Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Minggu, Februari 26, 2012

Bahasa adalah Gerak???




Oleh AS yudistira*)



1/


Kita yang membaca bahasa, atau bahasa yang membaca kita(afrizal malna). Begitulah afrizal mengawali perbincangan tentang bahasa dua tahun lalu di balai sudjatmoko. Ia berkisah tentang memori, nostalgia hingga kehidupan kecilnya, hingga kesukaannya akan seni di masa kecilnya. Ia menonton wayang di masa kecilnya pula. Ia mendengarkan ibu melafalkan huruf-huruf hijaiyah. Dan ia akhirnya sampai pada sekolah tinggi driyakara. Aku mengingat kata-katanya beberapa tahun lalu : “aku menyukai pelajaran semua pelajaran hingga aku mengikuti dan memahaminya, tapi sayang aku tak suka ujian”. Bahasa itu lahir dari pengalaman, konon ia mengaku penyair tak perlu biografi yang membentuk bagaimana ia harus berkata-kata. Bagaimana ketika kelak ia ditanya seperti itu, Jakarta tak punya bahasa ibu,tak punya latar belakang utuh, Jakarta dicipta dari keterpecahan. Dari pecahan-pecahan itulah kebanyakan orang menilai puisi afrizal sebagai puzzle yang perlu disusun kembali dalam bentuk bahasa.pengalaman itu pula yang dituturkan dalam pengakuannya bahwa puisinya kadang sulit untuk sekali atau kedua kali jadi, ia sering membakar puisinya, ia lebih bisa menikmati puisi orang lain. Hingga pada menggunting,memotong, menyimpan, memendam puisinya. Maka jangan heran, kalau puisinya sering dilihat dan dinilai para kritikus atau sastrawan lain sebagai keterpecahan yang tersusun, atau justru tak tersusun, melainkan keterpecahan yang terbelah dan tak pernah utuh.


2/


Rumah.bagaimana menanggapi esai panjangnya yang bertajuk “rumah kata”. Ia palingtidak menyimpulkan bahasa adalah rumah. Dirumah itulah ia mencipta kebiasaan, kesejukan, dan terkadang perasaan-perasaan yang tak terbahasakan. Melalui pengakuannya ketika ia di ubud, pertemuan dengan hera hingga ia kembali lagi dari ubud. Kembali kerumahnya, dirumah itulah, hingga ia melakukan aktifitas rumah,rasanya ia tak lagi memperlakukan bahasa sebagai penjaranya. Saya membaca rumah adalah bahasa itu sendiri. Bahasa ada di dalam rumah, dalam rumah tercipta bahasa. Mengenai cerita-cerita pensil-pensil dan kisah yang tak utuh tentang memori kertas, menulis puisi ia seperti memberikan pengakuan bahwa puisi-ku bukan untuk umum. Ia tak pernah membayangkan ketika puisi memasuki rumah-rumah bahasa yang lain. Bahasa menjadi makin ruwet, tak karuan, dan menemui interpretasinya sendiri-sendiri. Bahasa afrizal jadi luas, jauh, dan bergerak.Inilah ungkapan dia yang pernah direkam fahrudin nasrulloh dalam sebuah roadshow puisinya tentang rumah :
“Saya selalu merasa takut kehilangan kebebasan saya, termasuk kebebasan untuk tidak menulis puisi. Dan, saya merasa tidak cocok dengan apa itu keluarga, jadi saya tinggalin keluarga. Saya tidak tahu kuburan ayah ibu saya di mana. Jadi, saya sendirian. Saya pernah berkcluarga sekali, setelah itu pisah. Pisah itu membuat saya trauma. Sampai sekarang saya tidak punya rumah karena di kepala saya masih aneh, kenapa orang harus punya rumah. Karena saya berpikir orang harus berjalan dan dia tidak bisa berjalan kalau punya rumah. Kecuali dia seperti keong, yang rumahnya adalah kendaraan untuk dia berjalan
.”Saya pernah sangat absurd kalau masuk rumah. Maka, muncul banyak imaji ruang tamu dalam karir kepenyairan saya. Saya tidak tahu kenapa itu terjadi.
Saya justru cemas kalau saya tetap menulis puisi, padahal saya nggak punya alasan untuk menulis. Sehingga, puisi tiba-tiba menjadi kayak penyakit, harus ditulis terus-menerus. Saya melihat, hidup itu sangat luas jika dibandingkan dengan puisi. Setelah itu saya meninggalkan Jakarta menjadi the other
. Saya senang jadi the other, hanya jadi seseorang. Dekat dengan kegiatan sehari-hari, menyapu dan menyiram tanaman."

3/


Tubuh dan bahasa. “membaca mengapa harus membaca? Menulis mengapa harus menulis?”, ………………….aku bermimpi menjadi manusia. Kata itulah yang terngiang ditelingaku. Kata itu seperti pengalaman manusia kebanyakan ketika mengalami pencarian, menemui awal ia lahir di dunia, mama, bapa, ibu, ayah. Kata itulah yang tanpa sadar mencipta dunia kita. Tubuh tiba-tiba jadi bahasa yang dikenalkan ayah ibu kita melalui bisikan dan kelembutan kasih sayang mereka. Tiba-tiba saja ketika afrizal sudah menuliskan “abad yang berlari” saya menemui kata-kata indah yang bersentuhan dengan tubuh perempuan. Oh,alangkah indahnya puisi persembahan. Saya menemui nama perempuan itu dalam esai panjangnya bertajuk “rumah kata” yang digunakan sebagai bekal sajian pertemuan kali ini. Lelampahan sastra, ini seperti bukan kebetulan ini lelampahan yakni perjalanan, perjalanan yang tak tahu kapan kapal ini akan dihentikan. Kata itu begitu indah, mungkin perempuan itu tak kalah indahnya.
“ ia adalah perempuan cantik, yang senyumnya seperti hendak melupakan dan berusaha menghilangkan kepenatanku yang melihat orang-orang sibuk melakukan kesibukan di kantor yang tak tahu untuk apa itu”
. Bos sekaligus wanita yang dikagumi itulah yang membuatku penasaran. Bukan karena narasi yang diceritakan, yang dari itulah mengalir kumpulan puisi afrizal. Demikian pujian untuk perempuan itu yang dituliskan dalam buku puisi “abad yang berlari”: “Hera, dengan kumpulan puisi ini, aku telah terus-terusan menciumi bibirmu”.


4/


Gerak.Tubuh yang bergerak, seni yang bergerak hingga puisi yang bergerak. Barangkali manusia sudah keras, membatu hingga sampai pada titik kulminasi terakhir mati rasa. Itulah yang tercermin dari bahasa yang tertulis dan dituangkan oleh radar dalam puisinya LALU AKU. Tapi puisi itu tak berhenti dalam kata, ia adalah tangkapan realitas, tangkapan kehidupan, tubuh,rumah hingga entitas lain yang ia sering sebut kebudayaan. Kerja ini harus terus berlangsung. Di puisi afrizal pun kata-kata yang tertuang dalam puisinya tak hanya diam, judul-judul puisinya seperti di puisi-puisi yang muncul beberapa tahun ini di kompas “kartu identitas penduduk di china”, “antri uang di bank”, “batu dalam sepatu”, “khotbah di bawah tiang listrik” “kesepian di lantai 5 rumah sakit””Bau Air Mata di Bantal Tidurmu” “Sebutir Telur di Belakang Punggungku””Aku Baru Saja Mengepel Lantai” “Ketukan-ketukan Kecil di Atas Dengkulku” “Kamar yang Terbuat dari Laut”.Entahlah, saya hanya sekadar membaca sebatas dan setapal kemampuan saya. Mengapa harus membaca? Mengapa harus menulis? Paling tidak pertanyaan itulah yang mengganjal. Maka sebagaimana kesimpulan sementara saya bahwa puisi adalah tubuh dalam rumah yang terus bergerak. Manusia tak mungkin bisa dilepaskan dari rumah. Rumah itulah tubuhnya ,rumah itulah yang bersuara, mengucap khotbah, hingga mendefinisikan kata dan pengertian-pengertian. Bahasa adalah gerak yang berjalan bersama tubuh penyair itusendiri, entah ia akan menghasilkan keterpecahan, kebuntuan, mencipta keterasingan, kebersamaan hingga pada kepedulian. Lalu sampai dimana kini gerak itu, ketika afrizal menjalani lelampahan sastra kali ini bertajuk biografi dan puisi?.
Apakah bahasa sudah jadi gerak yang terhenti? Ataukah puisi dan bahasa afrizal masih bergerak dari penyair terdahulu hingga penyair terkini dari chairil anwar hingga penyair gunawan yang puisinya beberapa lalu keluar di kompas. “Tamasya di selat sunda” untuk Gunawan muhamammad.
Apakah ia akan berhenti untuk menulis puisi-puisinya? Membakar puisi-puisinya? Atau sebagaimana dalam “rumah kata”nya “Kerja yang rasanya tidak pernah selesai,dan tidak tahu harus selesai dimana”? dan pernyataan dia sendiri : “puisi seperti kerja untuk menggerakkan apa yang sedang aku pikirkan menjadi bunyi”,atau dari kalimat lain “rasanya ada kereta yang terus bergerak dalam sapu tangan” dan “selalu ada yang aku kerjakan”.
Bahasa adalah gerak???benarkah demikian???atau sebaliknya ia masih tetap penjara :”kata-kata masih mengikatku”….entahlah…

Dan mengapa pula ada gerak yang ada dalam puisiku tentangnya yang harus aku tuliskan untuk menunjukkan betapa gerak tubuhku telah mengantarkanku pada kekaguman pada tubuh-nya(afrizal)hingga pada judul puisinya yang unik dan melukiskan gerak :”suara dari kaca yang berjalan”

Maka ijinkan kututup tulisanku ini dengan puisi untuknya (afrizal malna)

Perjalanan Panjang

untuk suara dari kaca yang berjalan


Aku menemuimu dengan panjang berkilo-kilo meter, hanya untuk mendengarkan suara dari kaca yang berjalan
Aku mengorek isi dompetku hingga tak tersisa, demi melihatmu mengelus kepalamu yang mirip suara dari kaca yang berjalan,
Aku mendatangimu, seakan-akan telah rindu bertahun-tahun tak menemukan wajahmu,tubuhmu, dan juga senyummu yang cukup kharismatik
Sungguh aku berjalan berkilo-kilo meter untuk membawa tubuhku pulang
dan menantikan mimpi-mimpi menghujam kepalaku
yang berkesan dari suara kaca yang bergelantungan~


*)penulis mahasiswa UMS, nyantri dan belajar di bilik literasi. Tulisan ini adalah sajian lelampahan sastra serial 1. bersama afrizal malna---

Minggu, Februari 19, 2012

Dari Pesan Singkat(SMS)Hingga Kebijakan Kenegaraan




Oleh AS yudistira*)

Mencermati, dan mengilhami buku Sahabat,Salam Indonesia Bunga rapai sms Dr.Darwin Zahedy Saleh(2008-2011)ibarat membaca biografi tokoh sekaligus menteri ESDM ini. Kita seperti diajak untuk menelisik, menelusuri, dan juga membaca kembali fenomena-fenomena selama selama tiga tahun yang lalu hingga saat ini. Mengapa Dr.darwin Zahedy Saleh mengirim sms?. Ini bisa ditelusuri dari jawaban ia sendiri dalam bukunya. Sebagaimana pengakuan Dr.Darwin Zahedy Saleh, ia mengatakan : “SMS yang saya buat terinspirasi dari Socrates…sekadar terfikir…mudah-mudahan sms ini akan memancing kebaikan yang lain”.
Siapa sangka bermula dari pesan singkat menjadi inspirasi membangun kebijakan, membaca fenomena kebangsaan menghasilkan bunga rampai dan percikan pemikiran. Penulis Munawar Fuad Noeh menyadari, bunga rampai percikan pemikiran ini akan sia-sia dan terbengkalai begitu saja ketika sms atau pesan singkat itu hilang begitu saja. Maka ketekunan munawar fuad noeh berhasil mengabadikan dalam buku ini. Lalu masih adakah orang yang meremehkan pesan singkat?.Kita terlalu menganggap remeh kebudayaan kita yang “mau tidak mau” harus hidup pada jaman teknologi informasi yang menuntut arus informasi berjalan demikian hebatnya. Pesan singkat atau sms adalah hal yang sering kita abaikan dalam keseharian kita, apalagi pada pesan singkat yang terdapat pada hape yang mempunyai keterbatasan menyimpan pesan.
Beruntung Munawar fuad noeh tak hanya tekun dalam menyimpan dan mendokumentasikan pesan singkat dari Dr. Darwin Zahedy Saleh, tapi juga memberi ulasan dan gambaran mengenai konteks dan relevansi pesan terhadap kebijakan pak menteri yang dipikirkan dengan pertimbangan yang masak dan serius. Buku ini dibagi dalam lima pokok pemikiran, yang diambil dari tema umum sms Dr. Darwin Zahedy Saleh. Selaku menteri ESDM, DZS mempedulikan spirit membangun energy, keadilan ekonomi, spirit demokrasi bermartabat, pendidikan berbudaya, serta kepemimpinan adiluhung. Kelima spirit ini diuraikan dalam peristiwa yang berbarengan dengan sms tersebut dihadirkan dan juga berimplikasi terhadap kebijakan pak menteri yang akan diambil.
Perhatian dan sikap Darwin Zahedy Saleh dalam menanggapi fenomena CSR terlihat dalam sms pada 10/5/2011. Ia menunjukkan sikap bangga dan mengajak kita semua untuk belajar dari Caltex dan Newmont. Ia memandang moderat dalam menyikapi CSR dan perusahaan asing. Sikap moderat itu seperti menunjukkan bagaimana kepemimpinan DZS tidak lain dan tidak bukan adalah mengambil jalan aman atau cari aman. Dibandingkan dengan sms di bulan sebelumnya yang prihatin dan merasa miris dengan kekayaan alam Indonesia yang belum dimanfaatkan sepenuhnya.
Sebagaimana dalam subject sms “ekspedisi kekayaan energy” ia menuliskan : “kita ingin energy dan kekayaan mineral negeri ini menjadi sumber daya dan memberdayakan”.Lebih kontras lagi dengan pernyataan pak menteri ESDM dalam pesannya lebih lanjut dengan subject “membangun kemandirian”. Ia menunjukkan dan ingin mengatakan bahwa utang Rp.1700 trilliun disebabkan karena banyaknya surat utang dalam negeri, dan bangsa ini punya cara sendiri untuk menyelesaikannya. Ini bertentangan dengan konsepsi pak menteri sendiri yang menginginkan sumber daya energy kita menjadi sumber daya dan memberdayakan jika dilihat konteks Freeport sekarang yang memiliki penghasilan 800 trilliun, sedangkan APBN kita tidak sampai dengan capaian Freeport tersebut.
Meskipun buku ini memiliki kekurangan, yakni ditulis oleh asisten menteri ESDM yang kurang lebih memiliki pandangan subjektif. Selain itu, DZS adalah menteri ESDM yang mau tidak mau menampik dan berfihak pada opini pemerintah, meskipun ada beberapa opini masyarakat atau publik yang perlu di klarifikasi. Buku ini seperti menghasilkan sebuah percakapan antara tidak hanya staff, tapi keinginan seorang menteri untuk sekadar berbagi dan juga memerlukan permenungan, kritik, dan saran yang memungkinkan seorang menteri mengambil kebijakan tertentu. Sikap seperti itu perlu dihargai, akan tetapi mau tidak mau kepemimpinan memegang peranan penting dalam elemen kebangsaan kita. Yakni kepemimpinan SBY. Yang secara factual, kali ini SBY tak lain sebagaimana yang ditulis radar panca dahana sebagai “pemimpin minim ambisi”(kompas,27/11/2011)..
Selain itu,sebagai sosok manusiawi, Dr. Darwin Zahedy saleh memberikan permenungan kepada kita tentang kondisi bangsa ini dalam pesan : “Membangun bangsa tidak sama dengan membangun rumah di lahan yang kosong dimana kita harus menggali tanah untuk membuat fondasinya. Rumah kebangsaan kita sudah terbentuk di atas fondasi yang sangat kokoh. Namun kita perlu terus-menerus merawat dan menyesuaikan kondisi bangunannya dengan keadaan yang dinamis, bukan membongkar dan mengganti fondasinya,ini adalah tugas kebudayaan. Karena itu pembangunan bangsa ke depannya sebenarnya lebih merupakan soal bagaiamana merancang strategi kebudayaan”. Ia merasai tradisi demokrasi kita semakin tak beradab, tapi juga para politikus kita lebih condong ke pada sosok politikus saja dan bukan seorang negarawan.
Bagaimanapun juga buku Sahabat, Salam Indonesia tetap merupakan buku penting bagi kita untuk mengingatkan kembali arti kepemimpinan dan peran kepemimpinan yang tetap akan membutuhkan kritik dan saran serta hubungan yang tak terlepas dalam masyarakat yang dipimpinnya, apalagi dalam konteks kenegaraan. Pemimpin dituntut untuk bisa bertindak bijak dan tegas serta tepat dalam pilihan kebijakannya, sebab implikasinya akan berimbas pada rakyat serta dirinya juga. Buku ini memberi jawaban panjang lebar soal dan bagaimana bersikap dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara meskipun lewat sms yang dipandang oleh banyak orang sebagai hal yang tidak biasa dilakukan oleh pejabat ataupun pemimpin kita.
Melalui pesan singkat itulah, tanpa sadar, muncul kebijakan- kebijakan yang controversial,berdamai dengan publik, atau bahkan mendapatkan protes dari publik, Tapi paling tidak, pesan yang didengungkan oleh DZS mempunyai satu titik persamaan dengan kita, yakni kejujuran, keterbukaan dan sama-sama menginginkan bangsa kita menjadi bangsa yang lebih baik.

*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, Presidium kawah Institite Indonesia

*)Tulisan dimuat di koran opini 18 februari 2012

Kamis, Februari 16, 2012

Buku-Pramudya-,Dan Mengapa Aku Menulis?

oleh arif saifudin yudistira*)


Kesukaanku pada buku sebenarnya bermula ketika masa kecilku Ayah sering membelikan aku majalah “bobo”. Dengan ilustrasi dan gambar-gambar yang ada dan cukup berkesan aku mulai menyentuh, dan menemui buku. Berlanjut ketika sekolah di TK,SD hingga ke jenjang selanjutnya, aku paling suka kalau ayah mendongeng. Kisahnya selalu menarik bagiku, atau kebiasaan Ayahku nembang jawa yang sampai saat ini masih terngiang-ngiang di kepalaku. Dalam lagunya “semut ireng” saya pernah bertanya “kebo bongkang itu yang seperti apa”? maka seketika ayah kebingungan dan sulit menjawab pertanyaan saya. Itulah sekilas memori yang aku simpan di masa kecilku. Di masa SMA aku menyentuh dan berkenalan dengan majalah horizon, di sana aku mulai mengenal tulisan sastrawi yang berupa cerpen, puisi hingga liputan tentang sastra di SMA-SMA. Aku mulai menyukai puisi, puisi yang berkesan di waktu itu adalah puisi sutardji calzoum bachri yang berjudul : KAKAWIN. Sejak saat itu, puisi jadi akrab di bangku SMA ku hingga aku kelas dua SMA.

Di bangku kuliah kakak-kakak angkatan ku mengenalkanku dengan buku, dari buku itulah aku tanpa sadar dikenalkan berbagai hal. Buku yang dianjurkan waktu itu adalah MADILOG. Semester pertama aku menggauli madilog hingga katam karena tuntutan debat dan diskusi. Sejak itu, aku mulai belajar membaca buku dengan sedikit penghayatan dan pengilhaman. Madilog meskipun awalnya agak susah, ia memberikan gambaran sosok tan malaka dengan segala petualangan hidupnya dan berbagai kebijaksanaan dan pelajaran berharga dari kemerdekaan. “Jika kamu menginginkan kemerdekaan suatu kaum, maka ia harus merelakan kemerdekaannya sendiri”. “revolusi itu mencipta”!. Beberapa kalimat dalam buku itulah yang menginspirasiku untuk berbuat meski tak banyak. Setelah itu, aku mulai mengenali buku-buku bacaan umum atau yang sering orang mengatakan ini dengan buku “berat”. Buku-buku agama, pendidikan, hingga buku-buku terbitan resist aku baca. Ada perasaan geli, tertawa,tersenyum, hingga perasaan ngiris ketika membaca terbitan resist. Aku seperti diajak menertawakan hidup bersama eko prasetyo penulis buku orang miskin dilarang sekolah, Guru mendidik itu melawan!.
Ketika beranjak beberapa tahun, perkenalanku dengan buku sastra mulai bermula. Di saat itu, aku tak mengenal apa itu sastra, bahkan membenci sastra. Aku membaca novel yang meyentuh dan berpengaruh dalam hidupku. “BUMI MANUSIA”. Dari situlah aku mulai menyukai novel-novel berikutnya. Sampai aku menemukan kuartet pulau buru dan menghabiskannya. Disana aku tak hanya bertemu kisah, tapi juga pengalaman, hingga bagaimana potret kehidupan ada disana. Dan yang cukup berkesan adalah bagaimana tulisan itu muncul dan perlu dimunculkan. “Pelajar adalah orang yang adil baik dalam pikiran maupun perbuatan”. Kemudian pertanyaan kartini dalam buku itu : “Tahu mengapa kau kucintai lebih dari siapapun?, karena engkau menulis, menulis adalah kerja untuk keabadian”. Dari sanalah aku kemudian menulis. Menulis bagiku waktu itu adalah untuk memberikan sesuatu yang paling tidak bermanfaat bagi orang lain meskipun baru sekadar ide saja. Maka sejak saat itu pula, lahirlah tulisan pertama saya yang dimuat di SOLO POS. sekitar tahun 2007. Waktu itu di rubric curhat, tulisan itu pula yang menjadi kenang-kenangan saya, tulisan itu bertajuk “Demo mengapa tidak”. Disaat itulah, aku mulai jatuh cinta untuk menulis hingga saat ini dan entah sampai kapan.

Bersama PAWON di tahun-tahun berikutnya, membaca sastra jadi tak begitu berat, dengan bulletin mungil itu pula aku mulai mengikuti diskusi-diskusi sastra hingga mengoleksi buku-buku sastra dari puisi, cerpen, novel. Novel yang berikutnya adalah novel PUTU WIJAYA. Dari sana saya menyukai gaya bertuturnya yang menghanyutkan dan mengajak pembaca ikut dalam novel tersebut. Maka tiap membaca novelnya tak terasa berkucuran air mata saya. Bersamaan dengan itu pula, di tahun ke depan saya harus mengucurkan air mata saya ketika melihat buku-buku koleksi saya dicuri orang, dan kembali ke toko buku saya tempat biasa membeli buku yakni di Gladag. Buku yang biasa saya peroleh dari berjualan rambak yang hanya memperoleh 30 ribu per minggu harus lenyap dan kembali di depan mata saya, tapi saya tak bisa memilikinya. Sejak saat itulah, buku adalah seperti nafas saya yang tak bisa saya lepaskan begitu saja.

Pramudya dan menulis

Di kuartet pulau buru dari bumi manusia hingga rumah kaca saya menemui kisah tirto adi suryo yang bergiat dengan pers, tulis-menulis hingga ia mengakhiri dan mengisahkan hidupnya dengan tragis. Ia bertekun belajar, hidup, hingga bergerak menggunakan tulisan, sampai-sampai ia dipenjara dan diasingkan dari para pembacanya, sahabat-sahabatnya, dan mati dalam kesendirian. Di saat itulah saya menyadari, menulis itu menyiksa, dan tak mudah. Dengan penjara sebagai resikonya, tapi efek yang ditimbulkan begitu berharganya, dan begitu luar biasanya. Menulis itu untuk pencerahan, menulis itu adalah lampu penerang yang membawa kegelapan pada jalan kemenangan. Itulah yang disadari tirto adi suryo dan juga kartini. Setelah tulisan saya yang pertama itulah saya merasa lega, hingga tulisan-tulisan saya berikutnya menyusul di Koran-koran local, regional hingga majalah-majalah nasional. Di saat-saat berikutnya, saya mengenal buku-buku biografi tokoh-tokoh nasional kita dan karya-karyanya, tan malaka, sukarno, hatta, hingga syahrir. Buku memoir, dibawah bendera revolusi, hingga buku pendidikan ki hajar dewantara adalah beberapa buku yang saya baca.
Dari pramudya itu saya kemudian mengerti bahwa tulisan itu tidak dilahirkan tanpa terlepas dari pengarangnya. Pramudya menuliskan kuartet pulau buru dan tulisan-tulisan lainnya ditekuni dengan kerja pribadi nya yang luar biasa. Ia mengumpulkan buku-buku bacaan dia, kliping-kliping Koran lengkap, konon adalah pertama terbesar di Indonesia setelah HB Yassin, yang dibakar orde baru. Di situlah saya menemukan tulisan adalah perlawanan terakhir tapi bukan tidak efektif. Tapi justru dari menulis di penjara itulah, ia bisa melahirkan karya, komunikasi dengan dunia luar penjara dan menghasilkan kerja kebudayaan. Bahkan Halim hade pernah menyebut : “Sastra kita saat ini belum ada yang bisa menandingi pramudya”. Pram menulis hidupnya dengan berdarah-darah dan dengan nasib tak seberuntung hatta dan lain-lain. Dari pram itu pula, saya belajar menulis dan arti sebuah tulisan. “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, maka ia ibarat anjing yang bodoh”. Pram tak hanya bercerita tentang tirto dan tulisan, tapi ia juga melakoni menulis hamper-hampir seperti mengatakan : “hidupku untuk menulis”. Bahkan ia mengatakan : “Saya sudah seperti kuli tinta”. Kegemaran membaca buku dan menulis itu yang sampai saat ini saya tekuni yang bermula dari pengalaman membaca buku pramudya, sebab disana saya menemukan arti tulisan, kepenulisan dan mengerti bagaimana dan sejauh mana tulisan itu berarti dalam perjalanan sebuah perubahan.

Buku Puisi Dan Kegemaran Membuat Puisi

Setelah SMA menekuni puisi, saya membuka-buka website tentang penyair Indonesia. Bertemulah saya dengan puisi joko pinurbo yang berjudul celana meski dalam web, dari situ saya mulai suka puisi lebih kental dari pada sma dan mencoba mengenal lebih jauh apa itu puisi dan mencoba membuat puisi. Akhirnya saya memperoleh buku puisi jokpin “DIBAWAH KIBARAN SARUNG”. Kemudian buku puisi berikutnya adalah buku puisi afrizal malna, awalnya saya mengenal penyair unik ini dari puisi-puisinya yang saya baca dari internet, dan akhirnya saya pun berkesempatan bertemu dengannya. Pertemuan dibalai sujatmoko mengenalkan siapa itu afrizal, puisinya, hingga cara dia menuliskan puisinya dan menganggap bahasa adalah penjara. “Kita dibaca bahasa, atau kita membaca bahasa” begitulah awlanya dia berujar dan berkelakar. Dengan lagak saya seperti mengetahui, saya mencoba menuliskannya di majalah nasional dan diterima dengan judul “Menarik benang merah sex dan politik”. Di saat itu pula, saya akan segera berangkat ketika ada diskusi puisi tentang afrizal ataupun diskusi lain yang menghadirkan afrizal. Dan di pertemuan di Taman budaya Surakarta , saya berkesempatan membeli dua buku afrizal yang bertajuk “ Arsitektur hujan”, dan “abad yang berlari”. Kemudian dari sana, saya mulai membuat puisi, saya suka menulis puisi karena saya pikir puisi adalah medium termudah dan termurah untuk menyampaikan gagasan dan ide kita, ketika tak sanggup dibahasakan melalui bentuk lain seperti esai, dan lain sebagainya. Salah satu puisi yang bercerita tentang afrizal pun pernah saya tulis sebagai wujud kegilaan saya bertemu afrizal malna : Perjalanan Panjang
untuk suara dari kaca yang berjalan
Aku menemuimu dengan panjang berkilo-kilo meter, hanya untuk mendengarkan suara dari kaca yang berjalan,/Aku mengorek isi dompetku hingga tak tersisa, demi melihatmu mengelus kepalamu yang mirip suara dari kaca yang berjalan,/Aku mendatangimu, seakan-akan telah rindu bertahun-tahun tak menemukan wajahmu,tubuhmu, dan juga senyummu yang cukup kharismatik/Sungguh aku berjalan berkilo-kilo meter untuk membawa tubuhku pulang/dan menantikan mimpi-mimpi menghujam kepalaku, yang berkesan dari suara kaca yang bergelantungan~

Sejak saat itu pula kegemaran menulis puisi saya kemudian diasah bersama komunitas pengajian puisi yang hadir tiap jumat pagi di UMS. Dari situlah saya tak hanya belajar bagaimana puisi saya estetis, tapi juga bermakna dan berkesan. Dan kemudian puisi saya berhasil di muat di harian joglosemar. Kemudian kesenangan belajar membuat puisi saya berlanjut sampai saat ini. Dan saya berharap di tahun ini, buku puisi saya bisa terbit.

Buku, Aku Dan hidupku

Bersama ini saya ingin mengakhiri tulisan saya dengan mengutip sindhunata : “Membaca buku adalah proses kreatif dan aktif,pembaca ditantang apa yang sebenarnya tak pernah selesai dalam bukita yang dibaca. Bahkan ia diminta untuk mengarang, dan menciptakan kisahnya sendiri atas kisah yang dituturkan oleh buku kita yang dibaca(Sindhunata,04).Maka membaca buku bagiku adalah pekerjaan yang seringkali tak pernah selesai. Sebab disana saya mesti bertemu dengan buku-buku yang lain, hingga berbagai peristiwa yang mengundang saya untuk menulis baik esai maupun puisi. Saya meyakini kecintaan terhadap buku ini tak mungkin sia-sia dan berbuah suatu hari nanti. Entah berupa berkah ilmu pengetahuan, rejeki hingga jodoh dan lain-lain. Dan tak kalah penting yakni bisa berbagi dengan tulisan dan ilmu yang kita miliki. Membaca buku sudah seperti kelaziman saya sebagai manusia. Sebab saya meyakini tanpa membaca buku, kita akan menjadi buta, atau bahkan seperti yang dikatakan remy sylado kita gagal jadi manusia, dan berhasil jadi hewan : “Meminjam kata San Min Chu I bahwa buku tidak dikenal di dunia hewan. Oleh sebab itu manusia yang tak mau mengurusi buku, mengenal buku, bahkan tidak mau membaca buku tak jauh beda dengan manusia yang mengambil inisiatif menjadikan dirinya sebagai hewan(Remy Sylado).





*)Tulisan terbit di Annida-online dan Pawon dalam Aku dan Buku





Rabu, Februari 01, 2012

Kiri mencipta Indonesia


Oleh arif saifudin yudistira*)

Ketika kita bertanya apakah sukarno adalah orang PKI?. Ada berbagai pro dan kontra dengan berbagai alasan yang panjang lebar. Ketika kita bertanya apakah sukarno adalah orang kiri? Tentu tak banyak perdebatan, mereka akan mengatakan sukarno adalah orang kiri. Istilah orang kiri menjadi sesuatu yang wajar sebelum terjadinya kisruh PKI pada 1926 dan peristiwa 1948. Kiri ditelusuri secara baik dan bahasa yang cair oleh sejarawan perancis yang meneliti indonesia jacques leclerc. Dalam buku : “mencari kiri, kaum revolusioner indonesia dan revolusi mereka”(2011) jacques tak hanya lihai menelusuri konflik dan pergulatan kaum kiri indonesia yang membangun negerinya dari sejak sebelum kemerdekaan hingga paska kemerdekaan. Ia mengatakan dalam buku ini: “kata kiri dalam perbendaharaan kata politik international agaknya merupakan konsekuensi dari revolusi perancis ; kata “kiri” seringkali digunakan dalam perempat abad 19 dan “kiri” juga menunjuk ide-ide wakil rakyat yang duduk sisi sebelah kiri ketua di ruang parlemen perancis. Mula-mula kiri didukung untuk tuntutan “kedaulatan bangsa” melawan kekuatan raja”.

Lebih lanjut Jacques dalam buku ini, ia menerangkan kiri di indonesia bermula dari syarekat islam yang terpisah menjadi dua yakni SI merah dan SI putih. Tidak sekadar itu, ia melihat bahwa konflik tokoh dalam kekuasaan SI pada waktu itu juga berpengaruh dan menjadi sebab utama berpisahnya SI tersebut. Yang kemudian memunculkan partai komunis indonesia(PKI). Istilah partai merujuk pada kata melayu yakni persyarikatan, yang terjemahan bahasa belanda partij. Jacques menelusuri istilah penggunaan partai ini dengan sangat baik, ia menyebut PKI lah organisasi politik di indonesia pertama kali yang menggunakan istilah partai.

Jacques menguraikan lebih jauh lagi, PKI didirikan dengan maksud : “Tidak lagi hanya menyemai ide-ide tapi harus dijaga agar ide-ide tersebut bisa menjadi buah, dan menjadi tekad untuk itu diperlukan organisasi yang mampu melaksanakan tekad tersebut,menjalankan perubahan politik,yang membangkitkan dan dapat menjadi pemimpin dari gerakan yang dilahirkan oleh tekad tersebut”. Inilah alasan, mengapa dikemudian hari, PKI adalah partai massa terbesar dengan kerelaan para anggotanya yang sadar akan ideologi maexis-leninis dan percaya pada harapan dan perubahan bisa ditempuh dengan jalan partai.

Buku yang merupakan tulisan jacques ini menelusuri kiri dengan pemaknaan yang condong pada gerakan revolusioner indonesia, meskipun ia juga membahas marhaenisme adalah konsepsi kiri indonesia atau protelariat indonesia, ia lebih menekankan kajiannya pada kelahiran partai komunis indonesia, hingga paska kemerdekaan partai ini masih berpengaruh terhadap pencarian identitas kiri indonesia. Ia memaparkan dalam empat bab tulisan, pertama berbicara tentang aliran komunis indonesia: sejarah dan penjara, kedua amir syarifudin antara negara dan revolusi, ketiga aidit dan soal partai tahun 1950, dan terakhir tentang kondisi kehidupan partai :Kaum revolusioner indonesia mencari identitas(1928-1948).

Membicaran “kiri” secara objektif

Jacques melalui bukunya ini ingin menjelaskan bahwa PKI pun juga berpengaruh dalam membentuk identitas indonesia. Istilah perjuangan merebut kemerdekaan dari tangan kolonialisme dan imperialisme tidak mungkin dilepaskan begitu saja dari peranana partai salah satunya PKI. Sukarno sering berseru dari pidato-pidatonya bahwa partai harus menjadi penuntun, pendidik dalam garda depan mewujudkan revolusi. Melalui partai itulah dulu masyarakat tahu dan mengerti betul makna revolusi dan makna berpolitik. Sebab PKI menerapkan disiplin tegas kepada anggotanya dan penyadaran betul makna revolusi itu. Ini menumbuhkan partai ini memiliki kader-kader militan seperti musso,semaun, tan malaka, aidit, dan amir syarifudin.

. Jacques lihai melihat narasi PKI dari awal berdirinya, hingga pertikaian aidit dengan hatta di tahun 1948 waktu pemberontakan madiun. Jacques menjelaskan bahwa ada yang janggal dari pemberontakan PKI tahun 1948. Di dalam buku ini, lebih diungkap bahwa ada perselisihan antara amir syarifudin dan hatta. Meskipun van mook menyebut amir dengan sebutan merah, sudjatmoko dengan sebutan : “orang yang tinggi pengetahuannya, dan pesona pribadi yang luar biasa”. Hatta menyebut amir suka memukul isterinya(Hatta menjawab, 1978: 23).

Buku ini penting, untuk menjelaskan bahwasannya PKI adalah kiri yang masih mencari identitasnya. Jacques menelusuri partai dengan disiplin terbaik, dan perkaderan terbaik pula, sehingga kader-kadernya militan meskipun diterjang dengan berbagai persoalan tragedi madiun, PKI masih bisa memperoleh perolehan suara terbesar keempat tahun 1955 dibawah kepemimpinan aidit. Buku ini menjelaskan pula, kiri tak selalu identik dengan kejam dan beringas, tapi kiri juga ikut membentuk dinamika kemerdekaan indonesia baik sebelum, pada kemerdekaan hingga tahun 1928 pada waktu sumpah pemuda.

Membaca buku mencari “mencari kiri, kaum revolusioner indonesia dan revolusi mereka” dalam buku ini kita seperti tak habis diajak untuk menelusuri istilah kiri yang berhubungan dengan kata revolusioner. Ini penting untuk memahami istilah “kiri” yang muncul pada masa kini misalnya “islam kiri”baik yang dicetuskan hassan hanafi maupun oleh eko prasetyo dalam bukunya “islam kiri melawan kapitalisme global”. Kiri belum selesai hingga kini, dan kiri tak bisa kita nafikkan ikut serta dalam pembentukan indonesia. Begitu.

*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta bergiat di bilik literasi solo, aktifis IMM, mengelola kawah institute indonesia

*)Tulisan dimuat di koran opini.com 30 januari 2012