Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Jumat, April 29, 2011

Belajar hidup, prinsip hidup, totalitas hidup dari chairil anwar

Oleh arif saifudin yudistira*)


Membaca buku adalah membaca kehidupan, membaca puisi adalah mengurai kompleksitas. Begitulah gambaran awal sebelum memasuki lebih jauh dunia chairil anwar. Melalui buku dan puisinya kita bisa membaca sastrawan ini. Dunia sastrawan yang bohemian yang tidak teratur, tidak punya pekerjaan tetap, berpakaian seenaknya dan lontang-lantung kian kemari.Dunia chairil anwar adalah dunia yang tak wajar dalam kewajaran. Dunia yang begitu kompleks dengan totalitas hidup dan karya. Ia pun tidak mengira bahwa karyanya yang pada waktu itu dianggap seperti rujak , bagus untuk menghilangkan kantuk, tetapi kalau dimakan berlebihan akan bikin perut mules, tapi kini karyanya hidup sepanjang zaman seperti yang diungkap dalam karyanya “Aku mau hidup seribu tahun lagi”.
Chairil anwar adalah sastrawan yang dilahirkan pada masa perjuangan pada 26 juli 1922 pada tahun-tahun perjuangan melawan penjajahan. Ia dibesarkan ditengah masa kolonial yang juga dilahirkan di tengah keluarga yang berantakan yang sangat mempengaruhi puisi-puisinya dan karya-karyanya ke depan. H.B.Jassin juga menjelaskan sosok ChairilAnwar tidak hanya sebagai pribadi dalam pergumulannya dengan spirit kesusasteraan yang melatarbelakanginya, melainkan lebih pada suatu bentuk kesadaranmassal(kelompok) dan sebuah gerakan pemuda (youthmovement) yang bergerak dan berevolusi untuk mengupayakan sebuah perubahan yang lebih baik di dalam paradigma kehidupan pada saat itu.Hal ini terjelaskan dalam kiprahnya sebagai pelopor angkatan 45 dan lahirnya “gelanggang seniman merdeka”. Gelandang seniman merdeka adalah semacam organisasi yang menjadi wadah berhimpun pengarang,pelukis,musikus,dan beberapa seniman lainyang didirikan pada tahun1946,atas usaha ChairilAnwar. Disinilah kelak Chairil anwar berkembang dan mengembangkan kecintaannya kepada seni lewat sastra.“Chairil sungguh seorang yang tinggi cita-citanya, terutama dalam menggerakkan dan mengembangkan jiwa budaya bangsa kita” begitulah komentar dari artati sudirjo yang memberikan gambaran bahwa chairl anwar adalah orang yang dengan totalitas dirinya, ia menciptakan kesadaran bahasa indonesia. Berkat dialah bahasa indonesia tidak kaku, dan lebih bebas dan membebaskan.
Cintasejati adalah cinta kepada cita-cita hidup.Cinta semacam itu hampir mirip dengan iman. Ia mendorong seseorang untuk selalu merealisasikan ide-ide dan pikiran-pikirannya seraya menyadari pentingnya pengorbanan diri.Ia selalu mendorong kita untuk senantiasa menghidukan gagasan-gagasan dan keyakinan-keyakinan kita. Atau dengan kata lain,ia selalu mendorong kita untuk merealisasikan diri dan mengekspresikan diri. Karenaitu,sebagai penyair Chairil Anwar bersungguh-sungguh, tidakbersikap ‘angek-angek tahi ayam’. Ia pun konsisten terhadap apa yang ia katakan. Orang semacam itulah yang berhak berkata‘Aku lebih memiliki hidup dari kalian.Aku lebihberjiwa’. Cinta sejati semacam itu pulalah yang membuatnya tumbuh menjadi ‘pribadiyangmerdeka’ atau ‘jiwa yang merdeka’. Chairil seharusnya tidakberkata ’Sekali berarti sudah itumati’. Sebaiknya,mestinya ia berkata, ‘Jika kalian hanya hidup satu kali saja, maka aku hidup berkali-kali”(majalah horison, 85).
Ulasan majalah horison diatas menggambarkan bahwa chairil anwar adalah orang yang cinta pada cita-cita hidup dan konsisten dengan apa yang dia ucapkan. Karena saat ini banyak sekali orang yang banyak bicara tapi tidak konsisten terhadap hidup dan prinsip hidupnya, serta tidak total dalam hidupnya. Puisi-puisi Chairil Anwar adalah representasi dari sebuah filsafat totalitas hidupnya yang dia tuangkan dalam karya. Ini pun pernah dialami oleh Soe Hok Gie yang menuliskan puisinya tentang kematiannya : orang-orang seperti kita tidak pantas mati di tempat tidur dlam catatan hariannya. Begitupun Chairil anwar yang melukiskan kematiannya dengan puisinya : Baik, baik aku akan mengahadap Dia/ Menyerahkan diri dan segaladosa/ Tapi jangan tentang lagi aku/ nanti darahku jadi beku.(Juni, 1943,Kepada Peminta-minta).
Di puisi ini ia melukiskan perasaanya yang menyerahkan diri kepada Tuhannya, nanti darahku jadi beku adalah gambaran kematian, ia mati dengan penyakit sipilis dan paru-paru. Totalitas dan kerasnya prinsip hidupnya mengajarkan pada kita akan kompleksitas hidup dan makna sebuah karya. Rasa dan prinsip hidupnya yang bohemian tak menggagalkan prinsipnya menjadi tekad ia menjadi sastrawan.
Ia pernah menuliskan dalam suratnya kepada HB. Jassin selaku teman dekatnya : “Dalam kalangan kita sifat setengah-setengah bersimaharaja lelah benar. Kau tentu tahu ini. Aku memasuki kesenian dengan sepenuh hati.Tapi hingga kini lahir aku hanya bisa mencampuri dunia kesenian setengah-setengah pula. Tapi untunglah batin seluruh hasrat dan minatku sedari umur15tahun tertujuke titik satusaja,kesenian”.(8 maret 1944surat c. anwar pada HB jassin). Selain itu, dia juga pernah mengatakan : “ Puisiku akan kugali korek sedalam-dalamnya hingga ke keenwoord ke keeenbeeld” artinya ke dalam makna yang hakiki.“Jika kerja setengah-setengah saja, mungkin suatu waktu nanti kita akan jadi improvisator.Sungguh pun improvisator besar! Tapi hasil seni improvisator tetap jauh dibawah rendah dari hasil seni cipta”. Chairil Anwar. Membaca Kekhusukan Chairil Anwar adalah membaca sebuah totalitas sebuah karya, hidup, dan sesuatu yang tidak sia-sia serta keabadian. Menjadi sosok yang demikian perlu diawali dari sekarang dengan menghargai karya dan total dalam berkarya. Begitu.



.
*) Penulis adalah Esais, Aktif di komunitas tanda tanya UMS. Tulisan dimuat di papirus april 2011

Senin, April 18, 2011

Virilisasi dan Dominasi Maskulin

Oleh Arif saifudin yudistira*)

Dominasi lelaki sepertinya menjadi motifasi bagi para feminis untuk mendapatkan posisi yang sejajar dengan lelaki dan meruntuhkan dominasi maskulinitas hingga saat ini. Hal ini mereka lakukan melalui berbagai formasi gerakan dan cara untuk menunjukkan bahwasannya perempuan sebagai makhluk adalah sejajar dalam setiap peranan kehidupan. Gerakan feminisme yang lahir sejak sebelum abad 19 maupun pada gelombang kedua berusaha untuk menuntut kesetaraan akses,kesetaraan upah, kesempatan kerja, dan penolakan penindasan terhadap perempuan secara fisik dan rumah tangga[Gelb 1987,269;Jordan dan weedon1995,182].
Perempuan mulai menunjukkan kepada dunia bahwasannya ada yang tidak benar dengan perlakuan terhadap mereka sehingga mereka perlu melakukan gerakan yang berusaha membebaskan mereka untuk memperoleh hak yang sama dalam ruang public dan kehidupan manusia pada umumnya. Kita tahu pasca terjadinya revolusi industry gerakan feminisme muncul akibat dominasi kapitalisme yang membawa buruh-buruh dan pekerja perempuan terdesak, sehingga gerakan perempuan dan perngorganisasian perempuan lebih ditekankan pada bagaimana menghadapi perlakuan yang adil dan mereka mulai melakukan aksi-aksi pengorganisasian untuk melawan dominasi dan penindasan yang muncul akibat kapitalisme. Sedang di amerika, muncul gerakan perempuan yang menolak perlakuan tidak setara di depan hukum,dan perlakuan yang tidak adil yang bersifat rasisme.
Tetapi, saat ini gerakan perempuan lebih modern dari pada gerakan perempuan pada waktu itu. Misalkan perempuan mulai bersuara tentang pelayanan kesehatan, tentang partisipasi politik, kesetaraan hak dan peran, meskipun belum konsisten dalam prakteknya. Membicarakan gerakan perempuan yang bisa mencapai tujuannya yaitu gerakan yang tidak hanya teoritis tetapi praktis sebagaimana yang dilakukan kartini terasa sulit pada era modernitas seperti sekarang.
Persoalannya bukan sekedar tentang metode, bagaimana konsepsi yang jelas, tetapi juga secara kodrati perempuan masih tetap saja disebut sebagai sosok yang belum utuh[Judith butler,93]. Simone de behavoir dalam buku second sex juga mengatakan dengan bahasa yang tak jauh berbeda dengan mengatakan perempuan tetaplah menjadi sosok yang lain. Artinya biar bagaimanapun juga perempuan melakukan gerakan pembebasan, perempuan tetap menjadi sosok yang kedua daripada laki-laki.
Pierre Bourdieu menjelaskan dalam bukunya La domination masculine mengungkapkan : “ Tubuh dan gerakan-gerakannya merupakan matriks-matriks yang mencakup segala yang universal yang tunduk pada suatu kerja kontruksi social. Simbolisme yang didekatkan kepada tubuh dan gerakannya itu bersifat konvensional sekaligus “bermotivasi” yang diterima sebagai hal yang setengah natural” .
Konstruksi ini dibangun sudah sejak kita melahirkan budaya itu sejak kecil. Bourdieu fasih menceritakan ini pada contoh-contoh virilisasi yang ada pada lelaki yang tidak terlepas dari konstruk budaya. Ini terlihat pada beberapa hal di budaya kita misalnya pada permainan anak-anak kita. Laki-laki biasa main panjat-panjatan, main lari-lari, tapi perempuan bermain pasar-pasaran, bermain bandulan[ayunan] yang secara fisik harus mengakui kegagahan dan dominasi lelaki. Contoh yang lain adalah Cukur rambut dikatakan sebagai awal peralihan gerbang masuk ke dunia maskulin, dan puncaknya pada khitanan. Selain itu virilisasi atau defiminisasi itu juga terjadi sejak anak berusia dini. Ini terjadi ketika anak laki-laki sudah tidak lagi menyusui kepada ibunya sehingga ritus pemisahan dilakukan untuk fungsi mengemansipasi laki-laki terhadap ibunya dan untuk memastikan maskulinisasi progresif anak laki-laki itu dengan mendorong dan mempersiapkannya untuk menghadapi dunia luar[bourdieu].

Dominasi lelaki

Laki-laki ditempatkan pada posisi eksterior resmi, public, tinggi,dan discontinue. Sedang perempuan ditempatkan pada posisi dan entitas yang negative, dan keberadaannya diakui karena kekurangannya. Ini terjadi karena pendisiplinan tubuh yang dilakukan oleh kita secara tidak langsung dan tidak sadar telah membentuk pola yang mengakui pada “kepatuhan feminine yang menemui penafsiran kodrati dalam fakta bahwa perempuan membungkuk, merendahkan diri, meringkuk, dan menempatkan dirinya di bawahdalam pose-pose melengkung,tidak kaku, sebab docilitas korelatif memang dianggap cocok dengan perempuan. Hingga Pierre Bourdieu mengungkapkan tantangannya dalam buku La domination masculine : “Banyak orang yang bisa saja menolak fakta diatas, dengan mengatakan zaman sekarang sejumlah perempuan telah melepaskan diri dari norma-norma dan bentuk-bentuk traditional pembawaan diri di tempat yang dibuat oleh perempuan secara terkontrol.untuk menggagalkan pendapat itu cukuplah kita menunjukkan bahwa tubuh feminine sekaligus ditawarkan dan ditolak merupakan wujud adanya disponibilitas simbolik”.
Selain itu, kekerasan simbolik yang dijadikan dalih gerakan pembebasam perempuan seringkali menemukan salah arti. Kekerasan symbolic sering diartikan dan ditafsirkan dengan kekerasan seksual dan fisik semata. Akan tetapi lebih dari itu, Michel Bozon mengatakan : “ Menerima pembalikan kenampakan sama saja dengan membuat orang berfikir bahwa perempuanlah yang mendominasi hal semacam ini akan [secara paradoksal] merendahkan perempuan itu secara social”. Contoh yang bisa kita lihat dalam kehidupan kita, perempuan akan merasa rendah diri ketika kawin dengan laki-laki yang secara kapasitas intelektual lebih rendah dari dirinya maupun dalam hal harta, strata social, dan lain-lain.
Kekerasan simbolik tidak mungkin terjadi kecuali suatu tindakan mengetahui,dan tindakan menganggap buruk praktik yang dilakukan di luar kesadaran sehingga menghadirkan “kekuatan hipnotis”[Pierre bourdieu]. Sehingga, secara konstruk budaya, dan konstruksi social, virilisasi dan dominasi lelaki tetap menjadi satu tantangan bagi gerakan feminisme untuk sekedar mengakui atau malah meruntuhkan kedua hal tersebut. Demikian.


*)Penulis adalah KADER IMM KOM.KIP CABANG SURAKARTA, pendiri komunitas Tanda Tanya, dan belajar di UMS.Pemenang Juara Kompetisi Essai Immawati DPD JATENG