Bahasa
Topeng Anas
Oleh arif saifudin yudistira*)
Pada hari Jumat (9/3) pernyataan mengejutkan datang
dari ketua partai democrat anas urbaningrum. Anas menyatakan berani digantung jika ia terbukti melakukan korupsi
dalam kasus wisma atlet dan kasus hambalang. Sentak public mencoba
diyakinkan oleh pernyataan anas tadi. Berbagai tanggapan pun datang, tak hanya
mendukung, tapi mencurigai anas. Politik anas dinilai mengikuti politik alay
alias anak lebay. KPK pun menanggapi anas dengan cuek saja, penyidikan harus
tetap dilanjutkan tegas johan budi. Gaya politik anas jelas sejalur dengan SBY
yang tak lain adalah Dewan Pembina partai democrat. Anas menggunakan gaya
komunikasi politiknya untuk berkomunikasi terhadap public mengingat desas-desus
yang terdengar kian kencang dan selama ini anas menanggapi semua ini dengan
diam. Ben Anderson(1966) menyebut ini sebagai “bahasa topeng”. Topeng ini akan
terbuka dikala tabir sudah terbuka semua. Jika belum terbuka, maka semua orang
akan berhak beropini dan berdesas-desus. Indikasi yang mengarah kepada anas
sudah sejak semula bisa dibaca ketika nazarudin tersangka kasus korupsi wisma
atlet membeberkan ada dana yang mengalir ke anas. Anas juga dituding nazar
memenangkan menjadi ketua umum partai democrat melalui menyuap beberapa kader
partai democrat. Kesaksian semakin membuat anas terpojok, hingga ia meluapkan
perkataan yang mengejutkan.
Komunikasi
politik
Menurut Berelson dan Stainer(1964) komunikasi adalah
proses penyampaian informasi,gagasan,emosi, keahlian melalui penggunaan
symbol-symbol seperti kata-kata, gambar-gambar,angka-angka dan lain-lain. Lebih
lanjut kurniawan(2003) mengatakan : “bahasa membentuk ikatan social melalui
proses interaksi dan proses saling mempengaruhi penggunanya”. Maka dilihat dari
efek psiko-sosial, kalimat anas tak sekadar memiliki motif subjektif semata, ia
tidak bisa dilepaskan dari public yang lagi ramai membincangkannya. Ia pun tak
bisa dilepaskan dari jabatan yang menempel di dirinya. Yakni sebagai ketua umum
partai democrat. Gaya politik anas sangat kentara dan mirip dengan gaya politik
SBY yang dikenal dengan politik pencitraan. Ia akan merasa meminta dikasihani
public dan meminta empati, hingga simpati yang tinggi untuk mempertahankan
citra dan posisinya. Maka tak heran, ditengah gencarnya isu BBM yang akan naik
april 2012, SBY kembali bersuara melalui kubu politiknya dengan isu ada ancaman
pemakzulan.
Sedangkan anas, ia menghadapi posisi yang tak jauh
beda, ia terpojok, dan sulit berkilah untuk membuktikan dirinya tidak terlibat
sebagai penerima dana korupsi wisma atlet dan hambalang. Maka strategi terakhir
yang digunakan anas adalah mengeluarkan statement subjektif sembari berusaha
menampik semua kemungkinan yang dituduhkan kepadanya. Maka dengan pernyataan
“saya siap di gantung di monas jika korupsi satu rupiah pun pada kasus wisma
atlet dan hambalang”, sentak public terhentak, dan bertanya-tanya. Ada yang
beropini : “mungkin anas benar-benar tidak terlibat”, tapi banyak yang menilai
ini pernyataan “alay”.
Sikap
negara
Tidak mungkin pernyataan anas tadi akan disikapi
oleh lembaga hukum di negeri ini ketika anas benar-benar terbukti, sebab negara
kita adalah negara hukum. Tak ada aturan yang mengatur soal hukuman gantung
diri. Akan tetapi, kita menyikapi ini sebagai gaya politik topeng sebagaimana
yang dikatakan Anderson. Ini tak lain untuk menutupi atau sekilas membantah semua
tuduhan dan suara public melalui media ataupun melalui nazarudin sendiri.
Sedangkan sikap negara sendiri seperti tak ada jelasnya. SBY selaku panglima
tertinggi pemberantasan korupsi hanya berstatement tak akan melindungi
koruptor, sementara langkah-langkah untuk menyelesaikan kasus hukum ini seperti
diulur-ulur.
Ketika melihat sikap negara, negara
pun ingin melakukan komunikasi politiknya melalui SBY selaku presiden maupun
selaku Dewan Pembina partai democrat. Giels dan Wieman menegaskan “ Bahasa mampu menentukan konteks, bukan
sebaliknya teks menyesuaikan diri dengan konteks”. Pada konteks anas, SBY
pun terpaksa harus turun tangan demi membersihkan citra politiknya. Dalam
bahasa effendi Ghazali komunikasi politik seperti ini jelas tak bersih dan
kelihatan vulgar dalam sistem politik. Maka melihat kasus anas, ia menunjukkan
bahwasannya seluruh jajaran bawah partai democrat dianggap tidak mampu untuk
membantah tuduhan dan suara public yang mengarah pada partai democrat dan
dirinya. Sehingga anas perlu turun langsung untuk menampik dan melontarkan
pernyataan langsung sebagai respon terhadap tuduhan pada dirinya sekaligus
sebagai upaya pembersihan nama democrat yang terlanjur buruk dimata rakyat.
Sikap
public
Menyikapi hal ini, masyarakat kita
perlu memahami betul bahwa ada relasi antara partai democrat, kebijakan negara,
hingga urusan partai politik. Dengan demikian, masyarakat tak ikut arus dalam
pemberitaan di media, meski sebenarnya rakyat sudah jengah melihat drama para
politikus kita. Masih banyak kasus yang tak jelas ujungnya, century, rekening
gendut polri dan juga kasus-kasus lainnya. Jika SBY dan segenap politisi partai
democrat masih mengumbar “bahasa topeng”nya, maka rakyat akan semakin tak
percaya. Dan jelas, partai democrat akan habis nasibnya. Sebab tak ada lagi
jurus untuk menampik selain kompromi politik sebagaimana kasus-kasus sebelumnya
yang tak jelas ujungnya.
*) Penulis adalah Penggiat di Bilik
Literasi solo, Mengelola Kawah Institute Indonesia
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda