Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Rabu, Maret 04, 2009

"Membangun Budaya kRitis"by Yudistira

Membangun Budaya Kritis
Menuju Transformasi dan perubahan
Sosial
(*Arif Saifudin Yudistira)

Mahasiswa selalu identik dengan kaum intelektual terpandang yang didalam masyarakat biasa dipandang sebagai elit intelek. Oleh karena itu mahasiswa dipandang mempunyai kemampuan lebih dari sisi pengetahuan, kemampuan berpikir, menganalisa permasalahan, dan lain sebagainya.
Pada kenyataanya saat ini mahasiswa seperti kita kurang menyadari bahwa mereka memegang peran yang begitu berat di masa yang akan datang. Kita perlu menyadari bahwa tonggak kepemimpinan bangsa saat ini menjadi tanggung jawab kita selaku generasi penerus. Saat ini kita hanya disibukkan oleh aktivitas kuliah kita tanpa memandang apa tujuan kita kuliah? dan Apa yang kita dapat dari kuliah?
Sejarah telah membuktikan bahwa dengan adanya Mahasiswa kita bisa menumbangkan hal yang keliru, kekuasaan, dan hukum yang tidak adil. Hal ini seperti yang dilakukan oleh tokoh reformasi kita Bapak Amien Rais yang menumbangkan rezim yang amat kuat, tersistem, dan berkuasa pada waktu itu. Bapak Amien Rais pada waktu itu mulai membangkitkan dan memunculkan ide-ide dan wacana kritis kepada teman-teman Mahasiswa untuk menyuarakan suara-suara yang benar.
Hal ini berbeda dengan kenyataan mahasiswa kita saat ini yang kurang banyak wacana, kurang ada minat baca, dan takut untuk menyuarakan hal–hal yang benar. Semua berawal dari hal yang kecil dulu, sebelum kita berani mengkritisi para penguasa yang ada disana kita bisa mengkritisi pemimpin-pemimpin kita yang ada di tataran kampus terlebih dahulu.
Mulai dari sinilah kita akan membiasakan budaya kritis,disamping itu kita juga perlu adanya budaya instropeksi agar antara kritis dan realita kita tidak bertentangan. Dengan budaya inilah kita bisa merubah hal-hal yang sekiranya belum sesuai menjadi hal-hal yang sesuai.
Mari kita lihat dilingkungan kita saat ini, banyak dari kita tidak tahu menahu tentang kebijakan kampus, tentang latar belakang para pemimpin-pemimpin kita yang berada ditataran dosen dan rektorat. Seandainya kita tahu banyak tentang latar belakang para pimpinan kita, kita bisa mengamati, mengkritisi, dan meluruskan mereka sekiranya ada hal yang tidak sesuai.
Selama ini mahasiswa dimanja dengan fasilitas yang seakan-akan itu sudah fasilitas yang lebih. Namun, pada kenyataanya hal itu belum seberapa jika dibanding dengan apa yang kita bayarkan. Kalau saya memandang selama ini kita tidak peduli dengan apa yang dilakukan pihak universitas dan terkesan kurang wacana.
Namun selama ini kita terkesan hanya diam dan tidak mau tahu. Termasuk juga dengan pendidikan kita di kampus,sudahkah kita merenung setelah kita lulus dapat apa? Atau kita lebih memilih untuk berpikir pragmatis, yang penting dapat pekerjaan. Lalu,apakah kita hanya puas kerja di perusahaan luar negeri,pulang bisa bangun rumah,punya anak,selesai. Percuma kalau paradigma kita masih seperti itu,sudah saatnya kita sadar akan hal ini dengan membangun budaya kritis tersebut.
Bahwa kita kuliah ,mencari ilmu,tidak hanya untuk cari pekerjaan,kemudian bangun rumah selesai,lalu bagaimana warisan sifat-sifat para pahlawan-pahlawan kita?Apakah kita sudah lupa,atau kita buang begitu saja?. Kita sebagai mahasiswa harus mempunyai budaya kritis dan budaya instropeksi. Kalau kita melihat pergerakan kita saat ini, pergerakan di kampus kita terkesan mati dan vakum dan sarat dengan berbagai masalah.
Hal ini amat kita sayangkan, padahal maju tidaknya mahasiswa di kampus itu biasanya ditentukan oleh maju tidaknya pergerakan di kampus tersebut. Bagaimana kampus kita mau maju, kalau pergerakan di lingkungan kita saja sudah lesu. Apalagi kita saat ini, mau mengoreksi dan mengomentari bangsa. Bukan saya menyalahkan, tapi marilah kita sedikit mengoreksi dari dalam terlebih dahulu.



Kalau saya melihat akar permasalahan dari semua ini adalah kembali kepada mahasiswa yang kurang atau memang belum sadar akan perannya sebagai mahasiswa. Kadang kita melihat saudara kita yang menyuarakan suara rakyat saja kita mengatakan “Huuuh apaan tuh mahasiswa kurang kerjaan aja panas…panas…teriak-teriak mendingan tidur saja enaak“. Itulah gambaran mayoritas mahasiswa kita saat ini. Budaya kritis memang tidaklah mudah.
Kadang kita malu mengatakan teman kita salah, teman kita kurang benar, atau bahkan bapak dosen kita yang ngajar seenaknya saja. Budaya-budaya yang dicontohkan pahlawan-pahlawan kita,yang dituliskan tinta sejarah harus kita lestarikan.Seperti penjelasan dari Buya Syafi’i Maarif yang mengatakan : “Melalui jejak kelampauanlah seseorang melakukan rekonstruksi tentang peristiwa tertentu pada masa lampau yang menjadi pusat perhatiannya. Untuk apa dan untuk kepentingan siapa? Bertrand Russell mengatakan "untuk pleasure (kesenangan). Tidak salah, tetapi sejarawan Itali, Benedetto Croce (1886-1952), memberikan jawaban umum yang lebih mantap: untuk kepentingan orang hidup, bukan untuk kepentingan mati”. Maka sangat relevan jika kita saat ini haruslah sadar akan pentingnya budaya kritis dan budaya instropeksi.
Dengan membangun budaya kritis kita diharapkan bisa mengkritisi dan memberikan solusi tentunya terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan realita sosial. Paling tidak kita sebagai mahasiswa sudah ikut menyalurkan aspirasi rakyat dan berusaha menggugah kesadaran masyarakat untuk membangun budaya kritis.
Budaya kritispun tidak harus dengan berdemo,tapi juga dengan menulis salah satunya serta peduli dengan nasib bangsa. Seperti contoh kebijakan pemerintah yang melakukan penggusuran para pedagang pinggir jalan. Tapi,bagaimana kita bisa menulis tanpa pandangan dan pengetahuan yang luas. Oleh karena itu,budaya kritis tidak mungkin bisa tanpa dibangun melalui budaya membaca,dan membaca realita sosial dalam masyarakat kita.


Akhirnya kita bisa mengkritisi apa yang menjadi kebijakan pemerintah,sehingga apabila kita menjadi pemimpin kita bisa bekerja dengan lebih baik. Amien yaa robbal ngalamiin. ( *Penulis adalah KETUA DIVISI LITBANG FIGUR )

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda