Jokowi, Facebook, Dan Identitas
Kota
Oleh arif saifudin yudistira*)
Pilihan
jokowi calon gubernur DKI menggunakan metode kampanye melalui penjualan baju
koko nya memang menarik public. Selain karena metode ini tergolong baru,
masyarakat saat ini juga jengah melihat plakat-plakat di jalanan kota dan juga
iklan di televise yang menghabiskan dana begitu banyak. Jokowi pun tak kurang
cerdik, ia memilih jejaring social seperti facebook dan twitter sebagai media
untuk menjaring pendukungnya.
Pilihan
jokowi ini tentu patut diapresiasi, tapi perlu juga dicermati lebih
lanjut. Jika kita telisik lebih lanjut,
metode kampanye jokowi di era modern seperti ini sangat tidak bisa menentukan
kapasitas pendukungnya. Barangkali para penasehat dan tim kampanye jokowi perlu
belajar pada kasus sebelumnya, ketika pasangan capres Amin rais dan Siswono
yudho husodo yang diprediksi oleh berbagai lembaga survey menduduki paling
unggul ternyata kalah dengan pasangan SBY-JK di pemilu tahun 2004 lalu.
Pelajaran ini membuktikan bahwa kualitas survey ataupun prediksi teknologi tak
sepenuhnya menjamin realitas social masyarakat kita.
Memang
jejaring social adalah salah satu metode “jajanan politik” pasangan jokowi dan
ahok, tapi justru komoditas inilah yang paling laku di media kita saat ini.
Media kita tertarik karena metode ini langka dan “unik”. Selain itu,
seolah-olah masyarakat diajak untuk menengok kembali keberhasilan jokowi dengan
kesederhanaan dan kepiawaiannya memimpin solo.
Lyotard dalam “The postmodern
condition” menyatakan : “Teknologi,
dengan demikian adalah permainan yang tidak berkaitan dengan yang benar, yang
adil atau yang indah dan sebagainya, melainkan berkaitan dengan efisiensi :
suatu”gerak” teknis dianggap ”baik” jika ia melakukannya dengan lebih baik dan
atau menghabiskan energi yang lebih kecil daripada”gerak” lain. Artinya ketika dikaitkan
dengan kondisi yang ada pada jokowi, jokowi memang hanya menonjolkan persoalan
irit dan juga bagaimana cash kampanye tidak boros, meski ia juga berharap pada
banyaknya dukungan. Akan tetapi, realitas teknologi kerap tampil dengan aroma
menarik, indah, tapi juga sering menipu.
Facebook
Facebook barangkali tidak bisa
kita anggap sepele. Gerakan masyarakat era kini, juga lebih mengandalkan
jejaring sosial alias fb untuk mendukung efektifitas gerakannya. Gerakan di
tunisia dan di mesir beberapa waktu lalu juga mengunggulkan gerakan jejaring
sosial untuk memobilisir massa. Selain karena memudahkan orang berkomunikasi
dengan mudah, fb juga digunakan sebagai alat mobilisasi massa untuk melakukan
perlawanan terhadap kebijakan. Kabar terbaru mengenai gerakan fb ini bisa
dilihat misalnya pada ”gerakan hakim
menuntut kenaikan gaji”, gerakan ”sejuta umat menurunkan rezim neolib
SBY-budiono” dan juga gerakan ”Cicak versus buaya” yang pernah membuktikan
keampuhannya melindungi KPK dari serangan dan intervensi pemerintah. Hanya
saja, kampanye jokowi melalui fb tidak bisa kita pastikan untuk menjamin
kemenangan jokowi tanpa dukungan metode lain yang perlu diunggulkan di dalam
memenangkan pilgub DKI.
Identitas
kota
Persoalan yang menonjol mengenai
kota di abad 21 salah satunya adalah masalah urbanisasi. Sebagaimana paparan
Daniel A.Bell dan Avner de-Shalit yang memprediksi menjelang 2025 di china akan
dibangun 15 ”mega-kota”. Yang masing-masing dihuni 25 juta orang. Ketika
melihat jakarta, kita tidak bisa memprediksi lima tahun lagi tingkat urbanisasi
ke jakarta. Jakarta tetap menjadi daya tarik bagi masyarakat desa, meski
berbagai gambaran sudah biasa kita dengar tentang jakarta. Jakarta kerap identik
dengan kota kejam, penuh tipu-tipu, penuh kekerasan, tidak nyaman, dan juga
kerap banjir. Meski demikian jakarta tetap menjadi kota paling banyak dijadikan
tujuan urbanisasi sampai lima tahun ke depan.
Douglas Wilson pun menulis dalam buku terbaru terbitan
gramedia yang berjudul 5 kota paling
berpengaruh di dunia. Ia menggambarkan identitas kelima kota ini : ” Yerussalem
mengajarkan tentang kebebasan spiritual, Athena mengajarkan intelektual dengan
spirit pembebasan, roma mengajarkan kebebasan dan keadilan dalam hukum, London
dengan seni dan kesusateraannya, dan newyork menunjukkan arti kebebasan pasar
maupun komersialnya”.
Pertanyaannya
bisakah jokowi membangun identitas kota Jakarta sebagaimana kota-kota lain
seperti di solo dengan identitas kota budayanya, bandung dengan kota sepatunya,
atau kota aceh dengan karakteristik islaminya?. Atau dengan cara lain
sebagaimana contoh yang diberikan afrizal malna yakni membangun jembatan atau
bangunan yang dijadikan ciri khas kota dan membawa perubahan besar terhadap
nuansa kota yang militeristik, berbau bisnis, menjadi kota yang bernuansa dan
berimaji seni dan indah seperti jembatan
Samuel Beckett Bridge.
Setidaknya inilah tantangan bagi
jokowi pada khususnya, dan kepada semua calon gubernur DKI pada umumnya. Tanpa
itu, Jakarta tetaplah menyimpan identitas yang selama ini kental dalam pikiran
masyarakat kita yakni kota berpolutan tinggi sedunia, kota dengan tingat
kriminalitas tinggi, juga kota yang kejam dan tak nyaman. Indah dan gemerlap
dengan gedung-gedung tinggi, tapi penuh dan sesak dengan tipu-menipu, sesak
dengan kongalikong dan korupsi.
*)Penulis adalah Mahasiswa Universitas Muhammadiyah
Surakarta, bergiat di Bilik literasi Solo
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda