Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Selasa, November 29, 2011

Memaknai Kembali Etos Haji Dan Qorban


“Raut wajah dan bentuk yang berbeda-beda, pakaian yang serba khas, adat-istiadat yang beragam,bahasa yang tidak sama dan warna kulit yang berbeda-beda namun persatuan ukhuwah yang satu dan tujuan yang satu pula yakni menunaikan haji”

(Azkarmin zalni,1975 dalam bukunya Pengalaman haji di tanah suci)

Baru saja kita menyelesaikan dan merayakan hari raya idul qur’ban. Hari raya qur’ban tidak terlepas dari serangkaian ritus haji. Ibadah qurban adalah ibadah yang dimaknai sebagai salah satu bentuk pengabdian total atau totalitas ibadah manusia terhadap Tuhannya. Karena berdasarkan sirah Ibrahim, Ibrahim melakukan ini sebagai wujud totalitas kecintaanNya kepada Tuhannya sehingga ia mau melakoni perintah Alloh untuk menyembelih anaknya. Di jalan, Ibrahim digoda oleh iblis yang kemudian dilempar oleh Ibrahim sehingga jadilah tiga jumrah yakni jumrah ula’, wustha’, dan aqabah. Di tempat itulah kini dibangun tugu yang digunakan untuk meniru Ibrahim sebagai simbol melempar syetan dan sebagai bagian dari ritual ibadah haji.

Dalam ibadah haji, sebagaimana yang diungkapkan Azkarmin dalam bukunya (pengalaman ibadah haji di tanah suci, 1975), bahwa ibadah haji adalah bentuk penyatuan umat sedunia. Prinsip utilitas dan universalisme ada di sana, islam itu universal, meluluhkan batas-batas duniawi dan material, untuk kembali pada satu hakikat yakni Tuhan. Di sanalah kemudian manusia setelah melakukan ibadah haji diharapkan memancarkan sifat-sifat Ketuhanan dengan berbagai cara setelah melakukan ibadah haji. Maka harapan menjadi haji mabrur dimaknai sebagai haji yang bisa menanamkan kebaikan dan menaburnya di berbagai tempat dan kapanpun ia berada (Cak Nur, perjalanan haji dan umrah, 97).

Penyatuan dan hakikat kesatuan ini pun pernah dialami oleh Sidharta ketika ia bercermin di Sungai Gangga, ia menemukan hakikat dirinya, ia melihat manusia berjalan berbondong-bondong, dan berjalan bergemuruh di sungai tersebut, dan di sana ia menemukan kekosongan, kekosongan adalah isi, isi adalah kosong. Berbeda dengan Sidharta, dalam ibadah haji, di waktu berjuta-juta manusia berkumpul di Mekah, ketika mereka sedang melakukan Thowaf di ka’bah mereka merasakan berbondong-bondong manusia menyerukan hakikat kebesaran, melebur dalam satu tekad, dan satu tujuan yakni Tuhannya. Di sana berlantun do’a dan harapan agar manusia memancarkan kebaikan ketika nanti berpulang di kampung halamannya.

Disinilah hakikat haji itu terletak, bahwa insan haji adalah insan prophetic. Ketika mereka menemukan siapa dirinya, di ka’bah dan menjalankan haji dengan segenap rukun-rukunnya dengan baik, maka ia menyadari segala yang diperintahkan dan dilarang, ia melakoni doa sepanjang perjalanan haji, dan menapak tilas apa yang dilakoni Ibrahim menyerahkan harta dan segala yang dicintainya untuk Tuhannya melalui ritus qur’ban. Maka ia telah kembali seperti bayi lahir. Ia tidak cukup berhenti di sana, tapi ia mengemban tugas dan misi profetik yakni menabur kebaikan dan menyingkirkan kemungkaran dimanapun ia berada. Maka manusia haji yang tak mampu melakoni dan mengilhami ini, biasanya ia akan biasa-biasa saja setelah ia pulang dari haji. Tapi sebaliknya, manusia haji yang mengilhami dan merasai hakikat haji sebagai pengemban misi profetik, maka ia akan menebar kebaikan dan memberi pencerahan bagi manusia di sekitarnya utamanya masyarakatnya.

Manusia haji kita

Haji di negeri ini serasa belum menemui haji mabrur. Ketika kita melihat berbagai kemungkaran dan kedzaliman saat ini tidak hanya terjadi pada penguasa dan juga elit politik kita, tapi mulai merambah pada desa-desa kita. Sementara manusia haji di negeri ini lebih mengejar titel atau gelar “haji” dari orang-orang. Haji adalah status, bukan lagi misi profetik. Maka tak jarang mereka haji hingga berpuluh-puluh kali tapi tak menemui esensi dari haji itu sendiri. Mereka melakoni do’a dan haji baru pada tahapan fisik, tapi belum merasai sentuhan dan hakikat haji itu sendiri.

Lihatlah betapa politisi kita dan koruptor kita adalah manusia penyandang haji, atau ulama’ulama’ kita adalah manusia haji, begitupun presiden dan elit birokrasi kita, tapi mereka belum mampu melempar jumroh-jumroh yang ada di negerinya. Yakni korupsi, kolusi, nepotisme, hingga penyakit moral masyarakat lainnya. Alhasil manusia haji kita berubah menjadi manusia hajirut yakni haji yang justru jadi bahan tertawaan kita sendiri.

Film emak ingin naik haji mestinya jadi pelajaran buat manusia indonesia yang belum dan akan melakoni haji. Haji itu spirit, haji itu hakikat, haji itu pengorbanan dan keikhlasan bukan hanya ucapan mulut, bukan hanya pamer gelar dan status, bukan hanya tempelan di depan nama kita. Melainkan haji itu misi, haji itu adalah tantangan, dan juga tugas suci.

Haji dan Qurban

Sebagaimana haji, qur’ban tak jauh beda, qur’ban sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Kautsar ayat 1-3. Menerangkan Qur’ban adalah perintah yang dilakukan sebagai pengabdian, karena Tuhan telah memberikan nikmat yang banyak kepada kita. Sebelum qur’ban dimulai dengan mendirikan sholat karena Tuhan. Dan orang yang berqurban sebelum berqurban dituntunkan untuk menyempurnakan shalat mereka karena Alloh.

Kebanyakan kita, tidak menyadari qur’ban berangkat dengan sikap taat kita sebagai sebagai hamba di hadapan Robb-nya. Ibadah qur’ban adalah puncak, sebagaimana yang dituntunkan oleh Ibrahim. Ibrahim sudah melakukan ibadah-ibadah lainnya sehingga ia melakoni perintah yang menurut Tuhan adalah ujian puncak ketaatan hamba pada Tuhannya. Yakni mengurbankan anaknya sebagai sembelihan.

Maka etos qurban mengajarkan pada kita “bahwa penyatuan pada Illah, serta hakikat pengabdian tertinggi yang membawa misi suci ketika hamba sudah menyatu pada Tuhannya, maka mustahil jika ia akan berdiam melihat kemungkaran dan kedzaliman di negeri ini”. Ibadah haji dan qur’ban adalah serangkaian, maka haji mabrur dan orang yang berqur’ban mestinya memaknai bahwa dirinya adalah para insan profetik yang mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar. Bukankah masih banyak kemungkaran di negeri ini?.

Maka memaknai Haji dan Qurban tidak lain adalah memahami bahwa kita adalah manusia pelopor dalam memimpin perang melawan kedzoliman dan pemimpin dalam menegakkan misi profetik Tuhan.


*) Tulisan dimuat di gema-nurani.com 29 november 2011

Memaknai Kembali Etos Haji Dan Qorban


“Raut wajah dan bentuk yang berbeda-beda, pakaian yang serba khas, adat-istiadat yang beragam,bahasa yang tidak sama dan warna kulit yang berbeda-beda namun persatuan ukhuwah yang satu dan tujuan yang satu pula yakni menunaikan haji”

(Azkarmin zalni,1975 dalam bukunya Pengalaman haji di tanah suci)

Baru saja kita menyelesaikan dan merayakan hari raya idul qur’ban. Hari raya qur’ban tidak terlepas dari serangkaian ritus haji. Ibadah qurban adalah ibadah yang dimaknai sebagai salah satu bentuk pengabdian total atau totalitas ibadah manusia terhadap Tuhannya. Karena berdasarkan sirah Ibrahim, Ibrahim melakukan ini sebagai wujud totalitas kecintaanNya kepada Tuhannya sehingga ia mau melakoni perintah Alloh untuk menyembelih anaknya. Di jalan, Ibrahim digoda oleh iblis yang kemudian dilempar oleh Ibrahim sehingga jadilah tiga jumrah yakni jumrah ula’, wustha’, dan aqabah. Di tempat itulah kini dibangun tugu yang digunakan untuk meniru Ibrahim sebagai simbol melempar syetan dan sebagai bagian dari ritual ibadah haji.

Dalam ibadah haji, sebagaimana yang diungkapkan Azkarmin dalam bukunya (pengalaman ibadah haji di tanah suci, 1975), bahwa ibadah haji adalah bentuk penyatuan umat sedunia. Prinsip utilitas dan universalisme ada di sana, islam itu universal, meluluhkan batas-batas duniawi dan material, untuk kembali pada satu hakikat yakni Tuhan. Di sanalah kemudian manusia setelah melakukan ibadah haji diharapkan memancarkan sifat-sifat Ketuhanan dengan berbagai cara setelah melakukan ibadah haji. Maka harapan menjadi haji mabrur dimaknai sebagai haji yang bisa menanamkan kebaikan dan menaburnya di berbagai tempat dan kapanpun ia berada (Cak Nur, perjalanan haji dan umrah, 97).

Penyatuan dan hakikat kesatuan ini pun pernah dialami oleh Sidharta ketika ia bercermin di Sungai Gangga, ia menemukan hakikat dirinya, ia melihat manusia berjalan berbondong-bondong, dan berjalan bergemuruh di sungai tersebut, dan di sana ia menemukan kekosongan, kekosongan adalah isi, isi adalah kosong. Berbeda dengan Sidharta, dalam ibadah haji, di waktu berjuta-juta manusia berkumpul di Mekah, ketika mereka sedang melakukan Thowaf di ka’bah mereka merasakan berbondong-bondong manusia menyerukan hakikat kebesaran, melebur dalam satu tekad, dan satu tujuan yakni Tuhannya. Di sana berlantun do’a dan harapan agar manusia memancarkan kebaikan ketika nanti berpulang di kampung halamannya.

Disinilah hakikat haji itu terletak, bahwa insan haji adalah insan prophetic. Ketika mereka menemukan siapa dirinya, di ka’bah dan menjalankan haji dengan segenap rukun-rukunnya dengan baik, maka ia menyadari segala yang diperintahkan dan dilarang, ia melakoni doa sepanjang perjalanan haji, dan menapak tilas apa yang dilakoni Ibrahim menyerahkan harta dan segala yang dicintainya untuk Tuhannya melalui ritus qur’ban. Maka ia telah kembali seperti bayi lahir. Ia tidak cukup berhenti di sana, tapi ia mengemban tugas dan misi profetik yakni menabur kebaikan dan menyingkirkan kemungkaran dimanapun ia berada. Maka manusia haji yang tak mampu melakoni dan mengilhami ini, biasanya ia akan biasa-biasa saja setelah ia pulang dari haji. Tapi sebaliknya, manusia haji yang mengilhami dan merasai hakikat haji sebagai pengemban misi profetik, maka ia akan menebar kebaikan dan memberi pencerahan bagi manusia di sekitarnya utamanya masyarakatnya.

Manusia haji kita

Haji di negeri ini serasa belum menemui haji mabrur. Ketika kita melihat berbagai kemungkaran dan kedzaliman saat ini tidak hanya terjadi pada penguasa dan juga elit politik kita, tapi mulai merambah pada desa-desa kita. Sementara manusia haji di negeri ini lebih mengejar titel atau gelar “haji” dari orang-orang. Haji adalah status, bukan lagi misi profetik. Maka tak jarang mereka haji hingga berpuluh-puluh kali tapi tak menemui esensi dari haji itu sendiri. Mereka melakoni do’a dan haji baru pada tahapan fisik, tapi belum merasai sentuhan dan hakikat haji itu sendiri.

Lihatlah betapa politisi kita dan koruptor kita adalah manusia penyandang haji, atau ulama’ulama’ kita adalah manusia haji, begitupun presiden dan elit birokrasi kita, tapi mereka belum mampu melempar jumroh-jumroh yang ada di negerinya. Yakni korupsi, kolusi, nepotisme, hingga penyakit moral masyarakat lainnya. Alhasil manusia haji kita berubah menjadi manusia hajirut yakni haji yang justru jadi bahan tertawaan kita sendiri.

Film emak ingin naik haji mestinya jadi pelajaran buat manusia indonesia yang belum dan akan melakoni haji. Haji itu spirit, haji itu hakikat, haji itu pengorbanan dan keikhlasan bukan hanya ucapan mulut, bukan hanya pamer gelar dan status, bukan hanya tempelan di depan nama kita. Melainkan haji itu misi, haji itu adalah tantangan, dan juga tugas suci.

Haji dan Qurban

Sebagaimana haji, qur’ban tak jauh beda, qur’ban sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Kautsar ayat 1-3. Menerangkan Qur’ban adalah perintah yang dilakukan sebagai pengabdian, karena Tuhan telah memberikan nikmat yang banyak kepada kita. Sebelum qur’ban dimulai dengan mendirikan sholat karena Tuhan. Dan orang yang berqurban sebelum berqurban dituntunkan untuk menyempurnakan shalat mereka karena Alloh.

Kebanyakan kita, tidak menyadari qur’ban berangkat dengan sikap taat kita sebagai sebagai hamba di hadapan Robb-nya. Ibadah qur’ban adalah puncak, sebagaimana yang dituntunkan oleh Ibrahim. Ibrahim sudah melakukan ibadah-ibadah lainnya sehingga ia melakoni perintah yang menurut Tuhan adalah ujian puncak ketaatan hamba pada Tuhannya. Yakni mengurbankan anaknya sebagai sembelihan.

Maka etos qurban mengajarkan pada kita “bahwa penyatuan pada Illah, serta hakikat pengabdian tertinggi yang membawa misi suci ketika hamba sudah menyatu pada Tuhannya, maka mustahil jika ia akan berdiam melihat kemungkaran dan kedzaliman di negeri ini”. Ibadah haji dan qur’ban adalah serangkaian, maka haji mabrur dan orang yang berqur’ban mestinya memaknai bahwa dirinya adalah para insan profetik yang mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar. Bukankah masih banyak kemungkaran di negeri ini?.

Maka memaknai Haji dan Qurban tidak lain adalah memahami bahwa kita adalah manusia pelopor dalam memimpin perang melawan kedzoliman dan pemimpin dalam menegakkan misi profetik Tuhan.


*) Tulisan dimuat di gema-nurani.com 29 november 2011

Perempuan sebagai Terdakwa



“Saya sayang kepada perempuan, saya menaruh perhatian besar kepada nasibnya, karena dia tidak dihargai, dan ditindas seperti yang masih terdapat dalam banyak negeri di dalam abad terang ini”(Surat Kartini kepada NY abendanon-mandri dan suaminya)

Kekerasan terhadap perempuan kembali berulang di negeri ini. Setelah ada perempuan melaporkan pelecehan seksual yang terjadi di antrian busway, kini muncul kasus pemerkosaan di angkutan umum di Jakarta lagi. Kasus ini membuktikan kembali bahwasannya perempuan menjadi sosok yang ditindas oleh sistem kapitalisme, modernisme dan juga kebijakan publik. Sistem alat transportasi modern dengan berbagai keunggulannya ternyata membawa dampak pada sistem hubungan masyarakat yang membawa konsekuensi pada kebijakan yang menyudutkan kembali perempuan.

Perempuan setelah abad 19 pasca revolusi industri, membawa mereka bermigrasi ke ruang publik dengan menunjukkan eksistensinya memasuki dunia kerja, ternyata harus dibayar mahal dengan berbagai resiko dan perjuangan yang cukup panjang. Bahkan hingga kini, perempuan adalah objek yang sangat massif bagi dunia industri. Hadirnya industri menghidupi perempuan namun tanpa sadar menjadikan ia mangsa yang empuk bagi penjajahan cultural dan ideologis. Betapa kita dilihatkan fenomena di kota-kota besar, perempuan dengan profesi sebagai sekretaris, buruh pabrik, dan juga artis mereka mau tidak mau dihadapkan pilihan yang sulit antara materi dengan persoalan tubuhnya. Sehingga dari cara bergaya, cara berpakaian dan aturan dunia industri menuntut mereka tampil erotis.

Fenomena pemerkosaan di angkutan umum yang mengundang Gubernur DKI berkomentar bahwa perempuanlah yang salah karena memakai rok mini perlu kita tinjau ulang dan koreksi bersama. Persoalan tubuh perempuan tentu tidak bisa kita lepaskan dari dunia industri, kapitalisme, dan juga budaya masyarakat kita. Di China beberapa bulan lalu ada seorang berganti pakaian di kereta api toh tidak menimbulkan sesuatu apa. Di barat, berpakaian seksi bahkan adalah kebiasaan mereka, tapi tidak menimbulkan persoalan yang merisaukan seperti di negeri kita. Ada apa dengan budaya masyarakat kita? Lebih lanjut ada apa dengan kebijakan pemerintah kita sehingga hal tersebut bisa terjadi?.

Patologi Cinta

Secara teoritik, Freud menjelaskan ini dengan gamblang dalam bukunya Cilization and Its discontent. Disana ia menjelaskan ; “cinta dengan sasaran yang terlarang sungguh-sungguh penuh dengan cinta yang bersifat indrawi menurut asalnya, cinta ini begitu tenang dalam alam pikiran tak sadar manusia” maka cinta yang seperti ini adalah patologi, yakni sebagai sesuatu kemunduran pada keadaan “narsisme tak terbatas”.

Lebih lanjut Freud menjelaskan yang dituliskan kembali Erich Fromm dalam “The art of love “ : “Bahwa manusia didorong oleh suatu keinginan yang tak terbatas untuk penguasaan seksual terhadap semua wanita, dan bahwa hanya tekanan masyarakatlah yang mencegah manusia dari tindakan menuruti nafsunya”. Bagi Freud, tindakan pelecehan seksual, tindakan yang berorientasi pada nafsu hanya dapat diselesaikan oleh tekanan dari masyarakat dan pencegahan dari masyarakat kita. Ketika masyarakat menganggap ini sebagai sesuatu yang didiamkan, maka hasrat dan naluriah manusia tersebut justru semakin menjadi. Jikalau kita lihat di negeri ini, maka pernyataan Gubernur Jakarta, Fauzi Bowo yang menyatakan bahwa salah perempuan yang memakai rok mini, maka ini menunjukkan bahwa gejala patologi cinta dianggap sebagai sesuatu yang mendakwa perempuan sebagai sosok yang menjadi kambing hitam. Sebab pakaian dipandang sebagai suatu penyebab timbulnya kekerasan terhadap perempuan tanpa melihat faktor yang menjadi penyebab utamanya.

Belum efektif

Fenomena ini mengingatkan kembali kepada aktivis gerakan perempuan dan juga pemerintah, dan kita semua, bahwasannya gerakan pembebasan perempuan ternyata belum efektif di negeri ini. Diskriminasi gender, ketidakadilan terhadap perempuan masih saja terjadi di negeri ini. Meskipun UU pornografi dan porno aksi sudah ditetapkan, pemerintah belum mampu memblokir semua situs porno di negeri ini. Selain itu, secara filosofis pornografi dipandang dari fisik semata, misalnya segi pakaian, sedangkan yang lebih fundamental adalah pembenahan masyarakat kita tentang budaya menghargai perempuan sebagai sosok yang sama dan setara sehingga keadilan gender bisa terwujud. Selain itu, pemerintah masih saja belum mampu menyeleksi tayangan-tayangan yang berbau erotis yang tiap hari hadir di layar kaca kita baik di dunia entertainment, advertising, dan dunia film kita yang mengumbar erotisme.

Kebersamaan

Ketika melihat fenomena di atas, Dr. Mansour Fakih menyarankan dalam bukunya Analisis Gender dan Transformasi Sosial mengatakan ; “Segala bentuk yang merendahkan kaum perempuan bukan semata-mata salah kaum perempuan maka usaha menghentikannya secara bersama perlu digalakkan”. Fakih menyarankan gerakan ini bisa dilakukan dengan mencatat kejadian di catatan harian, catatan harian ini akan berguna ketika diproses secara hukum. Menyuarakan uneg-uneg di kolom-kolom surat kabar, surat pembaca misalnya secara serentak, berdemonstrasi secara bersama-sama, atau menyuarakan opininya melalui media massa.

Gerakan ini akan lebih efektif untuk mengurangi dan mencegah kekerasan terhadap perempuan sebagaimana yang sudah dipraktikkan di Negara maju dan juga sebagaimana yang dikatakan Freud : “bahwa hanya tekanan masyarakatlah yang mencegah manusia dari tindakan menuruti nafsunya”. Sehingga tidak lagi menempatkan perempuan sebagai terdakwa dalam setiap kasus pelecehan dan tindak kekerasan terhadap perempuan. Begitu. (*)



*) Tulisan dimuat di gema-nurani.com 22 november 2011

Senin, November 28, 2011

Mahasiswa Dan Politik Nurani



Tanggapan untuk Radhar Panca Dahana KOMPAS (3/10/11)

Oleh arif saifudin yudistira*)


Kegelisahan yang dirasakan oleh budayawan kita radhar panca dahana patut kita cermati. Radhar panca dahana di opini kompas (3/10/11) mengungkapkan adanya budaya yang buruk di negeri ini dengan menunjukkan perilaku masyarakat kita yang mengkritik pemerintah dengan simbol-simbol kenegaraan seperti karikatur, foto SBY yang memegang kemaluan sendiri sebagai kritik yang berlebihan dan mencerminkan masyarakat yang kurang beradab.

Kekecewaan radhar adalah kekecewaan kita semua, radhar pun sebenarnya memiliki kegelisahan yang sangat akan kepemimpinan presiden kita(SBY) kalau kita mau dan masih menganggapnya sebagai presiden. Kekecewaan yang sama ini digambarkan dengan kalimat : “kenyataan di negeri ini menunjukkan kerja politik lebih didedikasikan pada (upaya merebut atau mempertahankan)kekuasaan ketimbang memperjuangkan nilai-nilai luhur yang justru menjadi keadaban lahirnya politik itu sendiri : menata dan mengelola negeri semata untuk memajukan dan memuliakan manusia”.

Kekecewaan radhar sebenarnya ada dua macam ; Pertama,sindiran akan budaya kita yang identik dengan budaya halus, dan anti kekerasan, tetapi tiba-tiba mengkritik dengan cara yang seperti mencerminkan masyarakat yang tak beradab. Radhar seolah-olah ingin mengatakan ; Apa yang terjadi dengan bangsa ini?. Kedua,kekecewaan radhar akan fenomena para pelaku politik saat ini yang sibuk ramai dan berebut kekuasaan di senayan dengan mengeluarkan kritik yang dipandang tidak beradab hanya untuk memenuhi nafsu dan hasrat politiknya yakni kekuasaan.

Daulat Rakyat

Kegelisahan tersebut sebenarnya merupakan pertanyaan retoris akan bangsa dan negara kita. Yang tanpa kita tanyakan kita sudah tahu jawabannya. Ketika gerakan tokoh lintas agama menyerukan bahwa pemerintah berbohong dan inskonstitusional, para tokoh lintas agama selalu menyerukan seruan moralis : “Jangan anarki, terlalu banyak darah yang ditumpahkan, kita tidak ingin darah keluar lagi di negeri ini, sudah terlampau banyak rakyat menderita”ujar syafii maarif dalam orasi kebangsaannya di solo.

Jalan pikir dan logika ahmad syafii maarif senada dengan radhar panca dahana yang tidak menginginkan kekerasan. Pertanyaannya kemudian, apakah rakyat kita yang tidak beradab? Atau para pemimpin dan politisi kita yang sesungguhnya biadab?. Demokrasi kita mengajarkan kembali arti pentingnya kedaulatan rakyat. Muh. Hatta seringkali mengatakan : Bahwa “rakyatlah yang berdaulat, bukan negara yang berdaulat”.Artinya, uraian radhar panca dahana menjadi tidak cocok ketika dihadapkan dengan kondisi kekinian di negeri ini. Rakyat kita sudah terlampau menderita dengan berbagai kebijakan dan juga sajian drama para politisi kita, apalagi korupsi yang semakin merajalela,bahkan politisi DPR berani mengatakan ingin membubarkan KPK dalam konflik “KPK dan badan anggaran DPR”(tempo,4/10/11). Sampai-sampai Busyro muqoddas mengatakan :”Apa boleh buat, kalau memang mau dibubarkan, kami kan hanya melaksanakan undang-undang”.

Demokrasi kita saat ini memang lebih cenderung pada demokrasi liberal dan kriminal. Liberalisasi yang ada pada demokrasi ditujukan atau diarahkan untuk berbuat kriminal. Misalnya korupsi berjamaah tanpa malu-malu, saling tutup-menutupi dan gotong royong untuk merampok negara ini. Realitas inilah yang kemudian menuntun rakyat kita suka yang serba instant, bahkan mereka rela berpanas-panas di jalan raya hanya untuk mengisi perut lapar mereka walaupun dengan melakukan demonstrasi simbolik dengan membawa kerbau misalnya.

Kebebasan kita setelah orde baru yang mengekang mahasiswa terkungkung dalam kampus dan bebas dari aktifitas politik membawa mahasiswa turun ke jalan dengan aksi-aksi heroik dan aksi sosialnya. Aksi-aksi simbolis yang digambarkan radhar adalah bagian dari wujud kekesalan dan ketidakpuasan terhadap kondisi negeri ini yang dipimpin oleh penguasa yang berhaluan neoliberalisme. Tentu mahasiswa memiliki kerangka analisis yang tajam, memiliki data yang mendukung dan nalar berfikir yang bisa dipertanggungjawabkan. Kritik tajam yang simbolis ini pun kerap dilancarkan ketika masa orde baru dengan mengatakan “DPR-nya bego-bego, “presidennya impor isteri” bahkan sampai muncul poster atau puisi “suharto asu”. Kejengahan dari masyarakat menjadi hal yang dilakukan dengan aksi simbolik, menggelitik, dan menampar tapi tidak dengan aksi bom dan teror yang mencekam sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah dengan teror kemiskinan, teror kekalutan ekonomi dan sebagainya.

Kesemua aksi-aksi mahasiswa diatas dilakukan tidak lain dan tidak bukan adalah sebuah jalan politik nurani mahasiswa menyuarakan aspirasi masyarakat. Jika ada yang mengatakan mahasiswa sudah tidak berpolitik nurani, maka ini pertanda negara ini mau hancur. Sejarah telah mencatat perubahan bangsa ini dimulai dari pusat peradaban dan kebudayaan , tidak lain dan tidak bukan adalah dunia kampus-kampus kita yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat tentunya.

Tanpa kekerasan

Jika politik simbolis dinilai sebagai cara-cara yang tak beradab,apakah sudah ada cara ampuh lain yang mampu menegur pemimpin kita yang berbuat kelewatan ini?. Barangkali kita bertanya ulang terhadap radhar panca dahana : “ Pemimpin yang beradabkah ketika dikritik dan dihujat dengan simbol yang begitu keras masih diam dan menjabat sebagai pemimpin kita?”.

Budaya kepemimpinan kita memang sangat buruk, para pemimpin kita seperti menunggu kritik dan suara keras dan terus-terusan dari rakyat barulah mereka menyadari bahwa kepemimpinan mereka buruk dan juga salah arah. Seharusnya pemimpin kita meniru ahmadinejad yang memimpin iran dengan sangat sederhana sekali, rumah sederhana, fasilitas sederhana tapi tegas terhadap kekuasaan despotik dan korup. Pemimpin jepang dan china adalah contoh yang menunjukkan budaya malu penting dalam kepemimpinan kita untuk menunjukkan integritas, harga diri sebuah bangsa. Apa artinya kedaulatan bangsa yang dipertanyakan radhar panca dahana ketika negeri ini dipimpin politisi busuk dan menjual kedaulatan negerinya dengan menghamba pada asing, inferior dan korup. Gene Sharp dalam bukunya The politics of non violence action mengatakan bahwa “metode perlawanan tanpa kekerasan salah satunya dengan komunikasi publik yakni dengan slogan, simbol-simbol,selebaran, pamflet-pamflet dan spanduk-spanduk”.Metode ini dipandang lebih efektif daripada dengan metode kekerasan yang justru melahirkan pemimpin yang lebih diktator.

Dimana Pers dan mahasiswa???

“Tugas pers bukanlah untuk menjilat kekuasaan, tapi justru untuk mengkritik yang berkuasa” (PK Ojong). Lalu dimanakah pers kita berada saat ini, ketika kondisi negeri ini sudah kian carut-marut?.Jawabannya tentu terlihat dengan fenomena yang terjadi saat ini. Pers kita digambarkan tidak jauh berbeda dengan kondisi orde baru yang merangkul pers ibarat kawan sejawat.

Semenjak SBY memimpin, SBY beberapa kali memperoleh penghargaan akan apresiasinya terhadap kebebasan pers. Dari situlah kita melihat, hubungan relasional antara pers, partai politik, dan para koalisi SBY seperti aman-aman saja dan seolah pers tidak tahu apa-apa.Ini yang menjadi PR bagi pers kita agar lebih menyuarakan hati nurani rakyat kita.

Hal ini tentu berbeda dengan politik nurani mahasiswa, meskipun ada beberapa demonstrasi dan budaya kritik yang identik dengan politik uang, masih banyak mahasiswa yang mengkritisi pemerintah melalui budaya tulis, budaya orasi ilmiah dan juga aksi-turun kejalan dengan menyuarakan suara rakyat. Sehingga,kritik radhar perlu kita dengar, akan tetapi kita perlu memperoleh jawaban “politik yang baik” yang seperti apakah jika membiarkan penyalahgunaan kekuasaan(abused power) ini terjadi terus-menerus dan mendiamkan rakyat kita makin banyak mati dengan sendirinya dan menjadi korban kedzaliman rezim???.Tentu radhar punya jawabannya.


*)Penulis adalah aktivis IMM SOLO, presidium kawah institute indonesia






Minggu, November 27, 2011

Cerpen : Malam terakhir dengan Ayah




Oleh Arif saifudin yudistira*)




“Aaaaaaaaaaaaaaaahhhh..........................”.

Ayah………………,

Tidak………………………….!!!.


Aku memeluk ayahku erat-erat. Seperti tak pernah bertemu kembali dengannya. Seperti biasa, aku selalu menyayangi ayah. Ayah adalah yang paling mengerti apa yang kumau. Aku tak tahu percakapan yang dilakukan dua minggu kemaren. Yah…..di ruangan ini, aku tak menyangka, ayah telah pergi…..

Tiba-tiba pikiranku melayang-layang membawaku ke masa laluku.

Nak,,,,,kamu jangan nakal lagi yah…..jangan lupa belajar…..jangan malas…..kalau kamu malas, kamu gak bisa jadi anak yang pintar…..”

Sayangi ibumu…dia sudah susah-susah merawatmu, dengarkan nasehatnya, berbaktilah kepadanya, ayah akan cari uang….mungkin tak kembali lagi……” begitu kata yang kuingat dari ayahku.


Ibu sudah tak mampu mengurusiku, apalagi membisikkan kata-kata atau petuah lewat telingaku. Ibu sudah kapok mengurusiku dan berceloteh di depanku, setiap kali ibu melihat tingkahku yang kelewatan ibu hanya diam, memegang dadanya, dan berkata :”Duh gusti…..paringono sabar lan hidayah marang anakku iki….”.


Aku memang anak yang sudah kelewatan….hampir tiap malam aku keluar malam dan menggemparkan tetangga dengan suara motorku. Pagi-pagi aku pulang dengan baju lusuh layaklnya pengemis dan gelandangan. Malam-malamku selalu kuhabiskan untuk bersenang-senang. Bukankah hidup ini adalah kemudahan seperti kata pramudya tinggal makan, minum, dan berbuat kebajikan….Meski tetanggaku selalu meneriakiku dengan kata-kata serapah….aku tak peduli….aku tak merasa bersalah terhadap mereka,,,pada ibuku pun tidak…..aku orang bebas…begitu kata hatiku seperti yang dicita-citakan rakyat perancis waktu itu.

Lama-lama, Ketidakwajaranku dianggap sebagai sesuatu yang biasa oleh tetanggaku. Mereka sudah terbiasa dengan ulahku entah itu berteriak di malam hari sambil menikmati lagu-lagu dangdut, atau suara motor YAMAHA GL PRO yang bikin telinga mereka pecah, atau suara uring-uringan dengan ibuku yang membikin mereka menjadikanku tontonan karena penasaran dengan kelakuanku terhadap ibu. Hal ini mereka lakukan karena takut terjadi sesuatu pada ibu. Selain itu, mereka sudah memasrahkanku pada takdir dan hukum karma yang biasa mereka percayai lewat mitos-mitos yang tak rasional. “Sopo salah seleh” [siapa yang salah pasti akan mendapatkan jawaban]. “Dasar!!! orang desa” begitu gumamku,


Ayah sudah lama meninggalkan kami sejak aku lahir. Ayah baru datang ketika aku berusia 17 tahun waktu kelas tiga SMP. Kehidupanku yang akrab dengan buku-buku bacaan dan televisi, serta fasilitas yang serba mewah tak membuatku semakin mengerti arti kehidupanku. Aku ibarat itik ditinggal induknya, meski ibuku menemaniku di tiap malamku.

“Ndin, belajar toh ndin…….nilai pelajaran matematikamu buruk terus…..kasihan ayahmu……ia kerja untuk kamu…….”begitu ibuku bertanya di malam minggu.

“Ibu ini apa sih bu…..ini andin juga sedang baca!!!”, Ibu tahu pramudya gak bu???ibu tahu aristoteles gak bu? Atau ibu tahu kisah sukarno?.....Hebat loh bu…………...,

“Yah……kau ini nduk…nduk…dikandani ngeyel……ibu kan Cuma lulusan SD…..mana tahu itu semua????yang ibu tahu angka-angka ulanganmu itu loh…Cuma 1,2,3,4,5…….gimana nih……sakjane koe kie yoh pinter,……ning ndablek……….!!![sebenarnya kamu itu juga pandai,,,,tapi malas].

“Goblok….!!” Dasar lulusan SD……gak tahu apa-apa malah nasehatin aku……Dah….aku malas sinau.Tiba-tiba “Tarr………….”piringpun melayang menjadi korban amarahku.


Melihat itu,ibu menangis dan melelehkan air matanya.Tubuhnya yang ringkih hanya bisa menatapku sambil memegang dadanya. Tak kuat menahan tubuhnya yang sudah uzur, ibu jatuh pingsan….melihat itu…aku langsung saja cabut tancap gas….dan cuek tak peduli.


Esok paginya ibu sadarkan diri. Aku seperti anak yang kehilangan kasih sayang ayah. Ayah memang lebih lekat dan lebih dekat dengan anak perempuan, seperti kebiasaan orang selama ini, aku tak tahu teori ini ternyata sudah ditulis oleh para pemikir lampau seperti freud, simone de behavior, dan pemikir lain.


“Bu…..ibu sudah sembuh,,,,,”entah malaikat mana yang datang merasukiku. Aku seperti luluh dan tak berdaya melihat ibuku terbaring di amben1 . Matanya lelah, usianya yang sudah senja mengalahkan garis wajahnya untuk sekedar melekukkan senyuman kepadaku, tapi matanya masih cemerlang menerkam ke arahku dingin.


“Ada apa toh nduk…?”Ibu akan sembuh kok nduk….”

“Ibu…..bapak kemana?kapan bapak pulang???”tanyaku.

“Uhuk,,,,uhuk,,,,,cuih(suara ibunya meludah)……tolong ambilkan ember nduk…….”

Tanpa banyak bicara aku sediakan ember yang diminta ibu, hanya untuk mendengar kabar dari ayah.

“Sini nduk…..tak ceritani…….” [Kesini nak….aku mau cerita]


Tiba-tiba ingin sekali aku menyandarkan diri ke pelukan ibu. Air mataku mengalir pelan bagai mata air di gunung-gunung. Aku merasa telah menyakiti ibu. Ibu sudah sabar mengurusiku. Meski aku sebenarnya merindukan ayah, ayah yang tak kulihat sejak aku lahir. Aku bingung, ketika Tanya teman-temanku menyerbuku. Entah anak haram, entah anak janda tua, anak temon, dan berbagai hinaan lain menyerbuku menggebu-gebu. Ibu, kali ini anakmu menyentuhmu, ingin menumpahkan kerinduan pada ayah, menjadi rasa sayang pada ibu.


Ayahmu adalah pekerja keras, ayahmu tidak pernah mengeluh dengan kehidupannya disana. Malaya adalah negeri yang sebenarnya bukan cita-cita ayah. Ayahmu merasa sesak disana, ia bertahan dengan sikasaan para petugas keamanan disana yang kadang memergoki ayahmu karena tak membawa surat resmi”.

Ayahmu…terakhir kali ia kerja di pabrik motor cina disana, asap menghiasi tiap harinya. Ayahmu….adalah kekagumanku. Tapi saat ini semua itu sudah berubah nduk.

“Kenapa Bu??”Sambil mengangkat kepalaku dan menatap mata ibu.

Itulah yang aku tak tahu, Ayahmu hanya mengirim uang untukmu. Sambil menunjukkan surat dari suaminya.


Ini uang untuk anakmu dan hidup satu bulan, rawat anak kita yah…..aku tahu ia pasti merindukanku”

Doamu yang ku harap sayang…


Suamimu.Parno.




Tiba-tiba saja ketika aku dan ibuku asyik bercengkerama.

“Nem…..nem……coba kesini…….!! Kemari nem!.....................……..cepet, kesini, nem……..!dok...dok...dok....tetanggaku sebelah berteriak kencang memanggil ibuku seperti ada sesuatu.

“Coba kamu kesana nduk…..……uhuk…uhuk……”

Tanpa membantah seperti biasanya, aku langsung ke tempat tetanggaku. Melihat apa yang ingin dikatakan dan dipertunjukkan oleh tetanggaku.


“Ini nem…..ini nem……..!aku dikejutkan tayangan televise yang mempertontonkan lelaki ringkih, dari usianya kulihat sudah 50 tahunan.

(Reporter berita mulai berbicara)

“Suparno seorang warga negara Indonesia tiba-tiba menjadi sosok yang menggemparkan. Polisi menangkapnya di tempat hiburan terkenal di Asia funny. Ia menjadi sosok yang mengejutkan dunia pemberitaan Malaysia, yang karena ulahnya membakar tempat hiburan itu”


Kamera televise itu tiba-tiba mengarah ke tulisan yang masih tersisa asap yang pekat bekas pembakaran. “Indonesia, aku mohon maaf…aku tak bisa berbuat banyak, kecuali melawan mereka, mereka sudah tidak punya perasaan, menghina indon dan negeri kami, kami disiksa, dihisap seperti tak ada lagi kehidupan untuk mendapatkan ringgit”


Nak……jadilah petangguh, yang tak seperti bapakmu,,,bapakmu sudah melawan…..melawan dengan ketidakberdayaan….Meski ia kalah….ia sudah melawan…..


Tiba-tiba saja mataku dikejutkan oleh nama yang tertera di tembok itu,


SUPARNO LULUSAN SD



*) Penulis adalah mahasiswa Universitas muhammadiyah surakarta, bergiat di komunitas tanda tanya, tulisan tersebar di Media indonesia, suara merdeka, SOLO POS, dll.. Finalis lomba Essay Tempo Institute 2009 dll. Kontak di : arif_love_cinta@yahoo.co.id



1 [tempat tidur yang terbuat dari bambu].


*)Tulisan dimuat di KABAR FKIP UAD 24/11/2011

Selasa, November 22, 2011

Menebus Kekalahan!!!



Oleh arif saifudin yudistira*)

Hampir seluruh masyarakat indonesia menyaksikan pertandingan final sea games sepak bola kita di layar televise kita. Kemenangan di beberapa cabang olahraga lain seperti tidak bisa menghasilkan senyum yang lebar, mengingat sepak bola seakan-akan menjadi kunci bagi kemenangan sejati. Ada apa dengan masyarakat kita?. Apakah sedemikian kalah negeri kita?.

Sepertinya negeri ini memang sama sebagaimana yang dikatakan pramudya: “kita sudah melawan mak, melawan dengan sepenuh tenaga”(bumi manusia). Siapa yang kita lawan?. Sepak bola adalah cermin, bahwa keberuntungan sekalipun seperti menjauh bagi indonesia. Meskipun kita sudah melawan, melawan dengan sekuat tenaga.

Final SEA GAMES XXVI tidak hanya sebagai symbol bahwa negeri ini memiliki riwayat yang cukup sengit dengan Malaysia, negeri ini cukup pelik dengan persoalan TKI, persoalan perbatasan wilayah yang menuntut pada satu emosi bahkan nasionalisme kita terusik. Sepak bola sebagai bagian dari simbolisasi itu, ternyata tidak mampu membuat kemenangan berfihak pada negeri ini. Yel-yel “ganyang Malaysia”, “malingsia” seperti tak punya makna?. Apakah ini cerminan kekalahan bagi republic ini?.

Sepak bola tak jauh dengan cerminan pemimpin negeri ini, sepak bola menggambarkan bahwa negeri ini sepertinya bakal jadi negeri kalah dan jadi negeri mainan bagi Negara-negara lain. Apa jadinya ketika kebijakan-kebijakan pemerintah pun tak bisa dibanggakan oleh rakyatnya?.Sepak bola sebagai simbolisasi dan alternative terakhir untuk melampiaskan rasa kekecewaan, rasa kesal, dan juga rasa emosi dari nasionalisme yang terusik,ternyata tak mampu menampik kesimpulan bahwa negeri ini negeri yang kalah.

Sepak bola dan politik

Ada kebangkitan dan rasa optimisme ketika sepak bola di negeri ini mulai mengalami perbaikan paska pergantian kepemimpinan PSSI. Ada perbaikan manajemen, perbaikan system, perbaikan regenerasi, namun belum mampu ditunjukkan dalam waktu dan momentum sea games kali ini. Siapa sangka sepak bola kita tak ada politik?.Siapa sangka sepak bola bukan perkara politisasi para pemodal, para korporat ?. Jangan kita terlalu lemas melihat kekalahan kita, tapi ada yang perlu di waspadai, yakni kemenangan korporasi yang meraup keuntungan dari iklan di sea games ini, rating iklan yang melonjak tajam, juga manajemen yang memperoleh keuntungan yang cukup, sehingga mereka tertawa lepas, dan sambil menertawakan kemenangan kita.

Persoalan sepak bola pun menyentuh pada persoalan citra, Bukankah ketika sea games menang, atau sepak bola kita menang, ada pula pihak-pihak merasa diuntungkan dan mempolitisasi sepak bola kita?. SEA GAMES adalah cermin bahwa SBY layak dijunjung, tapi kita melupakan kasus korupsinya nazarudin?.

Tak hanya sepak bola

Nasionalisme kita tak hanya dicerminkan dan diwujudkan dari sepak bola kita, sepak bola memang bagian dari simbolisasi itu, dan merupakan satu-satunya yang paling tidak bisa dibanggakan karena lama sekali kita memperoleh kekalahan dari Malaysia terus menerus. Mengapa nasionalisme kita tak melebar pada persoalan politisasi penyiksaan TKI di arab Saudi dengan memberikan hadiah gelar doctor honoris causa pada raja arab Saudi karena dianggap bisa melindungi TKI kita?. Mengapa kita tak marah-marah dan melampiaskan kemarahan kita memenuhi jalanan-jalanan kita ketika TKI kita dibunuh, dipancung,disiksa di negeri orang?.

Nasionalisme kita pun mesti kita pertanyakan ulang?. Negeri ini menjadi negeri kalah bukan karena persoalan bangsa lain, tetapi juga mentalitas kita dan pemimpin yang perlu pembenahan di sana-sini.Kita jadi bangsa yang cepat lupa, bahwa sejarah kebesaran negeri ini dibangun dengan persatuan yang kokoh dan kuat barulah berteriak ganyang Malaysia. Kalau kita belajar dari sukarno, dengan semangat mengenyahkan kapitalisme gagal karena kurang adanya persatuan yang kokoh, dan perhitungan yang matang. Sebagaimana sukarno waktu itu,SEA GAMES kali ini seperti menunjukkan demikian juga. Negeri ini perlu latihan, persiapan, persatuan yang kokoh bagi semua elemen. Tak hanya pemain, pelatih, manajemen, bahkan supporter yang tertib dan santun perlu juga kita tata. Negeri ini perlu belajar menerima kekalahan, bukan untuk menyesali,tapi menyadarkan kembali bahwa sepak bola adalah cerminan dari nasionalisme, cerminan dari politik, ekonomi, dan budaya kita.

Pertanyaannya kemudian, setelah kalah sepak bola dengan Malaysia terus bagaimana?.Apakah akan diam dengan menyesali kekalahan, tentu tidak demikian. Kekalahan ini adalah pelajaran penting sebagaimana yang sudah dilakukan para pendahulu kita, kemenangan tidak bisa diperoleh dengan cepat, instant, dan butuh proses yang panjang untuk itu.

Bukankah momentum kepemimpinan indonesia di ASEAN adalah momentum yang baik untuk melakukan itu?.Jika momentum ini tidak dimanfaatkan,maka kekalahan telak akan kita terima. Bukan hanya kalah dalam sepak bola, tapi juga ekonomi,social, politik, dan lain-lain. Kita masih punya optimisme untuk itu, kepemimpinan ASEAN mestinya adalah jawaban dan tantangan bagi kekalahan sepak bola pada SEA GAMES kali ini.

Mampukah kita melakukan hal tersebut?. Tinggal bagaimana mentalitas inferior itu harus dihilangkan, melainkan membangkitkan kembali mentalitas yang dibangun oleh sukarno waktu itu, kita menjadi bangsa yang “jatuh, bangkit kembali, jatuh, kemudian bangkit kembali” yang memiliki jiwa bangsa yang kuat dan tidak mudah lapuk dimakan zaman.

*) Presidium Kawah Institute Indonesia,

Minggu, November 20, 2011

Dunia Politik Yang tak Puitis


arif saifudin yudistira*)

Dunia politik di negeri ini seperti sedang menunjukkan wajah aslinya. Betapa kita disuguhi fenomena yang membuat drama, tragedy, peristiwa politik dalam keseharian kita menjadi catatan yang lalu lalang begitu saja layaknya laju kendaraan yang menghilang dalam sekejap pandang. Negara saat ini tidak lagi bisa mengatur kebusukan, kelemahan system, dan rahasianya menjadi bahasa-bahasa yang puitik sehingga tak tampak lagi keburukan dan kebusukannya.

Meskipun dengan berbagai cara baik melalui menghadirkan layar semu dalam dunia perpolitikan kita, ternyata rakyat sebagai objek yang dibohongi dengan fenomena-fenomena yang menipu sudah terbiasa dengan retorika politisi kita yang sama sekali tak menyentuh hati rakyat kita. Politisi kita tak pandai mengolah kata dan rasa sebagaimana para penyair melakukan itu, sehingga mereka tak bisa mengungkapkan peristiwa, fenomena atau bahkan rahasia mereka melalui bahasa-bahasa simbolis yang indah.

Dunia puisi tak jauh berbeda dengan dunia politik. Politik mengurusi masalah social, sedang puisi melibatkan kata dan rasa untuk menghasilkan bahasanya sendiri. Politisi yang tak puitis maka akan berkomentar dengan melihat fenomena dan fakta sebagai sesuatu yang tampak di depan mata. Lihat betapa di negeri ini kita sering melihat politisi kita kehabisan kata-kata ketika diwawancarai wartawan terkait perkara korupsi dan sebagainya. Mereka kehilangan bahasa mereka, atau gagap mengungkapkan bahasanya.

Puisi menciptakan seni berbahasa yang membedakan orang yang memiliki kemampuan memadukan antara rasa dan kata ke dalam bahasa yang lain. Ketika seseorang memiliki kemampuan puitis ini, maka imajinasi bisa menjelma dalam kehidupannya. Sedang sensitifitas tetap ada dalam dirinya. Sebab sensitifitas itulah yang akan memberikan inspirasi bagi mereka menciptakan dan menciptakan lagi karya dalam bentuk statement, komentar, atau tanggapan sebagaimana yang dilakukan para politisi kita.

Politik dan puisi adalah art(seni) yang membutuhkan keterampilan dan proses yang panjang hingga mencapai puncak estetikanya masing-masing. Puncak estetika politik sebagaimana yang dikatakan aristoteles ialah pencapaian kebajikan untuk umat manusia. Sedang puncak estetika puisi bisa ditafsirkan dengan berbagai pandangan.

Ideologi

Di dalam kita berpuisi pun memerlukan ideology sebagai satu fondasi atau motif yang mendasari para penyair membuat puisi. Ideologi ini sempat mengalami polemic antara sastra untuk rakyat, atau sastra humanisme universal. Melalui lekra dan manikebu itulah para sastrawan kita menyatakan motif mereka masing-masing.

Akan tetapi ketika melihat kondisi politik di negeri ini sepertinya kita sudah kehilangan ideologis. Para politisi kita memburu harta dan tahta untuk kepentingan pribadi dan partainya, seolah-olah kekuasaan adalah milik partai politik digunakan untuk partai politik, dan kembali untuk kemakmuran anggota partai politik. Demokrasi seperti inilah yang saat ini menghiasi bumi pertiwi kita. Sehingga demokrasi criminal inilah yang direproduksi, dan dimanipulasi untuk melanggengkan politik rente.

Di masa orde lama, puisi adalah politik. Politik pun menggunakan bahasa yang puitis. Orde lama memungkinkan rakyat berbicara politik, sebab politik adalah kerja yang digaungkan dan digelorakan untuk menciptakan persatuan. Begitupun puisi adalah metode dan cara untuk menggairahkan politik dengan tujuan sarana pencapaian revolusi.

Berbeda dengan orde baru, politik dan puisi adalah sama hal yang tak boleh dibiarkan lama hidup dan tumbuh di negeri ini. Hingga dunia politik menjadi dunia yang penuh terror dan mencekam. Orde baru mematikan puisi-puisi rakyat, sehingga penuh dengan ketenteraman, kedamaian tapi penuh dengan was-was. Orde baru memaknai politik dan puisi adalah titah sang presiden sehingga rakyat tidak diberi kebebasan untuk melakukan perlawanan terhadapnya.

Kritik

Di era pemerintahan SBY kini, puisi jadi bertebaran di mana-mana sebagai sarana untuk mengungkapkan kekesalan, kegaduhan, ketidakpuasan, dan kegagalan pemerintah kita. Puisi hadir dari aktifis adi massardi dengan judul “negeri para bedebah”. Tidak hanya itu, lirik dari bona naputulu yang berjudul “andai aku gayus tambunan” adalah kritik akan bobroknya hukum di negeri ini.

“Seperti para koruptor” adalah puisi kritik dari Slank yang menggambarkan betapa korupsi telah menjadi subur di negeri ini. Puisi-puisi dan syair-syair ini menghadapi resiko dan juga tantangan bagi para pelantunnya. Sebagaimana pengakuan bona yang mendapatkan terror yang mengganggu. Puisi dipilih karena memiliki nilai estetika yang tinggi, tapi menohok. Kehadiran puisi inilah yang menjadi bukti bahwa para sastrawan, budayawan dan para kritikus untuk melancarkan kritiknya pada penguasa.

Barangkali itu pula alasan taufik ismail mengirimkan puisi peringatan dan kritik terhadap pemerintahan SBY pada hari ulang tahunnya(9/9/2011) Inilah kutipan puisi taufik ismail : …..Karena sepanjang sejarah negara kita belum pernah ruwetnya masalah yang membelit bangsa seruwet sekarang ini. Artinya kompleks masalah yang dihadapi oleh bangsa ini.

…….kita hidup di zaman ketika perilaku bangsa mulai berubah, sedikit-sedikit tersinggung, acung kepalan dan marah-marah lalu merusak, membakar dan menumpahkan darah,menggoyang-goyang pagar besi.

..Bukan kepalang beban tanggung jawab yang anda pikul lebih berat dari zaman-zaman sebelumnya, jauh jauh lebih berat, bersihkanlah yang kotor-kotor dari pemerintahan anda. Puisi dan politik sebenarnya saling berhubungan erat. Puisi adalah sarana yang tepat untuk mengungkapkan sesuatu yang berbau politik. Gesekan antara puisi dan politik tetap akan terjadi di negeri ini sebab manusia memerlukan bahasa symbol untuk melakukan sesuatu. Yang terjadi kini, adalah politik yang kehilangan bahasa puitisnya. Sebab politisi kita tidak mampu mengemban dan menunaikan tugasnya layaknya para penyair yang memadukan rasa dan kata. Maka tak heran, dunia politik kita sama sekali tak puitis hari ini.


*) Penulis adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, Bergiat di Kawah institute indonesia

Senin, November 07, 2011

Hidden Curriculum, tabir pendidikan kita

Tanggapan essai Sartika dian Nuraini(1/10/2011)

Oleh arif saifudin yudistira*)

Apakah kampus adalah satu-satunya tempat atau lembaga yang berhasil melahirkan pengetahuan?atau apakah kampus adalah produsen bagi ilmu-ilmu pengetahuan kita?. Maka pertanyaan tersebut perlu kita jawab tegas, kampus tak lain adalah garbage input, garbage output. Pendidikan tak jauh dari kesimpulan Paulo Freire yang memandang bahwa pendidikan kali ini lebih mirip pada pendidikan gaya banking.

Produksi pengetahuan?.Sepertinya kampus yang digadang-gadang menciptakan ilmuwan produktif dan juga kontributif bagi persoalan masyarakat kini dan kemanusiaan tak kunjung muncul. Logika proyekisasi penelitian dan berbagai proyek hibah berorientasi pada profesionalisme semata tanpa landasan etos meneliti. Maka mustahil dan ajaib ketika kampus masih saja mengumandangkan sebagai produsen pengetahuan. Tak beda dengan mahasiswa-mahasiswanya yang cenderung dicaci dan dicerca oleh mahasiswanya sendiri yang berlagak kritis terhadap kampusnya. Lihat tulisan dian nuraini di mimbar mahasiswa dengan tajuk : “E-library, lompatan teknologi?(1/10/2011).

Tulisan dian mengajak kita kembali menyesali mahasiswa yang bodoh karena berbagai fasilitas yang ada tak kunjung dimanfaatkan dan cenderung di-anggurkan. Fasilitas internet yang menghabiskan dana puluhan bahkan ratusan juta tak sebanding dengan penelitian dan juga produk dari mahasiswa. Secara sepintas kritik dian benar, tapi lebih lanjut kita akan mengatakan kritik dian adalah dangkal.

Dangkal

Dian,tak lebih dan tak bukan adalah korban dari system yang ada dikampusnya. Dalam wacana Gramsci kita mengenal hegemoni dan contra hegemoni, hasil dari hegemoni pemikiran yang dominan di kampus memandang mahasiswa salah, karena dengan berbagai fasilitas yang ada tak mampu berkembang dan mengembangkan diri. Anehnya, kampus dan system yang jauh lebih besar dari hal yang dangkal itu tak dianalisis dan dikritisi.

Kampus adalah system yang tak mungkin terlepas dari regulasi, konstitusi, dan pemerintah selaku pengatur tertinggi. Kampus di era saat ini adalah penyedia dan pelayan kebutuhan dan apa yang diperlukan pemerintah. Dalam terminology Foucault kita mengenal bahwa tidak ada relasi pengetahuan yang terlepas dari relasi kekuasaan. Dari situ, jelas kita perlu menguak apa yang dilakukan kekuasaan dengan pengetahuan kita. Maka kampus tak lebih dan tak bukan adalah pasar dan lembaga yang harus nurut dan tak boleh menentang pemerintah. Apa yang dikeluhkan dian adalah wujud NKK/BKK baru, apa yang diresahkan dian adalah wajar, dan bagian dari system itu.

Budaya yang dimunculkan dian,sebagai budaya mahasiswa adalah bentukan system, bentukan dari pemerintah, dan tak lepas dari relasi pemerintah. Kalau lebih jauh kita memakai teori Fitjrof capra ia menuliskan dalam Hidden Connection : Pendidikan adalah kemampuan untuk merasakan hubungan-hubungan tersembunyi antar fenomena [Vaclav Havel]maka pemerintah adalah ideology dan pengatur system itu.

Problem Filosofis

Belum sempat kita lebih jauh membuka tirai pendidikan kita dari sisi sistemik, dian cenderung memakai analisa dan kaca mata personal dan permukaan dalam memahami kesalahan sistemik dari kampus. Maka yang muncul dari analisa dian adalah mahasiswa adalah objek dan bukan subjek. Maka sebagai objek yang perlu dikasih asupan fasilitas, peralatan teknologi modern, ketika ia tak mampu menggunakannya, atau tak memaksimalkan dalam penggunaannya, mahasiswalah yang salah.Karena ia sebagai objek yang tak mampu membaca kepentingan subjek dan pemberian semua fasilitas dan sarana dan prasarana dari subjek(birokrasi kampus).

Apakah kampus berkepentingan terhadap mahasiswa? Apa kepentingan kampus terhadap mahasiswa?. Sepertinya essai dian yang membahas tentang perpustakaan, mahasiswa, dan juga kebijakan rektorat tak lebih dari upaya dominasi wacana yang kembali meletakkan bahwa mahasiswa saat ini adalah mereka yang hedonis, modis dan gaul. Pertanyaan tersebut seakan dijawab dengan jawaban lain oleh dian dengan mengatakan bahwa saya adalah bukan dari mahasiswa tersebut.

Maka ironis logika yang dipake dian justru memakan dia sendiri selaku kritikus, tapi juga objek, karena ia adalah mahasiswa pula sebagaimana yang dia justifikasi. Mahasiswa saat ini pemalas, jarang memproduksi, dan juga aktif sebagai konsumtif, termasuk ilmu pengetahuan. Ketika kita memakai logika yang filosofis, apakah layak ilmu diperjualbelikan?. Apakah layak logika kampus memakai logika pasar?.

Pendidikan gaya Paulo Freire sebagai aksi-reaksi dan evaluasi yang terus menerus tak kunjung muncul, pendidikan menurut ki Hajar dewantara yang mengedepankan akhlak dan kejujuran serta kearifan budi hilang. Alhasil pendidikan kita secara filosofis bisa dibaca dari pembacaan sartika dian nuraini. Jauh pasca kemerdekaan muchtar buchori sudah menerangkan tentang lonceng kematian pendidikan di indonesia. Lebih lanjut tahun 2000-an HAR Tilaar mengatakan bahwa ilmu pedagogie di indonesia telah mati. Jadi jangan heran, ketika kampus tak bisa diharapkan menciptakan intelektual sehebat para pemikir dan founding fathers dulu.

Untuk mengurai problem pendidikan kita, maka kita perlu membaca filosofi pendidikan kita. Pendidikan kita tak lain tak bukan adalah pendidikan yang membebaskan dan memanusiakan manusia. Tujuan pendidikan tak lain adalah sebagaimana amanah UUD 45 yakni : “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Maka menilik yang dikritik dian dalam dunia pendidikan kampus utamanya tak lain dan tak bukan adalah dampak dari sistemik dan terencana dari hidden curriculum(kurikulum tersembunyi) yang kini mendominasi kampus kita sekaligus menghegemoni kampus kita sehingga memproduksi mahasiswa yang apatis, hedonis, dan modis.

*) Penulis adalah mahasiswa UMS, bergiat di kawah institute indonesia,Pemimpin redaksi LPM CENDEKIA

Tulisan dimuat di SOLO POS 8 november 2011



[1] Essai dimuat di harian solo pos 8 november 2011