Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Selasa, Mei 26, 2009

"Ruang KosOnG MahAsiSwa"

Ruang Kosong Mahasiswa
By ; Arif Saifudin yudistira*)

Yah, ruang itu saya namakan ruang kosong mahasiswa. Ada semacam ruang dimana kita tidak kita sadari, ruang kosong itu begitu membosankan. Ada banyak hal mahasiswa lakukan untuk mengisi ruang kosong ini. KEsibukan dunia kuliah memang begitu menyesakkan dan begitu membuat kehidupan ini semakin terasa pendek saja.
PErnah saya mewawancarai seseorang di mahasiswa biologi mengeluh kepada saya; “Saya ini seperti kuliah 24 jam”. Mulai dari pagi sampai malam hari isinya hanya tugas-tugas kuliah, yah saya harus sabar…kadang-kadang saya merasa seperti robot{begitulah katanya}..
Apakah memang gambaran pendidikan kita akan membuat kita seperti robot? Apakah itu jawaban sementara?. Mahasiswa selalu cerdas mengisi ruang kosong itu, biasanya mereka mengisi aktifitas kosongnya dengan mengutak-utek hapenya, menonton film, Play Station, dan ada juga yang paling sering dilakukan yaitu “Ngedet with girl friend atau boy friendnya alias pacaran ”.
MemaNG sEKilas tidak ada yang salah dengan semua itu, akan tetapi kenapa harus ada ruang kosong??? Ini pertanyaan yang kiranya sulit kita jawab dengan waktu yang singkat. Akan tetapi, saya akan mencoba sedikit yang mencoba menjabarkan apa itu ruang kosong.
Ruang kosong ini timbul karena sepertinya kehidupan atau aktifitas kita hanya seperti monoton dan tidak berubah. Atau disebabkan karena kebosanan terhadap aktifitas kita karena melihat realita yang penuh absurditas dan ketidakjelasan. Karena seakan-akan dunia yang kita lihat ini tampak tidak nyata.
Apa yang dinamakan “piknik” untuk menyenangkan hati saat ini tidak harus ke pantai, cukup kita melihat TV, bisa juga kalau kita ingin ke Amerika, cukup melihat lewat internet. Kalau kita ingin apapun semua ada dan tinggal kita mencarinya dengan mudah.
KEmudahan-kemudahan ini ada karena globalisasi dan ada kekuatan yang tak nampak itu seakan membuat kita ingin kembali pada masa dahulu yang penuh sesuatu yang alami bukan semu. Begitupun pendidikan yang ada saat ini, ketika sudah ada internet, sudah ada hape berteknologi tinggi, ada buku, lalu buat apakah kita kuliah?.
Ruang kosong itu hendaknya kita isi dengan ruang public. Sistem belajar di ruang public itu yang saat ini kurang. Dengan belajar pada ruang public, maka kita akan menemukan variasi ide, variasi ilmu, wacana, pengetahuan dan lain-lain dan tentunya menghasilkan ruang mimpi yang membantu kita makin senang dan memberikan kepuasan tersendiri untuk semakin meyakinkan bahwa apa yang dinamakan cita itu bisa dengan mudah kita capai.
Selain itu, ruang public tidak menciptakan stagnasi, akan tetapi akan menciptakan dinamisasi, serta mengembangkan nalar kritis dan tentunya berbeda dengan sistem belajar di gedung-gedung yang angkuh itu, yang semakin membuat sesak nafas, membuat sesak pikiran kita. Yah, Begitulah.
*) PEnulis adalah Presidium Of Kawah Institute Indonesia ,belajar pada ruang public dan penjara bahasa inggris UMS.

Senin, Mei 25, 2009

"MenCaRi AuTenTitas Dalam KeGalauAn"

Mencari Autentitas Dalam Kegalauan
Oleh Arif saifudin yudistira*)

Begitulah ungkapan hati buya syafi’I melihat kondisi bangsa ini yang belum berubah. Memang renungan dan ungkapan hati syafi’I maarif di tahun 2004 lalu belum berubah. “Kalau seandainya Al-qur’an tidak melarang umat Islam itu untuk pesimis, saya orang yang pertama kali akan pesimis “begitulah kata buya.
Buya memang melihat bangsa ini sudah hampir tidak ada harapan di semua lini. Spiritualitas agama saat inilah yang kemudian dipertanyakan oleh Ahmad Syafii maarif tentang bangsa ini.
Bangsa ini sudah menderita luka yang cukup lama, kemiskinan, kebodohan, dan ketertindasan. Sudah saatnya pemimpin bangsa ini menyadari dan memahami kondisi ini dan diharapkan mampu mengubah keadaan bangsa ini, bukan menambah luka bangsa ini.
Masalah moralitaslah yang menjadi masalah utama pemimpin bangsa ini. Moralitas pemimpin kita begitu rendah sehingga Ia mudah tergiur oleh kekuasaan dan kegelimangan di dunia.
Agama sudah tiada lagi menjadi panutan dan pedoman hidup mereka. Mentalitas inilah yang saat ini kian lama kian hilang. Budaya menjaga kebersihan, budaya malu, kini kian lama kian menghilang saja dari Indonesia.
Rasa optimisme itulah yang selalu di dengungkan buya. Sudah tidak ada waktu lagi buat kita untuk pesimis. Sudah waktunya kita membangun bangsa ini dengan semangat dan senyum lebar. Meskipun tantangan dan hambatan begitu banyak.
Autentitas dalam kegalauan inilah yang sulit didapatkan. Yang sering terjadi adalah dalam kegalauan hanya putus asa. Dan yang ada bukan lagi autentitas. Menurut buya Autentiknya Islamlah yang sampai saat ini masih relevan.
Menimbang Calon Pemimpin Kita

Kalau kita lihat calon pemimpin bangsa ini, baik yang duduk di DPR maupun Presiden mereka sama-sama masih minim moralitas bangsanya. “Pemimpin saat ini yang ada hanya moralitas politik belum moralitas bangsa”.Inilah yang belum ada dalam pemimpin kita saat ini.
Bisa kita lihat saat ini koalisi yang baru-baru ini menjadi berita hangat ternyata belum ada yang kemudian merumuskan visi dan misi kerakyatan yang kuat sehingga komitmen kepentingan rakyatlah yang akan dibawa.
Akan tetapi, yang ada saat ini hanya koalisi partai dan kepentingan. Koalisi yang tidak memandang lagi masalah-masalah kepartaian akan tetapi memandang Indonesia ke depan juga memikirkan nasib rakyat kita hampir tidak ada.
Demokrasi kita saat ini masih dalam pembelajaran yang jauh dari kesempurnaan. Itulah yang harus diakui di negeri kita saat ini. Masalah DPT yang tak kunjung usai, muncul lagi kasus dugaan korupsi menteri sampai bupati masih saja ada di negeri yang mayoritas muslim.
Pemimpin kita saat ini belum ada yang serius melepaskan bangsa ini dari kepentingan pasar dan jeratan utang. Baru-baru ini Indonesia dengan diwakili SBY menjadi tuan rumah ADB, tidak lain dan tidak bukan adalah untuk minta utang.
Cukup cerdas presiden kita rupanya dengan menyatakan ; “Saya yakin jika bekerjasama kita bisa berhasil,dalam krisis selalu ada peluang”. Yah peluang untuk utang lagi. Sampai kapan Indonesia menggunakan konsepsi kerakyatannya Hatta.
Begitulah kiranya yang perlu dijadikan refleksi buat kita semua. Bahwa memang mau tidak mau kita harus mencari autentitas islam dalam kegalauan bangsa ini yang semakin akut permasalahannya diharapkan bisa menjadi solusi atas permasalahan bangsa ini. Sebab mayoritas kita juga Islam.
Yah, inilah yang ditawarkan buya syafi’I maarif dan kita tentunya yang masih percaya dan optimis harapan itu masih ada, dan badai pasti berlalu. Dengan cara mencari autentitas Islam. Karena sesungguhnya Islam itu rahmat bagi seluruh alam.























Penulis adalah KETUA DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2009/2010

Rabu, Mei 20, 2009

SOlo, sebuah Refleksi

Gladag Book Store VS Gramedia Book Store;
Pertarungan peradaban
Oleh:Arif Saifudin Yudistira

Menarik kiranya ketika kita mencermati lebih dalam kedua toko buku ini. Pertaruhan peradaban dan budaya terasa ada begitu mencolok ketika kita menggali lebih dalam. Solo, begitulah kita biasa menyebut sebagai kota budaya.Budaya tidak akan lahir adanya pola-pola perilaku manusia, karena secara tidak langsung budaya itu ada karena adanya manusia yang menciptakan budaya itu sendiri.
Masih segar dalam ingatan kita bahwa Solo tidak hanya disebut sebagai kota budaya akan tetapi juga lebih dikenal dengan “center of movement”. Saya kira ini tidak begitu berlebihan ketika melihat Solo. Pergerakan ada karena salah satunya dengan budaya baca.
Solo kota kecil penuh makna dan penuh beraneka ragam khasanah yang bisa kita pelajari. Kembali pada mencermati pola budaya, pola kebiasaan, ataupun dari suasana kedua toko buku ini. Gladag storesering dikenal sebagai pusat buku-buku kuno dan buku jawa yang langka di pasaran. Di sini selain tempatnya yang kurang begitu bagus dibanding dengan Gramedia, buku-buku disini cukup untuk mengobati masyarakat yang haus akan khasanah keilmuan.
Jajanan yang disajikan di sini pun begitu berbeda dengan Gramedia, satu sisi toko buku ini lebih terkesan menunjukkan bahwa inilah solo yang tetap menghargai jajanan tradisional, dan suasana yang serba tradisional. Dari jenis bukunya, tentu di Gladag jauh lebih menghilangkan kesan sebagai Toko buku yang menjual buku-buku Populer.
Jelas kentara toko ini dibalut dengan nuansa alamiah. Ada memang selingan musik dari salah satu pemilik toko yang menyetel musik sebagai hiburan, yah lagu keroncongan, lagu jawa, dan lagu-lagu lama yang jauh dari budaya pop.


Akan tetapi begitu berbeda ketika kita coba perbandingkan dengan Gramedia book Store. Meskipun sama-sama akan membentuk budaya yang bagus yaitu membaca, akan tetapi jelas nampak gramedia lebih mengesankan glamour,dan tentu untuk kalangan menengah ke atas. Dari AC nya, kemudian musik iringannya, warung makannya, maupun suasana pelayanannya. Jangan heran pula ketika buku disini lebih mahal.
Meskipun baru beberapa tahun berdiri, toko ini begitu cepat menyerap minat anak muda ataupun semua kalangan untuk datang ke sini. Bukunya pun menyesuaikan dengan buku yang lagi “ngetrend”saat ini. Secara tidak sadar dan perlahan, kedua toko buku ini saling bertarung dan juga membentuk pola masyarakat kita.
Bagaimana pola pertarungan peradaban ini saling membawa kepada peradaban yang berkemajuan. Gladag menawarkan sisi ketradisonalannya, buku sejarahnya, dan suasana alamiahnya. Tetapi Gramedia juga tidak meninggalkan suasana budaya solonya, kemudian tidak terlalu menonjolkan nuansa kapitalismenya,dan lain-lain.
Akan lebih menarik jika Gladag kemudian lebih dimeriahkan dengan pameran, atau event-event seni disana,juga dengan Gramedia yang punya balai sudjatmoko yang harus dikembangkan lagi dalam pertunjukan seninya, atau pertunjukan yang lainnya. Dengan demikian, maka Solo tetap akan menjadi kota yang menghargai buku, menghargai buku berarti peduli akan berkembangnya budaya baca masyarakat, dan tentunya akan mewujudkan peradaban yang maju.




Penulis adalah Presidium Kawah Institute Indonesia, masih belajar di Universitas Muhammadiyah Surakarta
LITBANG FIGUR FKIP UMS,2008

Jumat, Mei 15, 2009

CAtatn Thesis TAn malaka

Catatan dari Thesis Tan Malaka

Seorang nachoda yang berpengalaman cukup, yang mengemudikan kapal, yang kuat dan baru juga mesti menentukan keadaan pelayaran lebih dahulu sebelum bertolak dari pelabuhan.(Tan Malaka)
Kita akui penuh bahwa aliran yang kita pakai ialah aliran Marx, yang berdasarkan pertentangan dalam hal sosial, politik dan ekonomi. Dengan pisau analyse-nya yang bersifat pertentangan (dialektika) dua klas dalam masyarakat (Proletariat melawan borjuasi) inilah kita mencoba menaksir arahnya politik dunia bergerak menuju kedepan.
Buat kita POLITIK itu tidak bisa dipisahkan daripada EKONOMI dan begitu juga EKONOMI tidak bisa dipisahkan daripada POLITIK. Sering kita dengar di kalangan kita sendiri, bahwa POLITIK adalah concentrasi dan pemusatan ekonomi. Dijaman Kampetai Jepang tidak akan kita pikirkan membikin BADAN EKONOMI ini ataupun itu, karena MACHTFACTOR (perkara kekuasaan) untuk memeriksa dan menghukum yang bersalah, umpamanya tukang catut tadi tidak ada pada kita.
Benar atau tidaknya sesuatu faham atau teori SOSIAL dalam satu masyarakat yang berdasarkan pertentangan Proletar borjuis bukanlah diputuskan oleh "title", sebagai pengesahan borjuis saja, tetapi terutama oleh golongan Proletariat yang menantang!

Selasa, Mei 05, 2009

" When We meet in the First Time"

When we meet in the first Time?
By Arif Saifudin Yudistira

English for me it is very important. Really English not so difficult. I want made English not separate with my life. I am sure, one upon a time, I can be a leader. A leader in every thing. I have a dream, school in Australia.
Maybe Australia has full of wonderful about the story my lecturer. Not only that, I want flying around the world with my parents. I want mom glad with me. I want my mother always smile with me.
This is my dream, but the most important, I want to be a revolutionist. I wanna be New Hugo Chavez, Mahmoed Ahmadinejad, and the New Paulo Freire, and give enlightenment to the oppressed and the poor society.
I am sure change not a dream, but really. I am sure that............


*) The writer is a student in Muhammadiyah University of Surakarta

Minggu, Mei 03, 2009

"Harus Transparan dan Rasional"

Rubrik DEBAT SUARA MERDEKA
Rasional dan Transparan
Oleh Arif Saifudin Yudistira

SUDAH menjadi rahasia umum, kuliah di perguruan tinggi saat ini sangat mahal. Banyak lulusan SLTA dari golongan ekonomi menengah ke bawah yang tidak bisa menikmati bangku kuliah. Tidak sedikit pula orang tua yang rela melakukan apapun, termasuk menjual tanah atau sawahnya, hanya karena ingin anaknya bisa menikmati belajar di perguruan tinggi.

Biaya kuliah di perguruan tinggi memang menjadi masalah klasik dan sering menjadi faktor utama yang menghambat para mahasiswa untuk belajar. Tak hanya itu, perguruan tinggi sering menaikkan SPP secara tiba-tiba, tanpa pemberitahuan, serta tanpa transparansi mengenai alokasi penggunaan dana tersebut.
Hal ini sering terjadi pada perguruan tinggi di Indonesia, terutama perguruan tinggi swasta (PTS). Sebenarnya tidak menjadi masalah ketika uang SPP dinaikkan, namun mahasiswa tahu persis ke mana uang yang dibayarkannya itu dibelanjakan. Dengan penjelasan yang rasional dan transparansi keuangan, para mahasiswa tentu bisa menerima dengan baik.
Namun yang kerap terjadi tidaklah demikian. Uang SPP dinaikkan setiap tahun, tetapi tidak ada perubahan yang signifikan mengenai fasilitas kampus maupun pelayanan terhadap mahasiswa. Kalau logika yang dipakai adalah konsumen dan produsen, mestinya pihak kampus sebagai ’’produsen’’ memberikan pelayanan sesuai dengan uang yang dibayarkan mahasiswa selaku ’’konsumen’’.
Tidak heran apabila mahasiswa kerap melakukan protes terhadap kenaikan uang SPP secara tiba-tiba. Hal itu sangat wajar, karena bisa jadi uang yang dibayarkan mahasiswa tidak dibelanjakan sebagaimana mestinya. Bahkan bisa saja terjadi korupsi, jika tidak ada pengawalan dari semua fihak utamanya mahasiswa.
Sekali lagi, kenaikan uang SPP boleh saja dilakukan pihak universitas, asalkan adapenjelasan yang rasional, serta ada transparansi mengenai penggunaan uang tersebut. Dengan adanya transparansi dan penjelasan yang rasional, mahasiswa tentu akan menerima keputusan dari pengelola kampus, kalau itu memang merupakan keputusan terbaik untuk masa depan mahasiswanya. (32)




*)Penulis adalah Mahasiswa UMS semester 6

Label: