“Kegagapan
Membaca Realitas pendidikan kita”
Tanggapan
untuk al-iklas kurnia salam
Oleh
Arif saifudin yudistira
Marxis
tidak mampu untuk membaca perkembangan kelas social yang ada di masyarakat
indonesia saat ini(Olle Tornquist).
Ada persoalan
besar yang ada di dalam dunia pendidikan kita. Kesalahan tersebut sudah seperti
benang ruwet, yang sangat sulit untuk kita urai satu-persatu. Akan tetapi jika
menilik tulisan Al-iklas kurnia salam pada selasa(17/4/12) yang bertajuk kesalahan terbesar pendidikan kita, kita
justru akan menemukan keruwetan di dalam tulisan tersebut. Di awal tulisan, ia
mengungkapkan persoalan penting yang menyangkut konsep pendidikan ala tan
malaka. Pendidikan yang berdasarkan didikan kerakyatan akan berjiwa kerakyatan
pendidikan berdasar kemodalan maka nalar capital yang terbentuk. Hal yang
diungkap di bagian berikutnya adalah persoalan pendidikan kita yang bergaya
banking, yang berkonsep Paulo freire tak sesuai dengan pendidikan kita.
Pendidikan yang seperti ini dianggap sebagai kesalahan terbesar dalam
pendidikan kita. Di akhir uraian, ia mengungkapkan pendidikan mestinya
berdasarkan pada konsepsi Ki hajar dewantara yang mendasarkan pendidikan pada
tiga hal penting kemandirian, berakhlak, dan juga anti penjajahan. Dan
dipungkasan esainya ia melihat ada kemungkinan pelabelan sekolah kerakyatan,SD
rakyat, SMA kerakyatan, dan lain sebagainya.
Bila membaca dan memahami tulisan iklas, kita melihat ada
kegusaran, dan kegalauan terhadap realitas pendidikan saat ini, hanya saja kita
bisa melihat kegagapan pula dari seorang korban pendidikan. Persoalan kegagapan
itu bisa dibaca ketika ia mencoba menerapkan teori “banking of education” ala
Paulo freire yang tak mampu menganalisa relitas pendidikan kita. Persoalan
freire ini diungkap ketika produktifitas tak menghasilkan produktifitas yang
lebih tinggi. Padahal realitas pendidikan kita justru sebaliknya bertumpu pada
konsumsi yang terus menerus, hingga ia tak pernah menciptakan produktifitas dan
bertumpu pada nalar konsumsi. Pendidikan kita kini tak hanya menunjukkan
kesemrawutan, tapi justru sebaliknya menuju pada pendidikan yang semakin mapan.
Kemapanan itu terlihat pada realitas kesadaran masyarakat
kita untuk mendidik anak-anaknya untuk masuk dalam jenjang pendidikan yang
bermutu mulai dari pendidikan anak usia dini hingga pendidikan tinggi.
Kesadaran itu muncul dalam memasukkan anak mereka pada pendidikan dan sekolah
yang berkualitas. Inisiatif masyarakat itu muncul dalam bentuk PAUD islami,
SDIT atau SD program khusus, hingga Universitas berbasis international. Pada
titik ini kita membaca realitas masyarakat yang berusaha menciptakan pendidikan
yang mandiri dan juga berkualitas semakin ditunjukkan. Realitas ini jelas
berseberangan dengan persoalan pendidikan yang diangkat iklas mengenai pendidikan
yang dikhawatirkan iklas tentang didikan kemodalan dan nalar kapital. Nalar
capital dan kesenjangan ada pada persoalan pemerintah dalam menciptakan
kesejahteraan, bukan pada persoalan model pendidikan yang mandiri dan
berkualitas.
Alam
dan nalar lama
Model pendidikan
gaya tan malaka dan ki hajar dewantara tentu bisa dijadikan catatan sejarah
pendidikan kita dalam menapaki perkembangan pendidikan. Nalar dan alam yang
dipakai tan malaka dan ki hajar adalah alam lama yang tentu tak terlepas pada
kondisi di jamannya pada waktu itu. Ketika nalar itu dibawa pada realitas
pendidikan saat ini, maka akan ada benturan-benturan yang tak bisa dipaksakan
dengan alam modernitas saat ini. Yang jadi persoalan saat ini justru ada pada
persoalan I’tikad dan niatan pemerintah
dalam mengurusi pendidikan kita. UU SISDIKNAS no.23 tahun 2003 yang ada malah mereduksi
tanggungjawab pemerintah. Alhasil, peran negara jadi sekadar administrative
belaka dalam dunia pendidikan kita.
Persoalan berikutnya adalah pada jiwa pendidik yang ada
pada guru-guru kita. persoalan fasilitas dan kesejahteraan yang sudah ada tanpa
dilandasi etos sebagai guru yang mendidik mentalitas bangsa sebagaimana yang
pernah dikatakan sukarno : “Guru ia
memikul pertanggungjawaban yang maha berat terhadap negeri dan bangsanya”.
Menciptakan guru-guru dan juga pendidik yang berjiwa bangsa inilah yang belum
maksimal diusahakan oleh pemerintah. Yang jadi soal bukan pada kesenjangan yang
ada dalam masyarakat kita dalam mencapai akses pendidikan, tapi pada persoalan
negara yang sudah semestinya mensejahterakan masyarakat kita. Sehingga antusias
dan perhatian masyarakat dalam menciptakan pendidikan yang mandiri dan
berkualitas harus didukung dan dikembangkan,sehingga kesenjangan yang ada dalam
pendidikan itu bisa ditiadakan.
Abstrak
Di akhir
essainya Iklas mengimpikan pendidikan bergaya kerakyatan dengan munculnya SD
kerakyatan, SMP kerakyatan, dan SMA kerakyatan, dll. Bila melihat hal ini, ada
semacam konsep pendidikan yang abstrak yang belum mampu diterjemahkan oleh
masyarakat kita. Konsep pendidikan kerakyatan ala tan malaka adalah respon alam
negeri ini ketika terjajah, yang membutuhkan semangat anti kolonialistik,
membutuhkan alat untuk hidup dan keterampilan hidup, dan semangat
internasionalisme. Bentuk-bentuk konsepsi semacam ini adalah konsepsi yang
begitu praktis yang ini dicontohkan dalam bentuk sekolah tak terlembagakan.
Bayangan iklas dalam bentuk lembaga adalah kesalahan membaca pendidikan ala tan
malaka.
Kegagapan ini berujung pada tak adanya solusi yang pasti
dan terarah terhadap realitas pendidikan yang ada. Tulisan iklas adalah cermin
dari kegagapan dan pembacaan sebagai masyarakat korban,yang tak mampu membaca
dan menafsirkan realitas pendidikan yang ada saat ini. Marxis tak mampu membaca
perkembangan kelas social di negeri ini harus diakui, sedang peran pemerintah
dalam mensejahterakan dan meningkatkan kualitas pendidikan rakyatnya itu yang
mesti ditekankan pada pemerintah kita.
*)Penulis
adalah mahasiswa UMS,ikut menulis dalam “AKU & BUKU”2012
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda