Sejarah
Dan foto Di Abad 21
Oleh
arif saifudin yudistira*)
“Saya ingin menghidupkan Jawa di masa lalu,
yang subur, penuh dengan nuansa hutan dan hijau, padang yang luas. Karena saat
ini sudah tidak ada lagi, melalui foto-foto yang saya lampirkan dalam buku
KUASA RAMALAN saya berhasrat seperti Raffles”
(Peter Carey dalam diskusi 21
april 2012)
Telisik sejarah ternyata mampu mengundang imajinasi dan
juga nuansa masa lampau di masa kini. Sejarah negeri ini sebenarnya sangat kaya
akan khasanah, kebudayaan, hingga peristiwa yang begitu membuat kita takjub di
jaman sekarang. Kita tak lagi mampu melacak keadaan, nuansa, suasana, hingga
momen-momen yang begitu bersejarah tanpa
fotografi. Semenjak dunia fotografi yang masih berupa heliografi yang
ditemukan oleh joseph Nicephore Niepche di tahun 1825, dunia fotografi pun
berkembang hingga saat ini. Dunia fotografi tak hanya berkembang pada bagaimana
momen-momen diabadikan begitu saja, dunia sekolah merawat ini dalam rupa
biografi dan administrasi. Dunia sekolah di masa colonial pun tak berbeda jauh.
Foto begitu berharga untuk menarasikan diri dan juga peristiwa yang sudah
berlalu demikian jauh dari kita.
Foto berubah menjadi alat untuk mengucap dan
mendefinisikan diri. Kita pun kini menemui buku dan biografi para tokoh dan
founding fathers kita dilengkapi dengan foto-foto mereka. Sebut saja buku
biografi Hatta yang ditulis Deliar noer yang diterbitkan kembali oleh gramedia
yang memuat lebih dari seratus foto Mohammad Hatta. Foto ini memberi penjelas
sekaligus narrator untuk mengucapkan sang tokoh. Foto dengan berbagai ekspresi
dan berbagai momentum indah dan momentum serius pun dihadirkan untuk melengkapi
biografi. Narasi teks pun serasa hambar tanpa narasi visual. Narasi visual jauh
melampaui narasi teks, konon foto adalah rangkuman dari seribu kata yang mampu
menjelaskan tanpa harus ditulis.
Dunia
kini mengenal foto tak hanya sebagai dokumentasi dan arsip-arsip semata. Foto
melebihi itu, foto adalah sejarah yang bergerak dan menggerakkan. Foto jadi
dunia yang kemudian bisa dilacak sebagai data autentik untuk mendeskripsikan
dan menarasikan seseorang di masa lampau. Kita mengetahui kerja dan jerih payah
harry a.poetze yang menggunakan foto tan malaka di belanda dan juga di sumatera
sebagai satu data untuk melengkapi penelitian sejarahnya tentang orang
misterius dan paling berpengaruh terhadap lahirnya bangsa Indonesia ini.
Melalui penelitiannya itu pula Harry a poetze menulis Tan malaka dan gerakan kiri Indonesia.
Fakta
bahwa foto adalah sejarah yang menggerakkan pun bisa ditelusuri ketika Pater
Carey menelusuri sejarah dan biografi Pangeran diponegoro melalui foto
diponegoro yang digambarkan melawan belanda dengan berdiri tegap dan dagu ke
atas. Foto inilah yang mengajak dan mengantarkannya ke jawa dan meneliti pangeran
ini selama hampir 40 tahun.Ada panggilan mistis untuk meneliti dan mengganjal
di foto diponegoro tersebut. Foto pun
bisa kita temui di buku Raffles (History of java)yang memuat berbagai sosok dan
potret priyayi, kawula alit, demang, hingga para ulama di masa itu. Raffles
menggunakan foto untuk menjelaskan kelas sosial pada waktu itu, orang china,
orang jawa dan juga orang colonial. Foto pun menjadi data primer yang tak bisa
dilewatkan begitu saja.
Di
dalam buku Dari Jawa Menuju Acehi Linda
christanty pun menulis tentang foto yang menarasikan pasukan belanda yang
berpose selepas penyerbuan di sebuah kampong di aceh timur di tahun 1886.
Penyerbuan tersebut bertujuan meringkus Teuku Umar suami cut nyak dien. “Di
wajah-wajah itulah saya temukan jawabannya : mereka adalah orang jawa yang
dikirim oleh orang belanda untuk menguasai aceh!”. Temuan foto Linda ini
ditegaskan oleh pram dalam wawancara sebelum ia meninggal. Pram mengatakan
“untuk menundukkan aceh orang-orang belanda mengambil tentara bayaran dari
jawa. Ini terus berlanjut sampai hari ini!”.
Foto
abad 21
Di abad modernitas kini,
foto pun bergerak melalui sekolah. Dunia sekolah kita pun memberikan satu
pelajaran penting tentang fotografi. Foto di dunia sekolah dan dunia kerja kita
pun seperti berubah menjadi foto yang berfungsi administrative dan data di
sekolahan. Tak beda dengan dunia kerja, yang menjadikan foto tiba-tiba jadi
sebuah syarat untuk kelulusan ataupun mendaftar pekerjaan. Foto berubah jadi
arsip dan data-data di perusahaan dan juga di lembaga-lembaga pendidikan.
Foto di abad ini seperti menjelaskan betapa foto sudah
tak seperti dulu lagi. Foto tak lagi sacral, dalam foto tak ada lagi diri dan
biografi. Foto di dunia modernitas pun berkembang sebagai area selebrasi dan
narsisme. Dunia modern mengejewantahkan cara mereka sendiri mendefinisikan
foto. Foto berubah jadi tak lagi seperti dulu yang berfungsi sebagai pengucap
diri dan biografi hingga momentum-momentum bersejarah, sedang saat ini foto
justru membuat kita bunuh diri. Identitas jadi tak bernilai, foto tak lagi
mengucap, foto justru menipu dan menjebak kita ke dalam dunia yang asing dan
absurd. Sejarah terus bergerak dari foto. Foto masih menjadi saksi dan
pengingat masa lampau.
Para sejarawan menggunakan foto untuk menyelamatkan diri dan biografi. Sedang kita seperti sebaliknya menggunakan foto untuk bunuh diri.
*)Penulis
adalah pegiat di bilik literasi mengelola kawah institute Indonesia
Tulisan
di muat di radar Surabaya 15 juli 2012
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda