Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Selasa, Maret 17, 2009

:Ulil said

Iman yang kuat tak akan takut pada keraguan. Iman yang dangkal dan dogmatis selalu was-was pada pertanyaan dan keragu-raguan.

"PuiSikU>>>>Wiji ThukuL Laghi

bunga dan tembok

Bunga dan Tembok

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendakiadanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami
Di manapun – tirani harus tumbang!

by wiji thukul

"PuiSikU>>>>Wiji ThukuL

BUKAN DI MULUT POLITIKUS
BUKAN DI MEJA SPSI

berlima dari solo berkeretaapi kelas ekonomi murah
tak dapat kursi melengkung tidur di kolong
pas tepat di kepala kami bokong-bong
kiri kanan telapak kaki tas sandal sepatu
tak apa di pertemuan ketemu lagi kawan
dari krawang-bandung-jakarta-jogya-tangerang
buruh pabrik plastik, tekstil, kertas dan macam-macam
datang dengan satu soal
dari jakarta pulang tengah malam dapat bis rongsok
pulang letih tak apa diri telah ditempa
sepanjang jalan hujan kami jongkok tempat duduk
nempel jendela
bocor
bocor
sepanjang jalan tangan terus mengelapi
agar pakeyan tak basah
dingin
dingin
tapi tak apa
diri telah ditempa
kepala dan dada masih penuh nyanyi panas
hari depan buruh di tangan kami sendiri
bukan di mulut politikus
bukan di meja spsi

solo 14 mei 1992

Senin, Maret 16, 2009

PuisiKu>>>BErgeJolaK

Ingin rasanya aku berteriak kencang pada orang-orang di sekitar ku ini,
Sepertinya mereka tuli,
Tuli,tapi punya telinga,
Susah, susah, harus berani susah untuk melakukan revolusi bangsa ini
Aku mulai sadar,,,,
Bangunan kesadaran itu harus segera ditegakkan,,,
Dan bangunan ketulian itu segeralah musnah.........
Waktuku aku tak tahu sampai kapan,
Menempuh jalan REVOLUSI yang begitu keras, berduri,
OOOH, aku makin tak tahu,
Apa ni petanda kan hancurnya peradaban,,,
Aku,,,,
manusia Unggul begitulah kiranya dia bercita,,,

Minggu, Maret 15, 2009

Persimpangan

Persimpangan-Q

Aku tak tahu melangkah,
Atau terus berhenti di persimpangan,,,,
Pilihannya begitu memberatkan,,,
Kalau melangkah......banyak duri,juga karang tajam menghadang kaki
Kalau di persimpangan, ada yang tak rela,,,
yang tak rela beriku bisik,
Sudah, kau berhenti saja,,,,atau jalan.,.....atau.....sudahi saja langkahmu itu,,,
Sudahi!!!
Yah, mungkin itu,
tapi aku tak mau,,,aku mau melangkah....

Label:

" IKatan mahasiswa Muhammadiyah"

IMM
Disini,
aku belajar,
Disini, Aku dibesarkan....
Disini, aku berjuang....
Di Ikatan Ini........

Label:

Kamis, Maret 12, 2009

"PEmuda daN Titik balik Pemerintahan bangSa" *)*)

Disposisi Kaum Muda Dan
Dilematika Estafet Kepemimpinan Bangsa
Oleh Arif Saifudin Yudistira*)**)

“Berikan aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya; berikan aku satu pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” (Sukarno)

Apa artinya sebuah bangsa yang dibangun dengan megah dan fondasi yang kokoh akan tetapi ia lupa meningggalkan generasi yang menopangnya. Pemuda, yah pemuda itulah yang kelak akan menjadi generasi penerus,dan pemangku jabatan serta pemangku estafet bangsa nantinya.
Yang menjadi pertanyaan kemudian, sampai daimana posisi pemuda indonesia saat ini?.Pemuda kita saat ini terasa gamang menemukan visi-dan misinya ke depan?. Jaman sekarang memang jaman yang begitu sulit dan serba membingungkan. Selain tantangan yang dihadapi begitu besar, fondasi gerak para pemuda kita begitu minim.
Masalah ini tidak terlepas tentunya dengan masalah pendidikan yang ada di negeri kita ini. Ada perbedaan mendasar yang menurut saya penting untuk kita cermati terkait dengan pola pendidikan kita saat ini dengan pola pendidikan kita pada saat Tan malaka, Semaun,ataupun Syahrir. Pada masa Tan malaka, pendidikan kita dilengkapi dengan wacana-wacana yang visioner bukan hanya pragmatis, selai n itu nilai-nilai humanisasi selalu di ajarkan pada mereka, sehingga tidak heran umur 12-15 tahun mereka sudah siap berjuang dengan segala kemungkinan.


Sedangkan hal ini berbeda dengan pendidikan kita saat ini yang belum mengajarkan kelengkapan dan bekal serta kecakapan hidup. Tidak heran yang ada selama ini pemuda adalah masalah baru yang menjadi PR rutinitas bagi pemerintah. Karena hanya mencetak pengangguran baru, sehingga posisinya justru cenderung dikesampingkan.
Apakah benar seperti itu keadaannya saat ini? Jawabannya tentu tidak bisa kita jawab begitu saja. Ada dua jawaban bisa yah bisa tidak. Yah, ini terbukti banyak pula tenaga-tenaga ahli kita setelah lulus sekolahan ataupun universitas ternama di negeri luar, diperhitungkan disana. Bisa tidak, karena masih banyak dari pemuda kita hanya mencetak pengangguran baru.
Posisi pemuda saat ini mengalami pergeseran yang amat sangat. Bisa kita lihat pada masa GIE, pemuda berada pada posisi yang moderat, dan independen. Akan berbeda ketika melihat saat ini pemdua kita seperti Rizal malarangeng, Andi malarangeng, ataupun Anas Urbaningrum, yang kini justru berselingkuh dengan penguasa. Salahkah?
Saya kira perlu ditegaskan kembali bukan pada salah atau tidak salah melainkan, perlu ada garis pembagian yang jelas antara peran masing-masing dan selama bisa mempertanggung jawabkan dengan apa yang dilakukan saya pikir itu tiada masalah.
Pemuda sering kali dipandang masih murni baik pada sisi idealisme, wawasan dan kecakapan yang luas, dan rasa empati pada kaum mustad'afin masih kentara, serta semangat yang menggebu-gebu dalam menyuarakan suara rakyat kita.
Menurut saya,Disposisi inilah yang saat ini menjadi masalah besar. Banyak pemuda kita saat ini kuliah, bekerja, hanya melayani kepentingan para pemodal saja. Sehingga tidak heran, apa yang menjadi tanggungjawabnya terlupakan, yaitu meruwat dan menjaga amanah atau penyambung lidah rakyat.
Apa kaitannya dengan estafet kepemimpinan bangsa?. Maka tidak heran pemuda saat ini yang tergesa-gesa memangku amanah”nyaleg” kemudian seringkali kurang berbekal pengalaman yang cukup, dan terlalu prematur menyandang apa yang dinamakan wakil rakyat.


Yang kemudian terjadi adalah kegamangan visi dan misinya, sehingga ini berdampak pada jalannya kepemimpinan pemuda yang cenderung pragmatis, oportunis, dan pro kapitalis tentunya. Karena modal, bekal, serta kesiapan itu tidak dipersiapkan dari dini. Juga karena pemuda saat ini hanyut dalam pusaran ideology, pusaran gaya hidup, serta pola pikir yang cenderung membawa pada kegamangan. Sehingga perlu kiranya pemuda sebagai “the middle between government and peoples”,”the agent of social control”, and “agent of change” tentunya bisa diwujudkan.
Akhirnya pemuda yang siap menghadapi kemungkinan dan tantangan akan mustahil diwujudkan tanpa bangunan kesadaran, serta bangunan pola pikir yang cukup untuk mendukung analisa dan ketajaman di dalam menanggapi permasalahan bangsa saat ini salah satunya adalah masalah kepemimpinan.










*) Aktivis IMM KOM KI HAJAR DEWANTARA CABANG SURAKARTA

Label:

Rabu, Maret 11, 2009

"BAji**An AgAmA"

“ Baji**gan Agama”

by Arif Saifudin Yudistira*

Sudah cukup lama insan Indonesia dikatakan sebagai orang yang taat beragama atau bangsa yang religius. Namun, pada kenyataannya dalam taraf aplikasi, masih banyak saja kejahatan, dan problema-problema yang timbul atas legitimasi agama.

Agama pada dasarnya merupakan aturan-auturan yang mengatur umatnya untuk menjalani kehidupan sesuai titahnya sebagai manusia. Hakikatnya agama akan membawa keselamatan bagi pemeluknya.

Pertanyaannya sekarang apakah Agama masih menjadi sandaran untuk keselamatan, kebahagiaan, dijaman yang serba susah dan penuh tantangan ini?. Jawabannya tentu ya, karena agama saat ini yang muncul tidak hanya agama samawi (Islam,Kristen,Yahudi) tapi juga agama yang menjadi spirit manusia modern saat ini.

Kita bisa melihat adanya hedonisme, konsumeristik, liberalisme,kapitalisme,dan lain-lain. Hal itulah yang sekarang menjadi agama baru bagi manusia modern. Justru saat ini, agama yang sebenranya mereka yakini dijadikan legitimasi bagi agama baru mereka.

Satu contoh yang baru-baru ini kita dengar. Kok bisa seorang petinggi negara meminta kepada MUI untuk membuat fatwa bahwa golput itu haram. Padahal sudah jelas, memilih adalah hak, bukan kewajiban. Jadi, golput tidak bisa disamakan dengan daging babi. Sepertinya manusia sekarang sudah bisa menjadi Tuhan(Erich From). Mengingat yang bisa memutuskan haram-halal adalah Tuhan tentunya.

Begitu takutnya pemerintah saat ini menghadapi mosi tidak percaya dari rakyat. Mengingat rakyat sekarang sudah makin dewasa dan tidak bisa dibohongi lagi. Dunia politik kita terlalu mahal dan penuh dengan manipulasi. Kebosanan itulah yang jadi jawaban masyarakat atas keadaan seperti ini.

Agama saat ini di Indonesia Cuma dijadikan legalitas saja. Undang-Undang Pornografi yang sudah disahkan, belum begitu signifikan bagi perubahan akhlaq orang- orang beragama. Masih banyaknya kasus-kasus asusila, dan lain-lain juga disebabkan oleh tidak adanya pembangunan moral bagi masyarakat indonesia.

Lihat saja tayangan di TV kita, masih banyak juga tayangan berbau pornografi yang masih saja ditayangkan. Padahal efek media inilah yang begitu besar mempengaruhi psikologis orang yang melihat, bahkan bisa sampai ke perilaku kesehariannya.

Peran lembaga sensor film saat ini masih dipertanyakan. Karena masih saja menayangkan film yang ternyata memberi sumbangsih bagi rusaknya generasi muda. Tidak hanya itu, tayangan mana yang saat ini bisa memberikan pendidikan bagi anak-anak kita dan pemuda kita?. Hampir tidak ada yang memberikan pendidikan bagi generasi muda dan anak-anak kita. Yang ada justru yang mengarah pada hancurnya moralitas bangsa kita.

Peran agama saat ini pun hampir tidak ada ketika terbitnya undang-undang yang merampok kekayaan kita. Belum ada satu lembaga agama pun yang memberikan pernyataan bahwa UU Penanaman Modal adalah haram, UU BHP adalah haram, atau UU MINERBA adalah haram.

Begitupun ormas-ormas keagamaan, tidak jauh berbeda keaadannya. Mereka lebih suka mengurus masalah-masalah yang kurang esensial. Seperti membubarkan diskotik, mengurusi masalah aliran sesat dan lain-lain. Padahal, hal tersebut bergantung dari kesadaran bergama dari para pemeluknya.

Padahal ada yang lebih sesat lagi, yaitu menjual bangsanya sendiri dengan menerbitkan undang-undang yang menindas rakyat. Sudah waktunya para pemeluk agama sadar akan kondisi ini.

Agar bangsa ini bisa lekas sembuh dari sakit yang berkepanjangan ini.Ketika para pemeluk agama tetap seperti ini terus, maka tinggal menunggu kehancuran Indonesia. Sudah waktunya para ”Bajingan Agama” dimusnahkan dari bumi Indonesia. Agar cita-cita bangsa ini segera bisa terwujud.

Penulis adalah aktifis IMM kota Surakarta,Belajar di Universitas Muhammadiyah Surakarta

Label:

"Jean paul Sartre Berteriak"

" KEWAJIBAN DARI INTELEKTUAL ADALAH UNTUK MENCELA KETIDAKADILAN DIMANAPUN IA BERADA"
{jean pAUL SARTRE}

Label:

"Pesan Bang Pram"

" Orang Boleh Pandai setinggi langit,
tapi selama ia tidak menulis,
ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah,
menulis adalah bekerja untuk keabadian"
(Pramudya Ananta Toer)

Label:

"Jeritan Kaum Papa"

"Saya selalu bertanya kepada Tuhan dlam pikiran dan doa-doa saya setiap hari"
Mengapa Tuhan menciptakan
Gunung-gunung batu dan salju yang indah itu di daerah amungwe?
Freeport,ABRI,PEmerintah dan orang luar datang mengambilnya,
Sementara kami menderita,
Ditekan, dibunuh tanpa alasan,,,
Sungguh saya benar-benar marah pada Tuhan
Mengapa Dia ciptakan segala gunug indah dan barang tambang itu disini,,
(Tuwarek,narkime, tertua suku amungwe,menara di tengah kelimpahan,HAM 98)

Label:

"ThinK GloBaL At Local"

Oleh Arif Saifudin yudistira*)
Berfikir global dengan tidak meninggalkan kearifan local. Inilah prinsip yang menurut saya sesuai untuk menghadapi era globalisasi saat ini. Termasuk dalam hal ini untuk mempertahankan bahasa kita, bahasa Indonesia.
Kearifan local disini diartikan bagaimana khasanah budaya kita bisa kita munculkan dalam dunia internasional. Bisa kita tunjukkan kepada dunia luar bahwa kita mempunyai sesuatu yang luar biasa yang di dunia lain tidak ada.
Indonesia memiliki banyak khazanah budaya yang bisa kita tunjukkan ke dunia luar, diantaranya seni gamelan, tari, ataupun wayang. Khazanah budaya itulah yang nantinya akan mengangkat kita kepada bangsa yang besar yang tidak meninggalkan budayanya.
Selain itu, dalam hal bahasa, bahasa Indonesia juga merupakan bahasa yang diperhitungkan dunia, saat pemerintahan Sukarno dekat dengan Negara rusia, bahasa Indonesia sempat menjadi pelajaran di perguruan tinggi pada pemerintahan rusia oleh para pelajar kita yang belajar disana.
Hal ini menunjukkan bahasa kita bukan bahasa yang jelek, akan tetapi bahasa yang menarik, dan mudah dipelajari. Untuk itu, bagaimana bahasa kita bisa diperhitungkan oleh bangsa lain,tergantung dari kita masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi bahasa Indonesia.


Namun, ketika melihat Solo kita melihat hal yang ironis, ketika Solo memantapkan diri sebagai kota budaya, yang terjadi justru lain. Penggunaan nama mall, nama hotel, maupun pada penyelenggaraan event tidak mencerminkan bahwa Solo konsisten dengan jargonnya.
Kita bisa melihat pada nama “Solo SquaRE, Hotel Lor in, Novotel, maupun kata “night market” yang baru-baru ini juga digunakan dalam penamaan ikon solo. Seharusnya Solo tidak malu memakai nama hotel, mall, ataupun nama event yang ada di solo dengan menggunakan bahasa Indonesia. Sebab dengan memakai bahasa Indonesia justru kharakteristik kita akan terlihat dari sana, bahwa kita menjunjung tinggi bahasa dan budaya kita.
Benturan Globalisasi
Tidak bisa kita pungkiri globalisasi adalah sesuatu yang ada saat ini. Namun, bagaimana kita menyikapi hal itu dengan sikap bijak itulah yang penting. Solo merupakan kota yang cukup diperhitungkan di dunia internasional. Setelah menjadi tuan rumah SIEM dan WHCC.
Selain itu, Solo dengan beberapa objek wisata yang khas banyak menarik wisatawan asing untuk datang ke Solo. Seperti Keraton, museum radya pustaka, juga taman sri wedari,ataupun pasar klewer.
Untuk menunjukkan atau mengenalkan tempat-tempat tersebut kepada dunia luar, tidak perlu kiranya solo memakai bahasa asing. Biarlah natural seperti apa adanya, karena turis juga tidak melihat ketertarikan pada tempat wisata di kota solo, bukan karena penamaan yang menggunakan bahasa inggris.
Langkah yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah kota solo adalah tidak lagi menggunakan nama-nama ikon ataupun nama tempat menggunakan bahasa asing. Karena masyarakat sudah cukup bangga dengan bahasa Indonesia. Selain itu, menggunakan bahasa Indonesia juga tidak berpengaruh dengan banyaknya wisatawan yang datang ke kota Solo. Dan justru memperkuat tekad solo dalam rangka mewujudkan kota budaya.
Oleh karena itu, globalisasi yang ada saat ini harus kita sikapi dengan cara yang bijak, sehingga globalisasi bisa kita manfaatkan dengan menunjukkan kharakteristik budaya kita kepada dunia luar. Bukan malah membuat kita semakin tidak percaya diri mengangkat nilai-nilai kearifan local kepada dunia.
Selain itu, dalam hal pemakaian bahasa Indonesia yang saat ini mengalami degradasi, harus kita perbaiki bersama-sama. Termasuk para pemimpin kita yang menjadi contoh bagi warganya, salah satunya dengan menggunakan bahasa Indonesia pada ikon dan tempat-tempat umum dengan bahasa Indonesia.
Sehingga solo dengan jargonnnya sebagai kota budaya benar-benar dirasakan gaungnya oleh kota lain, bangsa Indonesia, bahkan dunia. Dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan local yang ada di kota solo, termasuk menjunjung tinggi bahasa Indonesia.





Penulis adalah Mahasiswa Bahasa Inggris Semester 6,Aktivis IMM surakarta

Label:

Rabu, Maret 04, 2009

"Membangun Budaya kRitis"by Yudistira

Membangun Budaya Kritis
Menuju Transformasi dan perubahan
Sosial
(*Arif Saifudin Yudistira)

Mahasiswa selalu identik dengan kaum intelektual terpandang yang didalam masyarakat biasa dipandang sebagai elit intelek. Oleh karena itu mahasiswa dipandang mempunyai kemampuan lebih dari sisi pengetahuan, kemampuan berpikir, menganalisa permasalahan, dan lain sebagainya.
Pada kenyataanya saat ini mahasiswa seperti kita kurang menyadari bahwa mereka memegang peran yang begitu berat di masa yang akan datang. Kita perlu menyadari bahwa tonggak kepemimpinan bangsa saat ini menjadi tanggung jawab kita selaku generasi penerus. Saat ini kita hanya disibukkan oleh aktivitas kuliah kita tanpa memandang apa tujuan kita kuliah? dan Apa yang kita dapat dari kuliah?
Sejarah telah membuktikan bahwa dengan adanya Mahasiswa kita bisa menumbangkan hal yang keliru, kekuasaan, dan hukum yang tidak adil. Hal ini seperti yang dilakukan oleh tokoh reformasi kita Bapak Amien Rais yang menumbangkan rezim yang amat kuat, tersistem, dan berkuasa pada waktu itu. Bapak Amien Rais pada waktu itu mulai membangkitkan dan memunculkan ide-ide dan wacana kritis kepada teman-teman Mahasiswa untuk menyuarakan suara-suara yang benar.
Hal ini berbeda dengan kenyataan mahasiswa kita saat ini yang kurang banyak wacana, kurang ada minat baca, dan takut untuk menyuarakan hal–hal yang benar. Semua berawal dari hal yang kecil dulu, sebelum kita berani mengkritisi para penguasa yang ada disana kita bisa mengkritisi pemimpin-pemimpin kita yang ada di tataran kampus terlebih dahulu.
Mulai dari sinilah kita akan membiasakan budaya kritis,disamping itu kita juga perlu adanya budaya instropeksi agar antara kritis dan realita kita tidak bertentangan. Dengan budaya inilah kita bisa merubah hal-hal yang sekiranya belum sesuai menjadi hal-hal yang sesuai.
Mari kita lihat dilingkungan kita saat ini, banyak dari kita tidak tahu menahu tentang kebijakan kampus, tentang latar belakang para pemimpin-pemimpin kita yang berada ditataran dosen dan rektorat. Seandainya kita tahu banyak tentang latar belakang para pimpinan kita, kita bisa mengamati, mengkritisi, dan meluruskan mereka sekiranya ada hal yang tidak sesuai.
Selama ini mahasiswa dimanja dengan fasilitas yang seakan-akan itu sudah fasilitas yang lebih. Namun, pada kenyataanya hal itu belum seberapa jika dibanding dengan apa yang kita bayarkan. Kalau saya memandang selama ini kita tidak peduli dengan apa yang dilakukan pihak universitas dan terkesan kurang wacana.
Namun selama ini kita terkesan hanya diam dan tidak mau tahu. Termasuk juga dengan pendidikan kita di kampus,sudahkah kita merenung setelah kita lulus dapat apa? Atau kita lebih memilih untuk berpikir pragmatis, yang penting dapat pekerjaan. Lalu,apakah kita hanya puas kerja di perusahaan luar negeri,pulang bisa bangun rumah,punya anak,selesai. Percuma kalau paradigma kita masih seperti itu,sudah saatnya kita sadar akan hal ini dengan membangun budaya kritis tersebut.
Bahwa kita kuliah ,mencari ilmu,tidak hanya untuk cari pekerjaan,kemudian bangun rumah selesai,lalu bagaimana warisan sifat-sifat para pahlawan-pahlawan kita?Apakah kita sudah lupa,atau kita buang begitu saja?. Kita sebagai mahasiswa harus mempunyai budaya kritis dan budaya instropeksi. Kalau kita melihat pergerakan kita saat ini, pergerakan di kampus kita terkesan mati dan vakum dan sarat dengan berbagai masalah.
Hal ini amat kita sayangkan, padahal maju tidaknya mahasiswa di kampus itu biasanya ditentukan oleh maju tidaknya pergerakan di kampus tersebut. Bagaimana kampus kita mau maju, kalau pergerakan di lingkungan kita saja sudah lesu. Apalagi kita saat ini, mau mengoreksi dan mengomentari bangsa. Bukan saya menyalahkan, tapi marilah kita sedikit mengoreksi dari dalam terlebih dahulu.



Kalau saya melihat akar permasalahan dari semua ini adalah kembali kepada mahasiswa yang kurang atau memang belum sadar akan perannya sebagai mahasiswa. Kadang kita melihat saudara kita yang menyuarakan suara rakyat saja kita mengatakan “Huuuh apaan tuh mahasiswa kurang kerjaan aja panas…panas…teriak-teriak mendingan tidur saja enaak“. Itulah gambaran mayoritas mahasiswa kita saat ini. Budaya kritis memang tidaklah mudah.
Kadang kita malu mengatakan teman kita salah, teman kita kurang benar, atau bahkan bapak dosen kita yang ngajar seenaknya saja. Budaya-budaya yang dicontohkan pahlawan-pahlawan kita,yang dituliskan tinta sejarah harus kita lestarikan.Seperti penjelasan dari Buya Syafi’i Maarif yang mengatakan : “Melalui jejak kelampauanlah seseorang melakukan rekonstruksi tentang peristiwa tertentu pada masa lampau yang menjadi pusat perhatiannya. Untuk apa dan untuk kepentingan siapa? Bertrand Russell mengatakan "untuk pleasure (kesenangan). Tidak salah, tetapi sejarawan Itali, Benedetto Croce (1886-1952), memberikan jawaban umum yang lebih mantap: untuk kepentingan orang hidup, bukan untuk kepentingan mati”. Maka sangat relevan jika kita saat ini haruslah sadar akan pentingnya budaya kritis dan budaya instropeksi.
Dengan membangun budaya kritis kita diharapkan bisa mengkritisi dan memberikan solusi tentunya terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan realita sosial. Paling tidak kita sebagai mahasiswa sudah ikut menyalurkan aspirasi rakyat dan berusaha menggugah kesadaran masyarakat untuk membangun budaya kritis.
Budaya kritispun tidak harus dengan berdemo,tapi juga dengan menulis salah satunya serta peduli dengan nasib bangsa. Seperti contoh kebijakan pemerintah yang melakukan penggusuran para pedagang pinggir jalan. Tapi,bagaimana kita bisa menulis tanpa pandangan dan pengetahuan yang luas. Oleh karena itu,budaya kritis tidak mungkin bisa tanpa dibangun melalui budaya membaca,dan membaca realita sosial dalam masyarakat kita.


Akhirnya kita bisa mengkritisi apa yang menjadi kebijakan pemerintah,sehingga apabila kita menjadi pemimpin kita bisa bekerja dengan lebih baik. Amien yaa robbal ngalamiin. ( *Penulis adalah KETUA DIVISI LITBANG FIGUR )

Label:

"Puisi TAnpa Warna by Iklas"

Puisi tanpa warna
;Buat bang pram

Seperti katamu kita masih bisa tertawa
Walau kutau tadi pagi kita menagis karena lapar
Seperti katamu pula kita masih bisa bercanda
Meskipun malaikat maut merajut hendak menjemput

Walau kau tak lagi berkata tapi kutau
Kau tetap disini usir segala dahaga
Berutuphia untuk negri pertiwi
Agar lebih berbenah tuk cita-cita adil dan makmur

Selagi kau mengawasi kan ku sebarkan semua
Teriakan yang kau dulu perjuangkan
Selagi masih ada sisa-sisa semangatmu
Aku berdiri beranjak dalam gelap

O mungkin jalan kita sama tuk
Suarakan jeritan hati yang miskin
Karena dirampok dan diperas
Juga karena lapar akan keadilan social.













Solo 29/4/08

Label:

"Puisi abank GIE"

Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran

Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara
mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi

Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?

Label: