Sensitifitas SoLo
Oleh Arif Saifudin yudistira*)
Solo menyimpan sejarah yang panjang dalam dinamika perubahan zaman. Banyak ragam peristiwa terekam dalam jejak kota ini. Kota ini cukup menyimpan potret kelam yang luar biasa.
Dalam bukunya zaman bergerak, takashi siraizi mendeskripsikan solo adalah kota yang dinamis dengan berbagai perubahan di dalamnya. Aneka warna corak, karakter, serta kultur masayarakat solo begitu plural. Solo menyimpan kenangan yang tragis, getir, dan sejuta peristiwa.
Dari kota inilah lahir pula seorang pejuang dan tokoh komunis Alimin dan sarjono yang ditulis juga oleh Soe Hoek Gie dalam skripsinya ” Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan ”. Bersama kota ini pula lahir kiai revolusioner yang sangat gencar menggerakkan umatnya untuk mengkontekskan ajaran-ajaran Islamnya yaitu H. Misbach.
Dari zaman- ke zaman Solo memang dikenal sebagai kota yang dinamis, selalu bergeser dan berubah. Perubahan ini bukan tanpa alasan, masyarakat solo begitu peka terhadap perubahan ini, dimulai sejak zaman kiai misbach hingga zaman kemerdekaan masyarakat solo tidak berhenti menggelorakan perubahan ini, bahkan hingga era reformasi di zaman suharto.
Hal ini sangatlah wajar, masyarakat solo begitu inisiatif, begitu responsif terhadap kejadian-kejadian yang ada di sekitarnya. Peristiwa kerusuhan solo tahun 1999 tentu membuka mata kita bahwa masyarakat solo begitu tekun membaca fenomena di kotanya maupun di negaranya.
Maklum kesadaran akan pentingnya informasi sudah terbangun sejak zaman alimin dan sarjono dengan harian ”majapahitnya”, begitu juga misbach yang lebih awal dengan ”medan musliminnya”. Dengan hadirnya media inilah, masyarakat solo melakukan perubahan dalam setiap dinamikanya.
Keanekaragaman dan kepluralan solo bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba. Masyarakat solo sudah terbiasa saling menghargai dan menghormati prinsip masing-masing sejak zaman pra kemerdekaan hingga sekarang. Hal ini terbangun karena solo merupakan kota dagang yang cukup besar yang mempertemukan beraneka warna corak dan karakter.
Solo yang bergeser
Peristiwa yang terjadi pada 14 / 9 / 2009 yang terjadi antara radio Solo radio dengan kelompok laskar yang merasa tidak terima akan pemutaran lagu genjer-genjer menunjukkan bahwa kota solo telah bergeser.
Solo begitu sensitif terhadap peristiwa dan fenomena yang tidak bisa dilepaskan dari potret kelam masa lalu. Tidak heran, sejarah kita sudah di belokkan selama 32 tahun oleh pemerintahan Suharto. Sehingga stigmatisasi terhadap hal yang berbau komunis selalu dinilai negatif dan harus dihancurkan.
Kejadian beberapa hari yang lalu seakan membuktikan kebenaran dan peringatan Sukarno pada waktu itu yang berteriak lantang dengan mengatakan : JAS MERAH {jangan sekali-sekali melupakan sejarah}.
Sejarah begitu penting untuk bagaimana kemudian masyarakat mempunyai pijakan untuk membangun masa depan, ketika masyarakat begitu lemah dalam pemahaman sejarah, maka masa depannya pun tidak terarah.
Genjer-Genjer sebetulnya hanyalah lagu biasa. Ia diciptakan seniman Banyuwangi, Muhammad Arief, pada sekitar 1942. Lagu ini berkisah tentang kesengsaraan masyarakat kabupaten tersebut semasa pendudukan Jepang. Saking melaratnya masyarakat waktu itu, mereka terpaksa mengonsumsi daun genjer (Limnocharis flava), sejenis tananam pengganggu yang banyak tumbuh disungai.{Media Indonesia}
Akan tetapi, karena pemahaman sejarah kita sudah lama dan terbiasa dengan doktrin dari suharto, maka tidak heran, masyarakat solo utamanya islam yang punya cerita kelam terhadap peristiwa masa lampau merasa tersakiti.
Solo, selain menyimpan karakter yang dinamis, plural, juga meyimpan sejarah yang begitu kelam yang bisa membuat masyarakat solo sensitif terhadap peristiwa yang mengungkit sejarah kelam di masa lalunya. Begitu.
Penulis adalah mahasiswa bahasa inggris universitas muhammadiyah surakarta, alumnus LITBANG PERS FIGUR UMS
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda