Pura-Pura
Oleh arif saifudin yudistira*)
Pura-pura seringkali jadi tabiat kita dan mau tak mau jadi kebiasaan yang sulit kita hapuskan. Bukankah hidup itu pura-pura belaka? Mengapa mesti kita bersandiwara begitu kata lagu. Tapi tak jauh beda dengan lagu, dunia kita pun sedemikian halnya. Dunia kuliah kita pun demikian,semakin menunjukkan kepura-puraannya. Betapa belajar jadi sesuatu yang pura-pura. Makanya plagiat, dan sebangsanya makin marak aja di dunia kuliah kita. Sebagaimana lagu iwan fals yang berjudul temanku punya teman yang mencerminkan refleksi dunia kuliah kita.
Sarjana adalah gelar, sarjana adalah prestisius, dan jauh dari etos dan etik intelektual. Jangankan berspirit seperti hatta, apalagi seperti tan malaka, intelektual tak dipahami sedemikian jauh, intelektual itu kertas dan untuk cari kerja.
Dosen-dosen kita pun mendoktrin demikian, dekati aku, masuk rajin, dan tugas dikerjakan maka nilaimu tak kasih A.Jadi tak ada yang menantang di dunia kampus. Mahasiswa pun demikian, tak merasa tertantang, kuliah jadi bukan belajar, tapi hiburan belaka. Waktu yang sia-sia diisi pula dengan kegiatan sia-sia. Mall jadi tempat yang asyik untuk nongkrong, diskotik jadi tempat hiburan yang asyik, negara jadi asing dalam pembicaraan, dan nasib rakyat jadi etalase-etalase di televise saja. Dan mahasiswa pun jadi kata usang dan sekadar lebel saja.
Buat apa kuliah pintar-pintar toh tak ada jaminan, memang tak ada jaminan. Jaminan yang diberikan kampus tak lain simulacra semata. Seolah-olah semata, dunia kampus jadi seolah-olah. Seolah-olah masuk kelas dan belajar, tapi tak ada yang dihasilkan, atau diciptakan. Sebab dunia kampus tak diajak untuk menciptakan, tapi untuk mengkonsumsi. Konsumsi inilah yang dikritik oleh pemikir pendidikan kita, tapi apa ada hasil?. Pendidikan memang ruwet, pertanyaannya apakah kita mau ikut ruwet?.Seolah-olah kita menolak ikut ruwet, tapi diam-diam kita ikut dalam keruwetan yang dibuat oleh dunia pendidikan kita. Lihat saja betapa stress nya mahasiswa yang lulus dari ribuan kampus dan fakultas sulit mendapat pekerjaan. Padahal menurut mereka, mereka sudah tak ikut ruwet, tak ikut organisasi, tak ikut baca buku, tak ikut diskusi, apalagi orasi, tapi malah tambah ruwet masa depannya.Jangan heran negeri ini memang sudah ruwet, pilihannya ada dua saja. Mau menambah daftar masalah dan pengangguran atau keluar dari masalah, dan menciptakan arus sendiri agar tak bikin ruwet negara. Negara sudah terlalu ruwet dengan permasalahannya selama ini, jadi jangan ditambah lagi dengan keruwetan kita. Apa yang sebenarnya dicari dan ada di dunia pendidikan kita jika dunia pendidikan kita tak berpura-pura?
Ki hajar dewantara
Buka-bukalah cerita, riwayat, hingga kisah perjalanan tokoh negeri ini. Ia adalah bapak radikalis gerakan Indonesia. Ia menuturkan tentang perguruan, perguruan itu tak hanya tempat belajar yang lekat dengan dunia yang terpisah dari masyarakat, tapi ia mengajarkan perguruan itu menyatu dengan masyarakat kita. Ia lekat dengan persoalan di sekitarnya. Maka prinsip-prinsip ki hajar sederhana pendidikan itu berakhlak, pandai, melawan tirani, dan juga mandiri. Maka hasil pendidikannya pun bisa dilihat. Sukarno, hatta dan syahrir adalah tokoh yang tak langsung belajar dari dia. Ia adalah sosok guru bangsa yang tak hanya bicara textbook thinker, tapi juga social thinker. Ia tak hanya pengunyah buku, tapi juga orator ulung dan jelas berkontribusi terhadap bagaimana negerinya berkembang. Dimana posisi kita sekarang, dan masa lalu kita, sampai posisi kita kedepan seperti apa mesti terus jadi pertanyaan yang didengungkan di tiap malamnya.
Keberadaan dan eksistensi mahasiswa sebenarnya merupakan pilihan masing-masing mahasiswa itu sendiri. Semangat zaman kita(zeitgeist) berbeda dengan semangat zaman orang-orang dulu, tapi itulah tantangan kita, akan lebih maju dari orang tua kita dulu, atau ikut arus zaman yang kian mendorong kita kearah kemunduran.
Kembali pada dunia kuliah kita, pilihan itu di depan mata, mau pura-pura kuliah dengan politik picisan mendekati dosen, dengan menuliskan score sendiri, atau berkembang di organisasi, dengan berbagai wacananya menganalisis perkembangan bangsa dan negerinya, serta kampusnya serta bergerak melakukan sesuatu?. Pilihan itu ada di depan kita, jelas dan terang benderang. Bukankah soe hok gie tak lepas dari buku,pesta,cinta?.
Dunia kuliah itu adalah dunia buku, tapi tak melupakan pesta hingga persoalan cinta pada sesama dan rakyatnya.
Pura-pura memang mengasyikkan, tapi jadi semu. Apa yang dicari dari kepura-puraan di dunia kuliah? Tak ada, melainkan merumuskan kematian kampus itu sendiri.
Lihatlah betapa dosen berpura-pura mengajak mahasiswa dan lingkungannya pura-pura berislami lewat himbauan ala anak-anak tk. Dilarang merokok, dilarang memakai busana islami(padahal koko dari china), dilarang sandal jepit, kayak anak kecil saja. Yah, slogan-slogan itu adalah kepura-puraan yang dikemas dengan label kampus islami. Kalau tak demikian doktrin ala pejabat pun dikeluarkan, mahasiswa harus berpakaian rapi, menurut apa kata dosen, dan jangan melawan kuliah yang rajin. Pertanyaannya simple saja, dimana intelektual-intelektual negeri ini dan intelektual-intelktual di kampus-kampus muhammadiyah?. Ketika negeri ini makin tak berdaya, sampai-sampai buya syafii maarif mengatakan perahu bangsa ini mau roboh dan ia menyesali tak banyak berbuat di masa beliau jadi ketua PP muhammadiyah. Dimana kampus muhammadiyah dan kampus pada umumnya yang mestinya malu melihat peradaban makin tak beradab. Jika mengaku kampus islami, mestinya ini segera diselesaikan!. Bukankah kita kholifatul fir’adl? Jika tak mau, berarti kita hanya pura-pura saja.
*)Penulis adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, bergiat di bilik literasi solo, presidium kawah institute Indonesia
*)Dimuat Di BUlletin Ora weruh Edisi Tiga
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda