eksistensialis kita Jean paul Sartre yang menuliskan indah pengalamannya
mengucap dan diucap oleh kata dalam bukunya “kata-kata”(Words). Sartre memahami
kata adalah pikiran dan gagasannya yang diungkapkan dan ditulis ulang di masa
dewasanya. Buku Sartre menegaskan dan menjelaskan bahwa kata “tidak” adalah
kata paling cukup menjelaskan adanya kita.Bila kita hanya menggunakan kata “ya”
atau setuju saja, berarti kita tak memiliki eksistensi. Ferdinand de Saussure dalam
kanonnya, Cours de linguistique générale, (1965: 157), “pikiran adalah recto dan suara adalah verso; seseorang tak dapat
memotong satu sisinya tanpa memotong sisi lainnya di waktu yang sama; dan di
dalam arti yang sama, dalam bahasa, seseorang tak dapat mengisolasi suara dari
pikiran maupun pikiran dari suara (kata)”.
Dengan mengucap ‘kata’ itulah kita
tak langsung menyatukan antara pikiran dan gagasan yang tak bisa dipisahkan
satu sama lain. Takjub kata membuat manusia semakin menyadari bahwa ia adalah
makhluk berbudaya. Melalui kata itu pula kita mengenal sastra. Puisi dan karya
sastra lain setidaknya adalah kata-kata yang membicarakan dirinya. Kita pun
mengenali sastrawan nobelis najib mahfuz yang mampu menggunakan medium
bahasanya untuk alat penyadaran dan perlawanan. Edward said memujinya dengan
mengatakan : “Mahfuz sebenarnya memiliki suara khusus. Ia berhasil
menunjukkan kehebatan bahasa pribumi yang justru belum banyak diperhatikan”.
Dari sanalah sebenarnya kita menemukan kata berkembang menjadi slogan, hingga menjadi
bualan para politisi kita. kata jadi rusak karena aroma politik dan juga media. Dan disanalah tugas penulis
mesti menjernihkan dan mencerahkan kata kepada asalinya.
Suparto brata
seorang penulis novel “generasi yang hilang” yang pernah menjuarai sayembara
“kartini” menuturkan alasan mengapa manusia Indonesia sekarang kehilangan
spirit membaca dan kehilangan ghirah mengurusi buku. “kita telah salah dalam
merumuskan kurikulum pendidikan kita, kita mesti merubahnya dengan spirit
membaca dan menulis buku”. Bapak tua
itu mungkin sudah uzur usianya, tapi ia tak lelah dan tak berhenti mengurusi
kata, melalui menulis buku dan membaca buku. Puluhan buku pun dihadirkan
sebagai kerja dan semangat hidup yang tak kunjung pudar meski jaman sudah
berubah.
Membaca buku dan
mengurusi buku adalah pekerjaan langka di era multi kulturalisme ini. Era
teknologi sekarang menghadirkan e-book dan internet sebagai penyedia layanan
dalam dunia pendidikan kita. Internet dan teknologi pun memanjakan kita, tapi
belum memuaskan dan menunjukkan-kualitas membaca-
manusia Indonesia. Kita terkadang miris ketika
melihat buku-buku dijual dengan harga mahal-mahal di awal terbit, tetapi
ketika di bazaar menjadi sebegitu murah. Pemerintah kita tak memiliki politik
penerbitan dan politik dalam meningkatkan mutu baca masyarakat kita melalui
buku-buku yang ada. Dulu semasa soekarno buku-buku terjemahan dan buku-buku
berbau revolusi dan politik dihadirkan, sedang dimasa soeharto buku-buku
penataran p4 dan buku berbau pancasilais digalakkan melalui sekolah dan
pendidikan. Setidaknya setelah dua presiden itu, politik untuk meningkatkan
mutu dan penyediaan buku bagi masyarakat luas belum tampak kembali.
Dunia buku dan
dunia penulisan mengajarkan kita setidaknya pada dua hal penting “kerja intelektual”
dan juga “ penghormatan intelektual”. Dua kerja inilah yang akan kita jumpai
dalam dunia menulis buku dan dunia membaca buku. Ketika kita membaca buku
setidaknya kita sedang melakukan dua kerja itu. Yakni kerja intelektual dan
penghormatan intelektual. Sebab penulis yang menulis bukunya tak semudah yang
kita bayangkan selesai begitu saja. George Orwell mengatakan “ menulis buku itu
mengerikan,perjuangan yang meletihkan seperti sakit yang berkepanjangan”.
Negeri kita
seolah melupakan kerja kata yang sebenarnya adalah kerja intelektual dan kerja
kemanusiaan. Kita lupa bahwa mengurusi kata, dan mengurusi buku tak beda dengan
mengurusi kita. Siapa mau mengurusi arsip nasional di Jakarta yang sudah
menghasilkan berderet-deret gelar dan juga berates-ratus buku dan penelitian.
Kata kembali mengingatkan kita akan keberadaan dan eksistensi kita. Dengan
budaya membaca buku dan menulis buku yang masih minim dibanding negara tetangga
kita maupun di dunia, setidaknya menunjukkan betapa kita tak menghargai kita. Dunia
kata, dunia buku, dan dunia kita adalah tiga frase yang tidak bisa kita
lepaskan dan pisahkan dalam kehidupan kita. Saya ingin menutup essai ini dengan
kesimpulan menarik dari Virginia Wolf yang mengatakan : “ Masa sekarang adalah masa yang buruk karena kemiskinan cara pandang
terhadap sastra dibiarkan begitu saja”. Jika demikian halnya, masihkan kita
percaya akan kekuatan kata dan buku-buku kita untuk menggerakkan dan mencipta
peradaban dan mengulang kejayaan kita?.
*)Penulis adalah Pegiat Bilik
Literasi , Pengelola kawah institute Indonesia
*)Tulisan Termuat di Bali Post 25
November 2012
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda