Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Senin, Mei 14, 2012


Sesat Pikir Dan Lelayu Akademik
Oleh arif saifudin yudistira*)

Kabar duka baru saja mengemuka di solo. Diskusi dan bedah buku Gerwani Kisah Tapol wanita di Kamp Plantungan yang rencananya diadakan di balai sudjatmoko sabtu (12/5/12) dibatalkan karena desakan polisi.Menurut kabar, polisi di desak ormas yang menilai diskusi buku tersebut tak layak di selenggarakan dan kemudian mendesak balai sudjatmoko membatalkan agenda diskusi.
Sebelumnya secara beruntun kekerasan terjadi di dunia akademik kita.Penolakan bedah buku Alloh,cinta dan kebebasan karya Irshad manji yang rencana diadakan di balai sudjatmoko(8/5/12)dibatalkan oleh LUIS(5/5/12). Kemudian di Jakarta pembatalan diskusi serupa dibubarkan polisi(4/5/12) dan di jogja pun demikian halnya(9/5/12). Pembubaran maupun bentuk penekanan yang terjadi selama ini lebih didasarkan pada motif arogansi dalam masyarakat kita. Dimana letak kebebasan akademik dan kebebasan menyuarakan pendapat jika diskusi dan dialog sudah dianggap sebagai suatu ancaman.
Kekerasan yang dikedepankan mencerminkan bahwa moralitas akademik sudah tak ada dalam masyarakat kita. Apa jadinya bila bangsa yang berbudaya dan beragama lebih mengedepankan kekerasan?. Agama lebih dianggap sebagai momok dan juga monster menyeramkan. Dialog yang menjadi kunci dan ciri orang beragama sudah dilupakan begitu saja. Apa jadinya bila orang beragama lengkap dengan pakaian dan senjatanya hanya untuk menyerang orang mau berdiskusi dan berdialog?. Ada kesalahan paradigma yang mendasari mereka melakukan perbuatan tersebut. Sudah sejak jaman nabi-nabi dahulu, dialog dan diskusi adalah strategi yang diutamakan daripada kekerasan dan pedang. Nabi Muhamamad SAW adalah contoh yang nyata. Bila diijinkan nabi Mohamamd SAW, jibril akan menimpakan gunung uhud pada kaum quraisy, tapi nabi lebih memilih berdoa agar orang kafir mendapat hidayah. Kekerasan adalah  cara yang ditempuh bagi orang yang lemah kata Gandhi. Maka dialog dan musyawarah dan diskusi intelektual adalah jalan yang mesti di kedepankan.
Sesat pikir
Ada semacam fenomena sesat pikir di kelompok yang mengedepankan kekerasan dan tak sepakat dengan dialog. Iman adalah sesuatu yang mutlak dalam diri, tapi alangkah nistanya bila iman hanya berlandaskan pada dogma dan dalil yang sempit semata. Bukankah sudah ada sejarah para nabi kita yang menggunakan akal untuk mencerna, memahami dan menghayati setiap peristiwa dan ayat tuhan di alam ini. Agama sekali lagi bukan dan tidak mengajarkan pemberangusan apalagi menggunakan cara-cara kekerasan menghadapi diskusi. Diskusi dan dialog semestinya dilawan dengan dialog. Maka harus kita tegaskan bahwa kekerasan dalam dunia akademik di ruang public melalui bentuk-bentuk pelarangan, penekanan, intimidasi sampai pada tahap pembubaran orang berdiskusi dan berdialog adalah sesat pikir yang mesti diluruskan. Dalil agama mestinya tak disalahgunakan hanya untuk melegitimasi perbuatan mereka. Agama terlampau kotor bila digunakan untuk melegitimasi perbuatan mereka.
Agama semestinya lebih mengedepankan dialog dan juga diskusi intelektual. Bukankah islam pun mengajarkan “katakan kebenaran walau pahit”?. Agama apapun pasti tak mengajarkan cara-cara kekerasan dalam menghadapi sesama manusia. Untuk apa beragama bila pedang dan darah lebih dikedepankan daripada perdamaian dan cinta kasih?. Bukankah agama mengajarkan demikian?. Seorang pemikir anti kekerasan dom holder camara mengatakan dalam bukunya “spiral kekerasan” : “Apapun agamamu,cobalah berusaha agar agama membantu menyatukan umat manusia, bukan untuk memecah belah”.Setidaknya itulah ajaran agama kita, bukan sebaliknya justru mengedepankan pedang daripada pikiran dan hati kita.
Arogan
            Sikap pembubaran diskusi yang ada di solo, jogja dan Jakarta adalah bentuk arogansi semata. Hal ini bukan tidak berdasar, melainkan Negara kita bukan Negara agama. Justru karena Negara kita bukan Negara agama, mestinya kita menghormati hak-hak orang beragama menjalankan keyakinannya. Apalagi di forum intelektual, bila ingin menggugat, gugatlah dengan cara-cara akademik dan dialog. Bukan dengan membubarkan paksa, pembubaran paksa adalah cara-cara yang memicu kekerasan. Intelektual mestinya sejajar dengan iman. Bila iman tidak bisa diterima dengan rasionalitas maka iman tersebut mestinya diragukan. Oleh karena itu, pembubaran diskusi dan juga bedah buku adalah bentuk arogansi yang mendasarkan pada ego kelompok yang dipicu dengan semangat agama yang melenceng.
            Pembubaran diskusi dan bedah buku irshad manji dan bedah buku gerwani yang ada di solo dan Jakarta serta jogja adalah representasi kematian akademik. Artinya, akademisi dan juga manusia sudah tak lagi mempunyai moralitas dan nalar akademik yang maju. Bila sikap seperti ini masih berkembang dan ada di negeri ini, maka konflik dan juga kekerasan akan semakin rentan terjadi di negeri ini. Persoalan ini hanya bisa diselesaikan dengan menghidupkan kembali ruang-ruang dialog dan juga forum kerukunan umat beragama. Agar nalar akademik dan juga nalar intelektual lebih dikedepankan daripada kekerasan. Kekerasan hanya akan membuat kerukunan makin sulit diusahakan.
            Terlebih lagi, dunia akademik mestinya tidak mengembangkan doktrin dan juga pemikiran yang sempit. Kebebasan akademik mesti dikembangkan, kampus mesti mengawali, bahwa setiap pemikiran mesti dihargai dan dihormati. Kita tidak membicarakan pro dan kontra, setuju atau tidak, diskusi adalah cara intelektual untuk mencari dan menemukan kebenaran. Bila tidak demikian, maka ilmu dalam dunia akademik kita tak lebih dari sekadar doktrin dan dogma semata. Kampus itulah yang mesti mengawali, kasus di UGM adalah peristiwa yang mencoreng dunia akademik kita.
            Jika kampus yang semestinya menjadi corong dan gerbong untuk ruang akademik dan kebebasan akademik sudah memiliki pemikiran yang sempit. Maka ini adalah tanda bahwa lelayu akademik itu sudah ada di dunia akademik dan ruang public kita.

*)penulis bergiat di bilik literasi solo, mengelola kawah institute Indonesia 
*)Tulisan dimuat di Solo POS Selasa, 15 mei 2012 

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda