Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Selasa, April 24, 2012

Negara Sekuler ; Melacak Jejak Perebutan Tafsir

Oleh arif saifudin yudistira*)

    Sejak berdirinya negara ini, negara kita sudah mengalami berbagai perseteruan dan perdebatan tafsir mengenai seperti apa negara ini dibentuk. Baik yang berideologi nasionalis, komunis, sosialis, hingga yang beridiologi pancasilais. Perseteruan ini akhirnya mampu diselesaikan oleh sukarno melalui sikapnya yang cenderung sinkretis. Sukarno adalah sosok yang mampu mendamaikan perseteruan tersebut hingga negeri ini kembali pada dasar negara kita yakni UUD 45 melalui dekrit presiden 5 juli 1959. Semasa sidang panitia sembilan yang menghasilkan piagam jakarta,para pendiri negara mengambil sikap bijak dan toleran dengan menghapus bunyi pancasila sila kesatu :”dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya”. Sikap toleran dan kelegaan para pendiri negara ini ternyata tak berujung baik. Ada sekelompok gerakan yang akhirnya tak rela terjadi pemisahan antara agama dan negara.Sekulerisasi ini ditentang oleh kelompok islam dengan nama DI/TII yang melakukan pemberontakan. Paska pemberontakan ini diselesaikan, ternyata tak berhenti sampai disini. Gerakan untuk menyatukan antara negara dan agama muncul kembali dan bergeliat sepanjang tahun 90-an hingga kini. Gerakan ini berhasil paska reformasi. Di tahun 1999-2002 kembali tertolak karena dukungan politik di MPR maupun real sosiologis dari masyarakat.Ini terlihat pada sidang tahunan MPR tahun 2002 untuk memasukkan tujuh kata dalam piagam jakarta dalam perubahan pasal 29 UUD 45. Pada waktu itu, politisi dari PBB najib ahjad dan politisi PPP syafriansyah pun mengatakan mereka tidak akan menyerah dan akan terus mengupayakan syariat islam dalam konstitusi.

    Ada tiga fase dalam menerapkan syariat islam yang dilakukan oleh  kelompok yang menginginkan negara ini menjadi negara yang berlandaskan agama. Pertama,Melalui konstitusionalisasi syariat islam. Ini terjadi pada tahun 1945, tahun 1956-1959, dan terakhir tahun 2002. Pada fase pertama ini, usaha dilakukan melalui konstitusi. Melalui konstitusi itulah harapan akan berdirinya negara yang menerapkan syariat islam terwujud. Kedua fase formalisasi syariat islam melalui undang-undang. Pada fase ini, terbukti lebih efektif dengan adanya berbagai undang-undang yang mengarah pada formalisasi syariat islam melalui konstitusi. Diantaranya munculnya berbagai undang-undang berikut :
UU no.1 tahun 47 yakni undang-undang tentang perkawinan
Makin marak tahun 80-an dan di era 90-an. Kini ada sekitar 28 ruu yang bernuansa syariat islam.
UU no.7 tahun 89 tentang peradilan agama
UU no.17 tahun 99 tentang penyelenggaraan haji
UU no.38 tahun 99 tentang pengelolaan zakat
UU no.7 tahun 92 jo.10 tahun 99 jo.23 tahun 99 tentang sistem perbankan.

Selain undang-undang diatas, ada pula undang-undangisasi syariat islam yakni ditetapkannya  UU.no.4 tah un 99 tentang keistimewaan Daerah istimewa Aceh.Kemudian UU no.18 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi provinsi NAD. Dalam UU no.4 tahun 99 pasal 4 ayat 1 berbunyi: “Penyelenggaraan kehidupan beragama di daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syariat islam bagi pemeluknya dalam masyarakat”. Selain itu, dengan dikeluarkannya UU no.44 tahun 99 tentang perda syariat islam, menunjukkan betapa persinggungan dan perebutan tafsir dan perdebatan mengenai “negara” belum selesai hingga kini. Fase ketiga, adalah perda syariat islam. Dengan jalan inilah, akhirnya para kelompok yang menginginkan negara ini bernuansa syariat islam menggunakan strateginya kembali. Alhasil, banyak daerah yang menginisiasi perda syariat islam di jawa (pamekasan, madura, resik, malang, banten, garut, tasikmalaya,indramayu, cianjur dan kediri) sumatera (aceh dan padang)  sulawesi (maros, sinjai, gowa, janeponto, bulukamba) nusa tenggara barat, kalimantan (banjarmasin, banjar, amuntai, dan pontianak).

Perda syariat islam yang akhir-akhir ini marak diwacanakan masih dalam arti sempit yakni berupa cara berbusana islami, membaca al-qur’an,pengelolaan zakat, penghapusan perjudian, dan jum’at khusus. Mestinya syariat islam yang lebih luas harus mencakup sejenis perlindungan HAM,pelestarian lingkungan hidup dan sejenisnya.
Perubahan wilayah hukum perjuangan syariat islam dari semula diperjuangkan di tingkat konstitusi menjadi kemudian di tingkat peraturan dibawah undang-undang dasar khusunya pada level UU dan perda.Artinya perjuangan tidak lagi dilakukan di pusat jantung kota melainkan menyebar melalui aturan-aturan lokaldan lebih rendah. Inilah strategi syariat islam yang menurut sebagian orang adalah strategi Mao zedong :”desa mengepung kota”

Kontras

    Strategi penerapan dan penegakan syariat islam melalui tingkat konstitusionalisasi ini jelas berbeda dengan apa yang menjadi pikiran sukarno pada waktu itu. Sukarno selaku pendiri negara ini memiliki sikap yang justru berkebalikan dengan para generasi penegak syariat saat ini. Ia justru menyarankan akan negara kita berbentuk negara sekuler. Artinya apa, negara memberi kewenangan penuh agama-agama di negeri ini berkembang dan mengembangkan diri tanpa harus direcoki dan dicampur tangani oleh negara. “Negara sekuler itu merupakan suatu keharusan historis”.

Sukarno melihat contoh turki yang dibawah kemal attaturk adalah contoh yang ideal dalam hal memposisikan negara dan agama. “Tindakan-tindakan yang diambil oleh kaum turki muda, terutama tindakan kemal attaturk yang memisahkan agama dan negara pada dasarnya “memerdekakan agama”. Lebih lanjut ia mengatakan : “Agama akan kembali hidup subur apabila ia sudah mendapat peluang untuk berkembang dengan merdeka” Meskipun sukarno adalah pemeluk islam, tapi ia tak merasa khawatir dengan persoalan agama dan negara yang selama ini diperdebatkan dan dipertentangkan apalagi kini berujung pada formalisasi syariat islam. “Islam yang hanya bisa hidup apabila dilindungi atau didukung oleh negara,bukanlah islam”.Ia menyangkal dan menolak islam yang hanya bisa dilindungi oleh negara atau bersembunyi dibalik kekuasaan negara. Agama mestinya melampaui dan melebihi itu.

Negara sekuler bukanlah sosok yang mengerikan dan menjadikan agama menjadi suatu masalah ketika ia tidak bersanding dan berurusan dengan negara. Justru sebaliknya negara sekuler hadir untuk membebaskan agama. Tanpa campur tangan dari negara, agama diharapkan bisa membebaskan diri dan memerdekakan dirinya dengan berkreasi dan berkegiatan semaksimal mungkin tentu selama ia tidak bertentangan dan bersinggungan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Perebutan tafsir kenegaraan akan relasi agama dengan negara yang selama ini gencar disuarakan dalam rangka untuk mengembalikan negara ini, pada negara yang berdasarkan syariat islam yang mengacu pada piagam jakarta, justru akan menimbulkan gesekan dan perpecahan jika kondisi sosiologis dan masyarakat kita belum siap. Apalah arti syariat islam dalam konstitusi jika secara realitas nilai-nilai dan jiwa islam belum mampu diwujudkan dan diterapkan secara tegak. Kemiskinan dan kemelaratan itulah sejatinya musuh islam yang mesti diperangi terlebih dahulu.  Menyikapi perdebatan antara negara dan agama ini, Sukarno menyarankan  dengan ulasan singkat dalam buku dibawah bendera revolusi :  “Baik kita terima negara dipisah dari agama, tetapi kita akan kobarkan seluruh rakyat dengan apinya islam, sehingga semua utusan di dalam badan perwakilan itu adalah utusan islam, dan semua putusan-putusan badan perwakilan itu bersemangat dan berjiwa islam”

Terakhir, persoalan agama adalah persoalan yang mestinya diurusi dilembagakan dalam ranah lembaga-lembaga agama, negara sebagaimana dalam pasal 29 UUD 45 memberi kebebasan seluas-luasnya dan memberikan jaminan akan hak warga negara dalam beragama. Mengenai perdebatan dan perebutan tafsir mengenai negara dan agama baik kita mengutip pendapat ahmad sukardja : “Berpikiran dan bersikap realistis serta menekankan aspek yang islami dalam penerimaan dan pelaksanaan UUD 45 merupakan pikiran yang tepat dan perlu ditanamkan serta dikembangkan. Sebaliknya formalisme dalam arti bahwa segala peraturan harus berlabel islam tidak perlu dikembangkan”.

*)Penulis adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta bergiat di bilik literasi Solo, presidium kawah institute indonesia

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda