Tentang Cita-Cita
Oleh arif saifudin yudistira
Menuliskan cita-cita dalam secarik kertas putih ibarat menerka-nerka dan meraba-raba kembali diri ini. Tubuh dengan segala karunianya dihadirkan Tuhan bukan tanpa alasan. Tubuh dengan berbagai keajaiban menciptakan kisah, menuliskan sendiri apa yang hendak dituliskannya. Sebab sebagaimana kitab-kitab dahulu pernah menuliskan, semua yang kita coba tuliskan dalam hidup ini oleh tubuh kita sebenarnya adalah pengulangan dari kitab yang berjalan. Yakni kitab kita, mengapa seseorang mesti hidup? Ketika ia pada akhirnya mati. Pertanyaan itu ,menjadi kunci mengapa orang ingin sekali menjadi dirinya, menjadi sosok entah lekat dengan profesi, lekat dengan biografi, pun lekat dengan keahlian. Bagaimana dengan orang yang tak pernah memiliki cita-cita? Ia ingin menjalani hidup ini layaknya air yang mengalir menjalani hidup dengan segenap kedalaman dan kehanyutan sampai ia sendiri menemukan jalan kemana ia harus tempuh. Cita-cita barangkali tak bisa dilepaskan dari diri sendiri. Manusia selalu menyimpan hasrat dan keinginan menuliskan biografinya sebagaimana yang ia suka, orang lain suka, dan lingkungan suka bahkan keluarga menjadi yang utama.
Mengapa manusia mesti memiliki keinginan dan hasrat untuk membentuk diri menjadi “sesuatu”yang lain?. Orang kerap menyebut ini dokter, pilot, masinis, pelaut, atau polisi. Siapa mereka, dan apa maksud dari nama-nama itu disodorkan di hadapan kita ketika kita sekolah. Apakah kita mesti menjalani hidup dengan nama-nama itu? Atau setelah kita menjadi semua itu, untuk apa?. Pertanyaan itu kujumpai setelah aku dewasa. Hidup ternyata tak semudah yang aku pikirkan. Manusia, selalu menjadi pertanyaan dalam hidupku, untuk apa kau hidup?, untuk menjadi manusia barangkali itulah jawabanku. Apa itu manusia?, kata ini tak kan habis dikupas meski dengan ribuan halaman. Pram pernah menuliskan tentang manusia dengan kalimat sederhana dalam novelnya “bumi manusia”: “Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana;biar penglihatanmu setajam elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaran dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput.
Sederhana bukan?, tapi mengapa ini penting ditanyakan?. Sekolah seperti tak mengajari pertanyaan ini untuk dipupuk,dibina dan diperhatikan hingga sesosok murid menemukan dirinya, menemukan tubuhnya hingga menemukan kreatifitas dan dunianya. Seringkali sekolah sebaliknya, ia hanya sekadar bertanya, dan memenjarakan keinginan siswanya, mematikan kreatifitasnya, dan mengunci tubuhnya. Cita-cita itulah yang kelak membentuk diri, dan menciptakan diri-diri itu di masa mendatang. Manusia mana yang rela dirinya hilang dan hanyut dalam ketidakkaruan apalagi dijaman penuh kekalutan dan jaman yang penuh dengan ketidakpastian. Cita-cita jadi sesuatu yang ganjil dipertanyakan.
Hidup dan Mati
Yah,hidup dan mati. Cita-cita adalah sesuatu yang ada diantara hidup dan mati. Manusia lahir menyimpan riwayat, kisah, dan juga biografinya masing-masing. Maka ari itu, bayi tak mengenal cita-cita barangkali ia pun lupa untuk apa ia lahir di dunia ini. Maka agama mengajarkan ibu dan bapak yang membentuk diri dan tubuh ini. Maka ketika dewasalah, atau ketika kita sedang beranjaklah, manusia menemukan sosok, imitasinya, sehingga ia memperlakukan tubuhnya seperti tubuh idolanya. Tubuh yang ia ingini berpindah ketubuhnya. Maka kita mengenal anak-anak kita tiba-tiba jadi penyanyi di depan televise, jadi penyiar radio di kamar mandi kita, dan jadi artis pujaannya di rumah-rumah kita. Kita jadi asing dengan cita-cita kita, manakala sosok itu tak ada sama sekali dalam hidup kita. Astronot misalnya, insinyur, atau arsitektur. Tanpa mendekati, menyentuh bahkan mendalami tubuh yang kita ingini kita tak mungkin berhasil menjadi apa yang kita inginkan. Maka dari itu, cita-cita tak bisa dilepaskan dari ruang imajinasi, ruang realitas, keluarga hingga dari pengetahuan dan imajinasi kita tentang sosok kita di masa depan.
Imajinasi
Melalui imajinasilah manusia dapat menjangkau dan menerka-nerka dirinya dimasa depan. Imajinasi kemudian tertuang dalam catatan harian, jadi tulisan, hingga jadi buku, bahkan jadi perilaku yang akan membawanya kepada cita-cita yang ia inginkan. Misalkan ketika seseorang memiliki cita-cita menjadi model, maka ia berlaku, bergaya dan merias wajahnya seperti model. Melalui imajinasilah, pesawat terbang tercipta, melalui imajinasilah astronot sampai kebulan. Betapa mahal dan berharganya imajinasi. Hingga albert enstein pun mengatakan : “Imagination is more important than knowledge”.
Dunia sekolah kita seringkali menghabisi imajinasi, sosok orangtua pun demikian halnya.anak seringkali dipaksa untuk menjadi orang yang bukan dia inginkan. Orangtua membentuk pribadi-pribadi anaknya. Maka dari itu, keterpecahan biografi,kesimpangsiuran diri seringkali ditemukan disekolah-sekolah kita. Mereka murid-murid seringkali menyadari ini ketiak mereka keluar dan lepas dari sekolah. Ketika mereka lulus dari perguruan tinggi, barulah mereka menyadari bahwa diri ini lebih suka di bidang ini, diri ini dan tubuh ini lebih nyaman disini, dan sebagainya. Kelak disitulah manusia menyadari kembali bahwa belajar tak mesti harus meninggalkan dan melupakan hak tubuh. “Tugas sekolah tak lain dan tak bukan adalah meruwat dan merawat imajinasi-imajinasi siswanya”. Oleh karena itulah, bangun imajinasi kita masing-masing, dan ajaklah tubuh ini menekuni dunia yang disukai tubuh ini, bukan dunia yang disukai oleh guru-guru kita dan juga oleh teman-teman kita.
Mimpi itu kini, dan esok
Laskar pelangi seringkali meneriakkan bahwa mimpi adalah kunci untuk menaklukkan dunia. Kata-kata itu bisa dipercayai penuh, bisa juga jangan dipercayai sama sekali. Mimpi itu bisa jadi adalah apa yang pernah kita katakan dimasa kecil. Mimpi pun bisa jadi adalah kata-kata kita hari ini, dan mimpi itu pun bisa jadi adalah kata-kata kita yang kita ucapkan di masa depan. Maka mimpi itu adalah laku. Siapa menjalani laku itu, maka ia yang akan memenangkan cita-cita. Tubuh ini tak sekadar tubuh yang bisa dibawa dan ditentukan kemana saja ia harus menjadi. Kontrol masyarakat, control budaya, hingga control televise tiba-tiba jadi tubuh yang membentuk kita. Al hasil, mimpi hanya jadi angan-angan belaka. Maka cita-cita membutuhkan iman, iman tak sekadar ucap, tapi juga berbuat. Dengan ucapan yang menjelma menjadi perbuatan dan didasari keyakinan yang teguh itulah, manusia bisa menjalani apa yang sebetulnya sudah menjadi haknya. Barang siapa berbuat, maka kelak ia akan memetik buah dari apa yang ia perbuat. Oleh karena itu, tak ada yang tahu cita-cita itu selain diri kita sendiri. Sebab cita-cita belum tentu sama di masa dulu, saat ini hingga esok tubuh ini mau kemana dan menjadi apa tergantung pada diri kita masing-masing. Dari mimpi itulah ternyata kita menciptakan tubuh-tubuh baru kita, dan mimpi itu tidak selalu diperoleh dari tidur kita. Kita sadar, bahwa kita sedang memimpikan diri kita menjadi “sesuatu atau sesosok” di masa mendatang.
Mati
Bila kita menyepakati bahwa cita-cita adalah masa depan, maka cita-cita kita semua adalah mati. Meski kita tak suka, meski kita kecewa, dan bahkan membencinya. Dalam buku “mati bertahun yang lalu” soe tjen marching menuliskan tentang kematian sebagai cita-cita : “begitu ngerinya kematian. Ia hidup dimana-mana. Ia terkadang lebih hidup daripada hidup itu sendiri. Dan karenanya, ia dapat menguasai hidup dan menghantuinya”. Kematian menjadi sesuatu yang tak hanya ditakuti, tapi dinanti-nanti,disambut dan juga dirayakan dengan berabagai upacara. Karena disaat itulah, manusai memahami bahwa ia akan menyudahi dan atau melunasi cita-citanya. Lebih lanjut soe menyatakan : “Dan sebagai akhir perjalanan, ia adalah tujuan. Namun sebagai tujuan yang paling pasti,ia paling mengerikan.karenanya, manusia menciptakan berbagai agama dan kepercayaan untuk menghadapinya. Sehingga mereka dapat melihatnya sebagai surga, kehidupan abadi, dan pertemuan dengan Yang Maha Tinggi”.
Maka alangkah sia-sianya manusia yang tak menyadari dan tak mengerti mengapa ia harus mati dan untuk apa ia membangun semua yang kelak ia merasakan kepuasan dengan senyum riang, ia merayakan dengan kegembiraan dan ekspresi yang lain, tiba-tiba disambut dengan satu peristiwa yakni kematian. Mati sekali lagi adalah langkah dan juga cita-cita yang tak hanya menghidupkan imajinasi-imajinasi tentang siksaan hingga nikmat melalui pesan moral agama. Maka kematian adalah peristiwa yang tak pernah selesai dalam perbincangan,sebab ia akan hidup dalam pembicaraan orang hidup, dan tak hanya melahirkan energy yang luar biasa dan menjadi tindakan luar biasa yang memotivasi seseorang untuk berbuat banyak. Entah kebajikan atau sebaliknya keburukan. Dan mati pun tetap menjadi cita-cita yang misteri.
Pada akhirnya
Pada akhirnya kita sendiri yang menentukan, merumuskan dan juga menuliskan dalam biografi kita akan menjadi apa kita kelak.Yang orang menyebut ini cita-cita. Cita-cita inilah yang kata kartini memuliakan seseorang, dan mengangkat derajat manusia. Sebab dari cita-cita itulah manusia bisa berjalan dengan kehendaknya, menuliskan kehidupannya. Dan pada akhirnya cita-cita itu tergantung anda, bukan saya, apalagi mereka. Maka tuliskanlah cita-citamu dengan keringat,hingga dengan darah, agar kelak di saat-saat cita-cita kita terakhir kita tiba, yakni kematian menjemput kita. Kita sudah tersenyum pulas dengan berbagai kebahagiaan dan bekal yang sudah kita tuliskan bersama dengan orang-orang tercinta.
*)ARIF SAIFUDIN YUDITIRA . Lahir 30 juni 1988, bermukim di Klaten, masih studi di universitas muhammadiyah surakarta mengambil jurusan fakultas keguruan dan ilmu pendidikan bahasa inggris, selain menulis puisi, penulis juga aktif menulis esai, esai dan puisinya tersebar di beberapa media massa seperti Radar surabaya, Suara merdeka, Harian joglosemar, Solo pos, Media Indonesia, Lampung post, Majalah bhinneka, Majalah papyrus, Bulletin sastra pawon, Koran opini.com, gema nurani-com dan lain-lain. Ikut menulis dalam buku Manusia = puisi(2011) dan ”Aku dan buku” pawon (2012) .Buku puisinya Hujan ditepian tubuh diterbitkan di greenta jakarta(2012) Aktif di kegiatan sastra komunitas sastra pawon solo, pengajian jum’at petang, Mengelola Kawah institute indonesia
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda