Sesat Pikir Dan Lelayu
Akademik
Oleh arif
saifudin yudistira*)
Kabar duka baru saja mengemuka di solo.
Diskusi dan bedah buku Gerwani Kisah Tapol wanita di Kamp Plantungan yang
rencananya diadakan di balai sudjatmoko sabtu (12/5/12) dibatalkan karena
desakan polisi.Menurut kabar, polisi di desak ormas yang menilai diskusi buku
tersebut tak layak di selenggarakan dan kemudian mendesak balai sudjatmoko
membatalkan agenda diskusi.
Sebelumnya secara beruntun kekerasan
terjadi di dunia akademik kita.Penolakan bedah buku Alloh,cinta dan kebebasan karya Irshad manji yang rencana diadakan
di balai sudjatmoko(8/5/12)dibatalkan oleh LUIS(5/5/12). Kemudian di Jakarta
pembatalan diskusi serupa dibubarkan polisi(4/5/12) dan di jogja pun demikian
halnya(9/5/12). Pembubaran maupun bentuk penekanan yang terjadi selama ini
lebih didasarkan pada motif arogansi dalam masyarakat kita. Dimana letak
kebebasan akademik dan kebebasan menyuarakan pendapat jika diskusi dan dialog
sudah dianggap sebagai suatu ancaman.
Kekerasan yang dikedepankan mencerminkan
bahwa moralitas akademik sudah tak ada dalam masyarakat kita. Apa jadinya bila
bangsa yang berbudaya dan beragama lebih mengedepankan kekerasan?. Agama lebih
dianggap sebagai momok dan juga monster menyeramkan. Dialog yang menjadi kunci
dan ciri orang beragama sudah dilupakan begitu saja. Apa jadinya bila orang
beragama lengkap dengan pakaian dan senjatanya hanya untuk menyerang orang mau
berdiskusi dan berdialog?. Ada kesalahan paradigma yang mendasari mereka
melakukan perbuatan tersebut. Sudah sejak jaman nabi-nabi dahulu, dialog dan
diskusi adalah strategi yang diutamakan daripada kekerasan dan pedang. Nabi
Muhamamad SAW adalah contoh yang nyata. Bila diijinkan nabi Mohamamd SAW,
jibril akan menimpakan gunung uhud pada kaum quraisy, tapi nabi lebih memilih
berdoa agar orang kafir mendapat hidayah. Kekerasan adalah cara yang ditempuh bagi orang yang lemah kata
Gandhi. Maka dialog dan musyawarah dan diskusi intelektual adalah jalan yang
mesti di kedepankan.
Sesat pikir
Ada semacam fenomena sesat pikir di
kelompok yang mengedepankan kekerasan dan tak sepakat dengan dialog. Iman
adalah sesuatu yang mutlak dalam diri, tapi alangkah nistanya bila iman hanya
berlandaskan pada dogma dan dalil yang sempit semata. Bukankah sudah ada
sejarah para nabi kita yang menggunakan akal untuk mencerna, memahami dan
menghayati setiap peristiwa dan ayat tuhan di alam ini. Agama sekali lagi bukan
dan tidak mengajarkan pemberangusan apalagi menggunakan cara-cara kekerasan
menghadapi diskusi. Diskusi dan dialog semestinya dilawan dengan dialog. Maka
harus kita tegaskan bahwa kekerasan dalam dunia akademik di ruang public
melalui bentuk-bentuk pelarangan, penekanan, intimidasi sampai pada tahap
pembubaran orang berdiskusi dan berdialog adalah sesat pikir yang mesti
diluruskan. Dalil agama mestinya tak disalahgunakan hanya untuk melegitimasi
perbuatan mereka. Agama terlampau kotor bila digunakan untuk melegitimasi
perbuatan mereka.
Agama semestinya lebih mengedepankan
dialog dan juga diskusi intelektual. Bukankah islam pun mengajarkan “katakan
kebenaran walau pahit”?. Agama apapun pasti tak mengajarkan cara-cara kekerasan
dalam menghadapi sesama manusia. Untuk apa beragama bila pedang dan darah lebih
dikedepankan daripada perdamaian dan cinta kasih?. Bukankah agama mengajarkan
demikian?. Seorang pemikir anti kekerasan dom holder camara mengatakan dalam
bukunya “spiral kekerasan” : “Apapun agamamu,cobalah berusaha agar agama
membantu menyatukan umat manusia, bukan untuk memecah belah”.Setidaknya itulah ajaran agama kita, bukan
sebaliknya justru mengedepankan pedang daripada pikiran dan hati kita.
Arogan
Sikap pembubaran diskusi yang ada di solo, jogja dan
Jakarta adalah bentuk arogansi semata. Hal ini bukan tidak berdasar, melainkan Negara
kita bukan Negara agama. Justru karena Negara kita bukan Negara agama, mestinya
kita menghormati hak-hak orang beragama menjalankan keyakinannya. Apalagi di
forum intelektual, bila ingin menggugat, gugatlah dengan cara-cara akademik dan
dialog. Bukan dengan membubarkan paksa, pembubaran paksa adalah cara-cara yang
memicu kekerasan. Intelektual mestinya sejajar dengan iman. Bila iman tidak
bisa diterima dengan rasionalitas maka iman tersebut mestinya diragukan. Oleh
karena itu, pembubaran diskusi dan juga bedah buku adalah bentuk arogansi yang
mendasarkan pada ego kelompok yang dipicu dengan semangat agama yang melenceng.
Pembubaran
diskusi dan bedah buku irshad manji dan bedah buku gerwani yang ada di solo dan
Jakarta serta jogja adalah representasi kematian akademik. Artinya, akademisi
dan juga manusia sudah tak lagi mempunyai moralitas dan nalar akademik yang
maju. Bila sikap seperti ini masih berkembang dan ada di negeri ini, maka
konflik dan juga kekerasan akan semakin rentan terjadi di negeri ini. Persoalan
ini hanya bisa diselesaikan dengan menghidupkan kembali ruang-ruang dialog dan
juga forum kerukunan umat beragama. Agar nalar akademik dan juga nalar
intelektual lebih dikedepankan daripada kekerasan. Kekerasan hanya akan membuat
kerukunan makin sulit diusahakan.
Terlebih
lagi, dunia akademik mestinya tidak mengembangkan doktrin dan juga pemikiran
yang sempit. Kebebasan akademik mesti dikembangkan, kampus mesti mengawali,
bahwa setiap pemikiran mesti dihargai dan dihormati. Kita tidak membicarakan
pro dan kontra, setuju atau tidak, diskusi adalah cara intelektual untuk
mencari dan menemukan kebenaran. Bila tidak demikian, maka ilmu dalam dunia
akademik kita tak lebih dari sekadar doktrin dan dogma semata. Kampus itulah
yang mesti mengawali, kasus di UGM adalah peristiwa yang mencoreng dunia
akademik kita.
Jika
kampus yang semestinya menjadi corong dan gerbong untuk ruang akademik dan
kebebasan akademik sudah memiliki pemikiran yang sempit. Maka ini adalah tanda
bahwa lelayu akademik itu sudah ada di dunia akademik dan ruang public kita.
*)penulis bergiat di bilik literasi solo, mengelola kawah institute
Indonesia
*)Tulisan dimuat di Solo POS Selasa, 15 mei 2012
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda