BUKU Manusia = Puisi
Mengembalikan diri pada hakikat kemanusiaan
Oleh arif saifudin yudistira*)
Lalu aku, lalu kau, lalu akukau adalah tiga bab kehidupan kita yang diterjemahkan,dituliskan dan ditangkap oleh radhar panca dahana dalam puisinya yang berjudul LALU AKU. Aku, kau, dan kita adalah bagian dari kehidupan ini, bagian dari hakikat kosmos yang tak mungkin terpisahkan dalam kehidupan kita. Ketika aku terlepas dari kau, ketika kata aku terlepas dari kau dan kita maka aku adalah sosok yang hilang, sosok yang tak punya nyawa. Pesan itulah yang ingin disampaikan dalam sekumpulan puisi ini.
Manusia diciptakan untuk berhubungan dengan oranglain, dengan alam, dan dengan imajinasinya. Ketika manusia tidak lagi mempunyai rasa sensibilitas, tidak memiliki rasa sensitifitas dengan alam, manusia lainnya, maka tidak jauh berbeda dengan cyborg. Sebagaimana lyotard pernah berujar tentang makhluk mekanik. Lebih jauh lagi herbert marcuse menyebut manusia yang seperti ini dengan sebutan one dimensional of men(manusia satu dimensi).
Manusia yang seperti itulah manusia yang mereka menyentuh, mereka mendengar, mereka melihat tapi tidak tersentuh, tidak mendengar, dan tidak merasakan. Akhirnya manusia yang seperti inilah yang tentu tidak sama-sama kita inginkan. Sastra adalah bagian dari kemanusiaan itu. Puisi adalah bagian dari sastra. Mencintai puisi, adalah mencintai sastra, dan mencintai kemanusiaan.Lewat kata-kata itulah kita berperan, dengan kata-kata kita bersuara, dan dengan kata-kata kita mengumpulkan dan menciptakan, serta dengan kata-kata kita berfihak. Maka tak hayal bila pramudya pernah mengatakan : orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak mencintai sastra ia ibarat anjing yang bodoh.
Dalam puisi radhar panca dahana, kita akan menemukan keterasingan, kelemahan, kegembiraan, kekaguman, dan juga refleksi diri yang sangat wajar dihadapi oleh manusia. Menulis puisi adalah memerkarakan hidup dan kehidupan. Puisi bagi radhar adalah upaya mengembalikan kita sebagai manusia. “Susunlah kata-kata hingga ia menjadi hidup yang berwaktu dan bercinta”. Susunlah ia jadi puisi sehingga ia memanusiakan kamu,sebagaimana sejarah waktu ada padamu, sejarah cinta membentukmu”.
Radhar panca dahana meletakkan kata aku dengan lihai, aku menjelma menjadi alam, aku menjelma menjadi anak, dan metafora yang asyik dan membawa kita pada dunia imajinasi yang luar biasa. Lihatlah puisi dibawah ini :
RAGUKAN AKU TANPA RAGU
; cahaya
laut dimana semua tetesnya
adalah cinta, untukmu semata.
Tapi,sekali lagi ragukan aku
bila tetap tersedu,tetap jadi aku.
Ragukan semua
tanpa ragu.
Susunan kata-kata ini mengisahkan sosok seorang ayah yang bertutur pada anaknya,untuk meragukan aku tanpa ragu. Anak dalam puisi ini pun bisa menjadi bermacam-macam makna.
Dalam puisi ini pula kita akan menemukan rasa kekaguman, perasaan yang biasa kita alami sebagai sosok manusia yang mengagumi seseorang. Radhar panca dahana menuliskan ini dengan indah dengan judul : LENGGOKMU,LENGGOK WAKTUKU ; Ratih sanggarwati. Dalam puisi ini kita akan menemukan peristiwa yang intim antara penulis puisi dengan ratih sanggarwati, yang mengalami satu peristiwa yang sama, kenyataan yang sama,yang berjalan beriringan antara mereka berdua. Simaklah bait puisi berikut ;
Tih, diamlah sesaat
pernahkah hatimu bershalat
biar ujung kainmu jatuh tak jadi sesat
biar hidupmu berkeluh melulu kasat
Aku menari di lenggok selendangmu,mengira hari menjadi hati.
Dalam puisi ini kita diajak berfikir, merenung, dan mengagumi sosok ratih sanggarwati. Begitupun dalam puisi sejenis yang berjudul Pisau kecil pingkan mambo.
Oksigen itu kini bernyanyi dengan melodi dusta //dan katakata yang rakus kuasa,”pingkan mambo” // kau pun mengerat potongan sirloin terakhir // tak segera kau benamkan di mulutmu//karena samudera di dalamnya membuat kapalku hilang layar selalu. …........
“cinta sesunggunya siksaan//entah mengapa sepertinya kau baru menyadari//“atau sesungguhnya ia sekedar korban”//aku menggigit pisau dan menelannya
berbeda dengan puisi yang sebelumnya, puisi ini mengisyaratkan perhatian radhar panca dahana pada sosok perempuan yang memikat perhatiannya. Dari bait kedua adalah perhatian radhar pada kisah cinta pingkan mambo. Yang memilukan, cinta sesungguhnya siksaan, atau sesunggunya ia sekedar korban adalah ekspresi yang ditulis untuknya.
Tentang cinta dan kemanusiaan ; lalu akukau,
Dalam perjalanannya manusia hanya mengisahkan dan sekadar bercerita. Kematian adalah tapal batas antara hidup dan hidup berikutnya. Dalam kehidupan itulah manusia menemukan cinta, menemukan istirahat, dan melewati masa dan mengikat peristiwa. Cinta adalah bagian dari ekspresi terindah manusia dalam hidup ini. Begitupun radhar mengisahkan cinta dalam sebentuk puisi indahnya dalam puisi aku mencintaimu
seperti punguk yang tak muluk/teh pahit yang terseduh itu/manis lewat amylasa di lidahku ;seperti itu, aku mencintaimu/sederhana saja. Seperti jeruk yang segera busuk kau matangkan semua sabar/dalam jelaga matamu/mengamuk dalam benak/ meremuk segala kehendak/membusuk semua kelak/sampai matai semua defensi/takluk sedalamnya ngeri/ di jamban tempatku berdiri ;seperti itu,seluruh ceritaku/meninggalkanmu pergi.
Cinta dalam puisi ini mengisahkan cinta adalah sebentuk kisah, sebentuk cerita, sebentuk kebersamaan yang sederhana, yang tak kekal, dan kelak akan kembali menjadi cerita yang semua itu akan meninggalkan yang dicintai. Radhar menggambarkan cinta yang ada hanyalah sepintas lalu, yang biasa saja dan penuh dengan kesederhanaan. Kata kesederhanaan seperti tak terlepas dari biografi radhar yang memulai kisahnya dengan segenap kesederhanaan yang akrab dengan kemiskinan. Namun, radhar mencintai dan mempunyai jalan seni yang awal dianggap tidak sesuai dengan keluarganya.
Puisi cinta yang lain bisa ditemukan dalam IBU YANG BAIK,SEINDAH ITUKAH KAMU?,DARI CINTA YANG SEDERHANA. Puisi-puisi radhar adalah puisi yang halus, pelan, lirih tapi terkadang menusuk ulu hati. Yang biasa, wajar dan kadang penuh dengan ketegangan.Lewat puisi-puisinya kita kembali diajak untuk bertamasya tentang manusia, manusianya, kehidupan, kehidupannya, dan kehidupan kita. Sebagaimana kita manusia, kita pun akan menemukan rasa dalam kata-katanya. Itulah yang diharapkan dengan hadirnya puisi ini. Lalu aku, lalu akukau, lalu kita, dan semua ini akan berlalu.
*)Penulis adalah mahasiswa UMS, bergiat di pengajian jum'at petang
1 Komentar:
very helpful!
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda