Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Kamis, Agustus 04, 2011

Perang Kata dan Kata yang Berperang

Oleh: Arif saifudin yudistira



Dalam perkembangan dunia modern, bahasa memegang peranan penting untuk menjadi pelopor dalam perubahan. Tanpa kelihaian dan kemahiran orang dalam memanfaatkan bahasa, maka ia bisa menjadi makhluk yang sangat ketinggalan meskipun ia memiliki kemampuan diri yang luar biasa. Bahasa menjadi alat, dimana hegemoni ideologi, kepentingan dan berbagai visi dan misi disuarakan. Salah satunya bahasa tersebut dimainkan dalam bentuk media visual maupun cetak. Dalam sejarah negeri ini kita mengenal Mas marco kartodikromo seorang tokoh jurnalis yang sangat luar biasa yang menggunakan bahasa yang bergerak-nya melalui media dan pers pada waktu itu. Selain itu, ada juga Tjokroaminoto yang bergerak melalui bahasa lisannya melalui pidato-pidatonya yang menggerakkan rakyat. Kedua tokoh diatas sama-sama memainkan peranannya dalam menggunakan bahasa sebagai alat gerak, sebagai alat penyampaian visi- misi yaitu indonesia merdeka.
Pers merupakan sarana strategis dalam menyampaikan pikiran-pikiran kita untuk mempengaruhi pikiran-pikiran massa rakyat pada waktu itu, begitupun dengan saat ini. Pers merupakan alat ideologisasi, alat doktrinasi, alat penguasa untuk mengatur maunya penguasa, agar rakyat tidak melakukan perlawanan terhadap sesuatu yang dipandang menindas dan tidak benar. Atau sebaliknya pers juga bisa merupakan alat untuk melakukan perlawanan terhadap rezim atau penguasa yang menindas rakyat seperti pers pada jaman pra kemerdekaan abad 19-an. Pers pada waktu itu dimanfaatkan betul oleh para tokoh pergerakan untuk melakukan aktualisasi dari pemikiran-pemikirannya. Maka tidak heran pada waktu itu, para penjajah dibuat bingung dengan dinamisasi para tokoh pergerakan itu.Selain itu, tampak jelas betul bagaimana pers memainkan peranannya sebagai penyampai ide, gagasan revolusioner dari para pemiliknya, juga dari para “kromo” yang tertindas yang ingin melakukan perlawanan. Disamping itu, gagasan yang muncul tidak sedikit yang kemudian mendapatkan perlawanan, respon, kritik, dan serangan balik dari orang atau pers yang bertolak belakang.
Perang kata ini muncul sejak lama, misalnya ketika 31 januari 1914 pada waktu Dunia bergerak pertama kali terbit, yang memuat artikel yang kontroversi dengan fihak kolonial dengan tajuk “pro of contra Dr.Rinkes” yang berisi pertentangan marco dengan Dr.rinkes. Kemudian, pada 6 april 1914 juga, terjadi pro kontra antara Dunia bergerak dengan koran Oetoesan Hindia yang pada waktu itu digawangi oleh tjokro aminoto yang berdebat tentang Marco dan Wagio redaksi OH yang saling mengkritik diantara keduanya. Dialektika kata dalam pers saat itu menjadi satu diskusi dan iklim yang mendewasakan pada satu sisi, sisi lain juga menunjukkan kepada rakyat bahwa pers punya misi, punya ideologi yang mesti dipertahankan dan diwujudkan dalam sikap yang tegas. Sehingga tulisan-tulisan pada waktu itu, sangat terang maksudnya dan cenderung berupa subjektif lebih mendominasi.Sebut saja tulisan suwardi suryaningrat “andai aku seorang belanda”. Tulisan tersebut sangat subjektif dan jelas maksudnya, sama seperti karakter tulisan-tulisan Soekarno, Muh. Hatta, Natsir, dan juga Agus salim yang dengan bahasa-bahasa yang subjektif dan lebih mengena kepada rakyat.
Melihat karakter pers sekarang, tulisan-tulisan yang berbau subjektif cenderung disisihkan dan tidak mendapatkan tempat. Media saat ini cenderung mementingkan bagaimana susunan tulisan terstruktur dan nikmat untuk dibaca. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh kejayaan kaum positifistik di era post modernitas. Tulisan lebih menampilkan keni'matan semu dan kegenitan daripada isi atau maksud yang disampaikan. Sehingga tulisan-tulisan saat ini yang muncul dalam pers kita cenderung kaku, tidak mengena, dan cenderung menggunakan bahasa elit atau bahasa intelektual.
Begitupun kritik dan budaya dialektika cenderung melemah, sebab tulisan yang muncul sekali selesai, dan cenderung mengakhiri dengan alternatif solusi yang cenderung instant dan terkesan objektif. Dengan karakter tulisan yang demikian, tidak memungkinkan rakyat atau massa melakukan respon maupun kritik terbuka melalui pers yang sama ataupun pers yang berbeda. Padahal, semestinya di era kebebasan pers ini, iklim dialektika dan diskusi yang konstruktif ketika sarana komunikasi verbal tidak mampu menampung itu, maka pers idealnya mampu menampung itu.
Perang kata dan kata yang berperang sangat penting dimunculkan di era saat ini, untuk menjembatani kemandegan berfikir, dan kejayaan rezim positifistik. Apalagi saat ini rezim positifistik ini lebih inten menghujam dunia kampus melalui format gerakan “PKM” yang lebih berorientasi pada hasil dan hadiah yang diburu untuk kebutuhan mahasiswa. Sehingga dengan memunculkan kembali perang kata melalui pers kita, harapan kita tulisan yang muncul akan memberi tempat kepada bahasa-bahasa kaum “kromo” dan menghidupkan kembali budaya kritis.***

Penulis adalah mahasiswa UMS, bergiat di kawah institute indonesia, LITBANG PERS FIGUR UMS

tulisan dimuat di koran opini,com edisi 29-7-2011