Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Rabu, Februari 18, 2009

" Minimnya Jiwa PEndidik"

“Menjadi Pendidik antara Keterpaksaan & Kerelaan”

Oleh Arif Saifudin Yudistira*

“Ada seorang guru di suatu sekolah “X” bercerita tentang riwayatnya sebelum menjadi seorang guru. Beliau bercerita bahwa Ia menjadi seorang Guru karena kepepet alias terpaksa. Karena pada waktu itu beliau sudah mencari kerja sebagai karyawan dan direktur namun akhirnya beliau tidak diterima dan kemudian mendaftar sebagai seorang Guru. Beliau juga menambahkan “Jadi Guru itu repot, Gajinya pas-pasan dan ga’ bisa kaya” tuturnya. Dan beliau juga berpesan “Jangan jadi seorang Guru kalau pengin hidupmu sukses dan jadi orang”.

Setelah mendengar cerita tersebut, saya yang waktu itu berkemauan keras menjadi seorang Guru, kemudian saya ingin menjadi seorang pengusaha saja. Melihat jadi Guru begitu susah dan digambarkan sebagai posisi yang patut di kasihani dan dipandang begitu rendah [Eko,Prasetyo,Guru mendidik itu melawan]. Begitu sempit orang memahami filosofi seorang “pendidik atau guru”. Seorang Guru ,dalam falsafah Jawa begitu santun dan memberikan hakikat yang mendalam begitu mulianya seorang Guru[“Di Gugu Lan Di Turu atau Di taati Dan Dicontoh”].
Sama seperti yang diajarkan Islam oleh Rosul Kita “Tauladan&Keteladanan”. Tidak banyak Guru sekarang memahami tentang arti Guru yang seperti ini, sering sekali Guru bisa menjadi teladan di sekolahan namun tidak bisa memberi keteladanan kepada keluarganya atau sebaliknya. Guru atau calon Guru kita saat ini cenderung kurang memahami peran dan fungsinya sebagai seoarang Guru.
Profesi seorang Guru adalah profesi yang dilandasi hati nurani sebagaimana yang dilakukan oleh seorang ibu. Sifat Keikhlasan, Ketulusan, cinta, hendaklah menjadi sikap dasar untuk menjadi seorang pendidik. Fenomena Guru saat ini begitu memprihatinkan, melihat Guru yang tidak patut dipandang sebagai seorang Guru. Hal ini karena orientasi & tujuan Guru saat ini amat sangat rendah. Karena Guru saat ini cenderung melihat materi,dan gaji. Memang itu merupakan suatu hak, namun hendaknya harus diimbangi dengan jiwa pendidik.

Minimnya Jiwa pendidik sebagai Guru & Calon Guru

Terbukti jika kita lihat saat ini bila melihat seorang Dosen yang sering terlambat mengajar, serta dosen yang mengejar materi. Juga tidak jauh beda dengan mahasiswanya yang masuk hanya sekedar mencari skor ”A” namun ditanya tentang filosofi seorang pendidik tidak tahu. Pendidikan adalah proses penyadaran[Paulo Freire] berawal dari konsep tersebut hendaknya seorang Guru tahu bagaimana menyadarkan muridnya tentang bagaimana pendidikan itu bisa menghadapi permasalahan-permasalahan hidup atau “ pendidikan hadap masalah “. Untuk itu tugas seorang Guru harus difahami sebagai tugas yang berat dan bukan main-main.



Memprihatinkan & menyedihkan bila kita mendengar kata-kata diatas “ Saya menjadi Guru hanya karena terpaksa ”. Bagaimana bisa melihat akan berhasil bila Gurunya saja mengajar dengan terpaksa, apalagi orientasinya pada materi. Maka tidak heran bila melihat murid dan anak-anak didik kita begitu jauh sesuai yang kita harapkan. Pendidikan yang menghasilkan manusia yang cerdas, bermoral, menjadi amat jauh dari dunia pendidikan kita.
Fenomena penghargaan Guru yang mengakibatkan pada keterpaksaan

Guru saat ini dihadapkan ke dalam posisi yang dilema. Sebuah derita kembali menghadangnya. Fenomena sertifikasi Guru adalah hal yang saya maksudkan. Guru kembali diuji hati nuraninya, antara memberikan ilmu yang dengan hati tulus ataukah harus dengan sertifikat?. Sangat memprihatinkan ketika ada fenomena seorang Guru memohon kepada Seorang Ketua Sebuah Organisasi hanya meminta sertifikat pernah mengajarkan Kajian. Ironis, apakah harga sebuah ilmu cukup hanya dihargai dengan sertifikat.
Tiap kebijakan memang ada positif dan lebihnya, Tapi apakah sertifikasi harus merendahkan arti&nilai sebuah pendidikan dan seorang pendidik?. Tak heran bila pendidikan kita adalah pendidikan yang carut marut dan jauh dari tujuan pendidikan itu sendiri. Karena pendidikan sudah dikotori oleh sebuah sertifikat . Sertifikat sudah menjadi “thoghut” dalam dunia pendidikan kita.
Bisa kita lihat di kampus kita mahasiswa saat ini mengikuti seminar-seminar hanya untuk menadapatkan sertifikat bukan untuk mendapatkan ilmu & esensi dari seminar itu sendiri. Yang lebjh mengherankan lagj bahwa bila saat ini kita sibuk mencari sertifikat saat ini, padahal, undang-undang guru dan dosen baru bisa diterapkan secara utuh di tahun 2015(Kompas)
Maka tak heran ketika saat ini Guru yang ada di pedesaan-pedesaan saling rajin mengikuti seminar-seminar dan memberikan pelatihan-pelatihan, tidak datang dari nurani melainkan ada tendensi yaitu demi meningkatkan kesejahteraanya. Maka kalau boleh saya katakan : “Bila seorang Guru sudah berorientasi pada Gaji berarti Guru itu telah mengotori hakikat pendidikan dan hakikat sebagai seorang pendidik itu sendiri” . Oleh karena itu bila kita saat ini sebagai calon Guru tidak mau memahami filosofi seorang Guru, apalagi manjadikan dan memandang profesi ini sebagai suatu mainan, akan kita lihat pada generasi kita dua sampai tiga tahun kedepan adalah generasi yang jauh dan semakin jauh dari tujuan pendidikan.
Kembali pada Guru antara sebuah kerelaan dan ketulusan hati hendaknya tidak dikotori dengan sebuah sertifikasi serta sikap terpaksa. Perlu difahami Guru pada hakikatnya profesi mulia yang akan beroleh penghargaan yang tinggi dari seorang murid bila Guru tersebut mengajar dengan cinta, ketulusan, serta kasih sayang. Dan penghargaan “ Pahlawan tanpa tanda jasa” akan selalu tersimpan dalam benak-benak kami selaku muridmu ”. Sedangkan masalah gaji, itu sudah semestinya menjadi kewajiban pemerintah. Oleh karena itu kita sebagai calon-calon Guru, baik Guru pada murid kita ataupun pada anak kita nanti, hendaknya perlu belajar banyak tentang hakikat pendidikan dan seorang pendidik. Sehingga bila kita menjadi Guru nanti tidak pernah berkata: “ Saya menjadi Guru seperti ini karena terpaksa”.







Penulis adalah mahasiswa bahasa inggris UMS

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda