Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Minggu, November 30, 2008

Sepercik Tentang Kejahatan Neoliberalisme

Secara bahasa arti dari neoliberalisme adalah sebuah faham yang berorientasi pada kebebasan gaya baru. Para ekonom neo-Liberal di tahun 1970-an berhasil menembus dominasi ilmu ekonomi. Di tahun 1974, Hayek dianugerahi Nobel Ekonomi. Sesudahnya Friedman mendapat Nobel Ekonomi di tahun 1976. Juga Maurice Allais, seorang anggota Mont-Pelerin Society, mendapat Nobel Ekonomi di tahun 1988. Sejak tahun 1970-an, neo-Liberal mulai berkibar. Sejak itu pulalah seluruh paradigma ekonomi secara perlahan masuk ke dalam cara berpikir neo-Liberal, termasuk ke dalam badan-badan multilateral, Bank Dunia, IMF dan GATT (kemudian menjadi WTO).
Secara prinsipil, neoliberalisme mengandung beberapa pengertian : Tiga poin dasar neo-Liberal dalam multilateral ini adalah: pasar bebas dalam barang dan jasa; perputaran modal yang bebas; dan kebebasan investasi. Ciri lain dari neoliberalisme antara lain: Kekayaan terpusat pada sekelompok, orang maupun sindikat bisnis raksasa, Mati dan lumpuhnya fungsi negara dalam layanan public, privatisasi atas semua sektor layanan publik (pendidikan dan kesehatan) Semua kekuatan kritis menghamba pada rezim pasar (media, intelektual dan gerakan sosial)
Hal ini seperti yang berawal di inggris seorang thatcher juga menggunakan privatisasi untuk memperlemah kekuatan Serikat Buruh. Dengan privatisasi atas sektor publik, maka Thatcher sekaligus memperlemah Serikat-Serikat Buruh di BUMN yang merupakan terkuat di Inggeris. Dari tahun 1979 sampai 1994, maka jumlah pekerja dikurangi dari 7 juta orang menjadi 5 juta orang (pengurangan sebesar 29%).
Kaum mafia Berkeley UI yang dulu neo-klasik, kini juga berpindah paham menjadi neo-liberal. Sekarang ini praktis kredo neo-liberal telah dipeluk oleh para menteri ekonomi saat ini. Menko perekonomian Aburizal Bakri, selain pengusaha besar juga punya Freedom Institute, lembaga pengibar paham neo-liberalisme. Menteri-menterinya juga satu paham dengan IMF, Bank Dunia dan ADB.
Praktek di Indonesia
Melihat Konteks indonesia, indonesia sudah ”menghamba ” pada neoliberalisme ini. Kita bisa melihat ini dari salah satu ciri dari neoliberalisme yaitu perputaran modal yang bebas, kita bisa melihat ini pada konsep MLM ( multi level marketing) tidak banyak orang Islam yang kemudian terjebak pada sistem ini karena dengan harapan akan membawa perubahan pada ekonomi pada dirinya.,padahal Nabi mengajarkan bahwa untuk menguasai perekonomian dengan berdagang bukan dengan mengakumulasi modal.
Kedua, Mati dan lumpuhnya fungsi negara dalam layanan public, privatisasi atas semua sektor layanan publik (pendidikan dan kesehatan). Hampir semua yang ada dalam kebutuhan sehari-hari kita dikuasai oleh neo-liberalisme ini, karena hanya konglomerat asinglah yang berhak menentukan kebijakan harga. Misal : harga fanta naik Rp.500 maka kita hanya bisa mengikuti saja.



Ketiga, selain dengan privatisasi,permainan modal, mereka juga mengubah mainstream orang indonesia. Semisal, cantik itu harus putih, kemudian Air harus beli, tanah boleh dijual/ diprivatkan, dan lain-lain. Lembaga yang begitu menonjol gencar memasukkan ideologi neo-liberalisme misalnya pada freedom institute milik abu rizal bakrie, dan Andi mallarangeng. Strategi neoliberalisme antara lain dengan :
1. Ber-iklan sebesar-besarnya (omset telkomsel:RP 14,593 triliun/september 2005 dengan belanja iklan Rp 272 milliar (2005)/ PT Unilever omset Rp 3,9 triliun/belanja iklan Rp 256 milliar
2. Melakukan penarikan konsumsi sebesar-besarnya melalui proyek hypermarket (Carrefour bisa meraih omset Rp 1 milliar/hari terutama pada akhir pekan dan hari libur)
3. Mengembangkan layanan sosial untuk masyarakat (total kekayaan 600 ribu oranf kaya di Indonesia: Rp 600 triliun diperkirakan Rp 3-6 triliun (5-10%)
4. Melakukan diskriminasi pelayanan terhadap semua sektor publik (pendidikan dan kesehatan)
Itulah yang dilakukan neo liberalisme pada negara ini, hal tersebut juga ada di lingkungan kota Solo. Misalnya adanya pembangunan center point, paragon, dan mall-mall di Solo. Yang merupakan ciri mendasar yangbisa kita lihat adalah berubahnya keinginan-keinginan manusia menjadi kebutuhan manusia.
1. Terakhir, ada beberapa strategi untuk melawan neoliberalisme tersebut antara lain : Melakukan pendidikan kritis dan kampanye tentang ekonomi pasar dan peta kekuatan modal
2. Mendorong lahirnya organ sosial yang memiliki basis sosial yang prural dan tuntutan politik yang hetrogen
3. Melakukan aksi pada isu-isu spesifik tentang penolakan proyek mercu suar (Pusat Perbelanjaan maupun Pendidikan mahal)
4.Melakukan tuntutan akan kembalinya fungsi negara sebagai penyedia layanan publik yang murah sekaligus bermutu.
Sebagai penutup, yakinlah bahwa kita perlu bersama-sama melawan neoliberalisme ini, musuh kita satu, yaitu neoliberalisme ini.

Label:

Selasa, November 25, 2008

Tafsir kawah institute

Tafsir Identitas Mahasiswa Sebagai Generasi Revolusioner
By Kawah Media

Sebuah tantangan sekaligus hambatan mahasiswa hidup dijaman yang serba hedonis dan dihadapkan berbagai pilihan yang memberatkan. Jaman yang dihadapi saat ini memang serba dilematis.
Dilihat dari segi tantangan, kita tak seberat jaman dahulu. Di jaman dulu, kita berhadapan secara fisik maupun fikiran kepada para musuh-musuh kita. Namun, saat ini rasanya benar seperti pesan yang disampaikan oleh Sukarno : “Perjuanganku akan lebih mudah karena melawan penjajah, sedangkan perjuanganmu akan lebih berat, karena perjuanganmu melawan bangsamu sendiri”
Sebuah kata Revolusi yang dibangun dan diteriakkan pada masa Sukarno, memang bukan sekedar cita-cita yang semudah kata-kata. Membangun generasi revolusioner memang penuh tantangan dan butuh waktu yang tidak sedikit.
Butuh proses yang panjang untuk mencapai kata tersebut. Baik dari gerakan penyadaran, ideologisasi, serta kesadaran untuk selalu menciptakan perubahan. Perubahan yang akan dicapai adalah perubahan yang mendasar, radikal, dan kearah perubahan yang lebih baik.
Tantangan yang dihadapi saat inipun begitu kompleks. Mulai dari benturan budaya, benturan ideology, serta benturan modernisasi begitu menghancurkan generasi muda saat ini.
Sehingga apa yang dikatakan oleh Buya sebagai insan bermoral saat ini sulit ditemukan,atau inteleqtual humanis, atau kearifan local lama kelamaan mulai menghilang.
Oleh karena itu,hadirnya Kawah Institute mempunyai andil yang cukup mampu memainkan perannya mengingat selama ini gerakan yang ada belum ada yang membangkitkan kembali sebuah kata yang telah lama bersembunyi dan jarang kita pekikkan yaitu “REVOLUSI”.SALAM REVOLUSI.


Kontak kami di :
arif_love_cinta@yahoo.co.id (Friendster)atau 085642388268

Label:

Jumat, November 07, 2008

" Utopia pendidikan Kita "


“Utopia Pendidikan Kita”
Oleh Arif Saifudin Yudistira*
Bicara mengenai pendidikan kita seperti tidak pernah berhenti membicarakan permasalahan. Karena, tiap kali kita membahas unsur-unsur maupun komponen-komponennya tentu kita akan menemukan setiap permasalahan di dalamnya.
Sulit sekali mewujudkan pendidikan yang sebenarnya di era saat ini. Karena setiap kali mendengar kata pendidikan, kita dipaksakan dengan menyebutkan nama-nama seperti sekolah, gedung,SPP,dan lain-lain.
Pendidikan saat ini layaknya pasar yang terus berkembang dan rumit dengan berbagai perangkatnya. Pendidikan yang seperti ini akibat pendidikan kita telah direduksi dari arti yang sebenarnya.
“ Tugas pendidikan adalah menggantikan pikiran yang kosong dengan pikiran yang terbuka”(Malcolm Fobes). Saat ini pendidikan kita bukan menjadi pendidikan yang membebaskan, akan tetapi menjadi sebuah penjara yang membelenggu.
Lihat saja,murid-murid kita dari SD hingga perguruan tinggi, mereka akan sangat senang ketika libur tiba atau pelajaran kosong. Aneh, inilah yang terjadi dalam pendidikan kita selama ini. Bukan senang dengan pelajaran yang ada disekolahan mereka.
Tetapi mereka lebih senang belajar melalui alam, belajar akhlak, belajar gotong royong,dan belajar semuanya. Namun semua itu berubah ketika mereka berada dalam kelas, seperti PR, tugas, takut dimarahi guru, takut dikasih skor yang jelek dan lain-lain.
Pendidikan kita belum mampu menjawab segala persoalan bangsa yang ada selama ini. Karena memang tidak diarahkan ke arah sana. Dan memang pemerintahan kita belum mampu mewujudkan pendidikan yang mampu menghadapi masalah seperti yang dikatakan oleh Paulo Freire.
Ini terjadi karena pendidikan kita hanya layaknya sistematika pasar seperti gaya “banking consept of education”(gramcian)dimana pelajar diberi pengetahuan yang kelak dapat menghasilkan hasil yang berlipat ganda.
Kalau tidak percaya silahkan lihat fenomena universitas-universitas yang dengan segera membuka jurusan-jurusan baru untuk memenuhi kepentingan pasar. Misalnya saja, maraknya jurusan PGSD, PAUD, dan lain-lain yang tiap tahun berubah sesuai dengan kepentingan pasar yang ada.
Anggaran pendidikan kita yang rencananya 2009 diterapkan 20% tidak berdampak perubahan pada guru-guru tidak tetap dan honorer. Masih banyak guru-guru honorer dan tidak tetap yang telah banyak berjuang dan masih kurang beruntung.
Yang terjadi saat ini juga berdampak bagi calon-calon guru kita, saat ini calon-calon guru kita jarang yang mau ditempatkan di pelosok-pelosok. Mereka ingin cepat lulus, cepat mengajar , namun ingin juga dapat gaji besar.
Orientasi mereka sudah berubah, tujuan mereka bukan lagi mencerdaskan kehidupan bangsa, tatapi sudah berorientasi ke materi atau uang dan kesejahteraan pribadi mereka saja.
Hal ini tentu akan membahayakan bagi masa depan pendidikan kita kedepan. Bagaimana bangsa kita bisa maju, bila guru-guru kita bermental lemah, lemah semuanya.
Kita saat ini makin terjebak dalam penjara pendidikan kita. Karena, pendidikan kita bisa menyamakan isi otak kita. Gaya-gaya orde baru masih ada di sekolah dan pendidikan kita. Hukuman yang tidak mendidik, bahkan kekerasan masih ada sampai sekarang.
Pemikiran kita sama, karena gambaran yang ada dalam perkuliahan di perguruan tinggi baik dari dosen maupun mahasiswanya hanya pandangan sempit. Seperti cepat lulus, dapat skor tinggi, dan dapat pekerjaan dengan bayaran tinggi. Inilah gaya pendidikan kita, logika pendidikan kita sudah berubah dari logika pendidikan menjadi logika untung rugi, maupun logika investasi.
Pendidikan kita tidak pernah mengajarkan bagaimana nilai-nilai kemandirian, bagaimana kita survival hidup di zaman global saat ini, begitulah Sri Sultan Hamengku Buwono mengkritik pendidikan kita. Hal tersebut memang benar adanya,karena pendidikan kita sudah di bawah kendala para pemodal saja.
Lebih parah lagi, nilai-nilai kearifan local sudah terasa hilang dalam pendidikan kita. Buktinya para pejabat yang memiliki pendidikan tinggi masih tega membabat hutan, masih tega korupsi, masih tega melihat rakyat kita sesamanya sakit, teraniaya, dan termarginalkan di negeri yang katanya subur makmur.
Tidak heran kemudian sumber daya kita kebanyakan dikuasai asing, karena pendidikan kita bukan diarahkan pula untuk mengelola alam dan kekayaan kita sendiri, tetapi memenuhi kebutuhan untuk dipekerjakan saja. Sedang yang menjadi top manajemen, top leader adalah bukan orang kita melainkan orang asing.
Berbeda dengan orang tua kita dulu, orang tua kita dulu tidak berpendidikan dalam arti bersekolah. Akan tetapi, mereka belajar semua hal tentang kehidupan, sehingga mereka bisa menjadi orang besar dan tetap tidak meninggalkan nilai-nilai dan kearifan lokalnya.
Maka tidak heran cita-cita “mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum……”hanya menjadi utopia belaka. Entah sampai kapan, kita tidak bisa menjawabnya. Karena system ini sudah terlalu akut, dan terlalu rumit. Hanya dengan perubahan secara radikal, sistematis, secara bersama-sama untuk perubahan dan cita-cita pendidikan kita.
Terakhir kali mungkin kita bisa merenungkan pesan Ki Hajar DEwantara: " Seorang pemuda yang jualan es cendol, lebih bermartabat daripada seseorang yang menenteng ijazah kemana-mana tanpa dia mau mencoba berkarya sendiri"
Penulis adalah Calon Pendidik, belajar di Universitas Muhammadiyah Surakarta

Label:

Selasa, November 04, 2008

" Membangun Budaya Kota Solo"

Tantangan menjadikan Solo kota budaya

Jargon Solo sebagai Kota Budaya memang sudah tidak asing lagi di masyarakat Solo dan sekitarnya. Namun sayang sekali kesadaran masyarakat Solo belum terbangun sepenuhnya.
Kita bisa melihat hal ini pada hari-hari biasa.


Kalau berkunjung ke Keraton Solo, Pura Mangkunegaran dan Museum Radya Pustaka, kita akan menyaksikan sepinya pengunjung. Mungkin kita akan lebih banyak menemukan orang-orang mancanegara. Pertunjukan tari, karawitan, gamelan juga sama sepi pengunjung pada hari-hari biasa.
Sebenarnya Pemkot Solo sudah berusaha secara maksimal untuk membangkitkan kesadaran masyarakatnya untuk menjaga dan melestarikan peninggalan-peninggalan budaya di Kota Solo.
Hanya memang kesadaran berbudaya harus disertai perangkat-perangkat yang mendukungnya. Menciptakan kesadaran berbudaya memang bukanlah suatu hal yang mudah. Namun hal itu bukanlah suatu hal yang mustahil jika dikerjakan secara bersama-sama.
Pencurian arca di Museum Radya Pustaka hendaknya dijadikan pelajaran bagi masyarakat Solo akan pentingnya menjaga kelestarian budayanya. Kemudian, Solo begitu kaya akan bangunan-bangunan yang bernilai tinggi, maka tak heran di tengah dampak globalisasi dan era modern ini Solo masih tetap dikenal sebagai kota yang menjaga eksistensi budayanya.
Komitmen Walikota Joko Widodo dan Wakil Walikota Hadi Rudyatmo harus didukung. Misalnya ini terlihat dari berbagai kebijakannya yang berkomitmen untuk menyelamatkan berbagai warisan budaya. Dibuktikan dengan merevitalisasi kawasan Balekambang, Taman Sriwedari (Bonraja), Taman Monumen ‘45 Banjarsari (Villapark), kawasan batik Laweyan dan Ngarsopura Mangkunegaran.
Langkah pemerintah yang lain adalah beberapa hari lalu Solo menjadi tuan rumah WHCC dan SIEM 2008. Ini merupakan sarana strategis dalam menyosialisasikan dan menunjukkan kepada dunia, bahwa Solo berkomitmen untuk jadi Kota Budaya.
Langkah-langkah pemerintah tersebut perlu didukung sepenuhnya dengan cara berpartisipasi aktif dalam menjaga dan melestarikan budaya Solo. Pasalnya, pemahaman masyarakat begitu minim tentang peninggalan-peninggalan maupun budaya yang ada di Solo. Jangan sampai masyarakat turis mancanegara justru lebih paham tentang budaya di Solo daripada kita sebagai masyarakat Solo.
Solo begitu kaya dengan budayanya seperti Sekaten, kirab 1 Sura, karawitan, tari, batik dan lain-lain. Juga tempat-tempat peninggalan bangunan bersejarah seperti Museum Radya Pustaka, Pasar Gede Hardjanagara (1930), Pasar Kadipolo, Stasiun KA (Purwosari, Balapan dan Jebres), Dalem Poerwadiningratan, Gedung Pamardhi Poetri, Gedung Bank Indonesia (Javasche Bank), Loji Gandrung, Gedung Pertani, Gedung Veteran (Gedung Lowo), Gereja Katolik St Antonius dan Bruderan (FIC) Purbayan, Vihara Avalokiteshwara, gedung Brigade Infantrie, bekas gedung Kodim, gedung Woeryadiningratan dan lain-lain.

Tantangan modernitas
Selain itu, dalam melestarikan dan mengembangkan budaya Solo tentunya banyak tantangan yang dihadapi. Di antaranya, pertama, benturan globalisasi dan modernitas. Hal ini merupakan tantangan yang sulit diatasi. Misalnya masyarakat kita saat ini lebih memilih bermalam mingguan di mal-mal dan tempat-tempat hiburan daripada menonton wayang di Sriwedari.
Hal inilah yang perlu kita sadarkan bersama, bahwa menjaga eksistensi budaya merupakan tanggung jawab kita bersama. Memang globalisasi menghadapkan kita dengan pilihan-pilihan yang memberatkan.
Kita juga melihat keadaan pemuda saat ini, mereka lebih hafal tempat belanja paling menarik di Solo daripada mengenal tempat budaya di Solo. Hal ini merupakan tantangan kita bersama dalam membangun masyarakat Solo yang berbudaya.
Kedua, kurangnya kesadaran dari masyarakat akan pentingnya budaya. Hal ini terbukti pada hari-hari biasa. Pertunjukkan budaya hanya ramai di saat momen-momen tertentu.
Ketiga, minimnya regenerasi pelaku budaya atau orang yang melestarikan budaya. Misalnya saja ini terjadi pada minimnya minat generasi muda menjadi pemain gamelan, penari, dan lain-lain. Hal ini berbahaya bagi pelestarian budaya Solo ke depan.
Ketiga tantangan tersebut perlu kita hadapi bersama dengan membangun kesadaran akan pentingnya pelestarian budaya serta dengan memanfaatkan stakeholders. Misalnya dengan meningkatkan pelayanan akomodasi, transportasi dan lain-lain. Juga kerja sama yang strategis untuk mengoptimalkan wisata budaya agar budaya Solo tetap terjaga dan mewujudkan Solo sebagai Kota Budaya tak hanya sekadar impian. - Oleh : Arif Saifudin Y Mahasiswa FKIP Bahasa Inggris UMS

Label: