Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Jumat, Januari 20, 2012

Kampus dan Masyarakat Kita

Oleh arif saifudin yudistira*)


Jika ingin melihat kemajuan bangsa lihatlah kampusnya, ungkapan ini saya pikir masih relevan dengan zaman ini. Di jaman ini, rasanya tak ada kampus yang tak berpengaruh bagi kehidupan bangsanya.Bangsa-bangsa Eropa, Amerika, maupun bangsa Asia sendiri, bisa mencapai kejayaan dan keemasannya lahir dari rahim kampus. Pun peradaban yang begitu besar kini, hadir dari kampus, meski kita tak menafikkan peradaban-peradaban yang dicipta dari luar kampus yang terus-menerus tumbuh dan berkembang di masyarakat kita.Kecenderungan kampus sebagai pusat ilmu dan tumbuhnya budaya tidak lagi menunjukkan ke arah yang membanggakan. Kampus seperti kehilangan taringnya dan kehilangan jati dirinya.Jati diri kampus tak lain adalah jati diri manusia-manusianya. Kampus kini seperti lembaga yang tersegmentasi sendiri dan terpisah dari manusianya. Apakah manusia kini mengenal kampus?Apa kampus yang kemudian tak mampu mengenal manusia-manusia yang ada di dalamnya?. Sehingga muncul produk yang tak sesuai dengan harapan manusia-manusia yang ada di kampus.

Kampus sebagai Orang Tua

Sebenarnya kampus tak lain seperti ibu-bapak guru kita, yang meruwat dan memupuk optimisme terhadap harapan kita, dan dengan berbagai fasilitas yang ada membantu mewujudkan harapan itu. Harapan-harapan individu-individu tersebut diolah menjadi visi bersama dalam sebuah kerangka universitas.

Jadi tak ada larangan, kampus menciptakan jalannya sendiri dan cita-citanya sendiri, sebab kampus tak harus sama di tiap daerahnya. Kampus di kota besar berbeda dengan kampus yang ada di pinggiran desa.Dari sanalah kita telah mencoba mengembalikan bahwa kampus tak terlepas dari pelbagai lingkungan yang ada di sekitarnya. Sebab mestinya dari lingkungan dan orang-orang disekitarnya itulah, kampus bisa menjadi solusi dan alternatif bagi persoalan yang ada disekitarnya.“Untuk apa pendidikan dibangun kalau melepaskan diri dari berbagai persoalan di masyarakat kita?”. Begitu HAR Tilaar pernah berujar.

Ideologi

Begitu banyak percakapan, obrolan, dan juga berbagai fenomena yang muncul di kampus melahirkan produk dari masyarakat kampus itu sendiri. Produk-produk ini bisa berupa dokumentasi buku, pidato guru besar, maupun kerja organisasi kemahasiswaan.Makalah-makalah, hingga karya tulis mahasiswa. Kita memang bukan dewa yang bisa menciptakan perubahan dengan segera hadir di depan mata kita. Akan tetapi, dimanakah semua produk kampus tadi berkontribusi terhadap pola perubahan masyarakat kita ketika tak mampu memberikan perubahan yang berarti sekecil apapun.Saat itulah kita mulai sadar, bahwasannya ideologisasi begitu memegang peranan penting dalam membangun peradaban yang konon kini hilang entah kemana. Apakah kampus kehilangan ideologi?. Atau apakah kampus berhak mempunyai ideologi?.Modernitas itulah yang diimpikan oleh kampus-kampus di era awal kampus berdiri di negeri ini. Orang masuk ke kampus dengan harapan bisa modern. Namun apa sebenarnya modernisasi itu?.Barbawa ward pernah mengatakan : “Modernisasi adalah memberikan kepada rakyat harapan bahwa sekarang jauh lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari sekarang,kuncinya adalah” hope” (Rosihan anwar, 2010).Seperti apakah sebenarnya ideologi yang ada di kampus itu?. Tan malaka menderskripsikan ideologi kampus dengan kalimat sederhana dalam brosur pendeknya SI dan semarang dan Onderwijs.”.

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan. Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan”. Dari kalimat itulah muncul onderwijs atau perguruan yang bernafaskan rakyat, modal syarekat atau kebersamaan, dan cita-cita satu yakni hope tadi. Harapan itu tak lain dari harapan murid-murid dan harapan rakyat.Tanpa ideologi yang kuat, maka kampus akan jadi seperti sekarang ini, gamang dan kehilangan posisi di rumahnya sendiri. Ia tak mampu menentukan bagaimana ia harus bersikap, diposisi mana ia bersikap dan kepada siapa sikap itu akan disampaikan?. Jika sudah demikian,maka kampus atau perguruan ini akan jadi menara gading yang tinggi di puncak kejayaannya sendiri, tapi tak membumi.

Masyarakat kita

Masyarakat kita pun demikian halnya, saat ini masyarakat kita seperti mendapatkan didikannya bukan dari pengalaman mereka sendiri. Masyarakat kita cenderung belajar dari apa yang disampaikan oleh media-media kita melalui televise, radio dan berbagai arus informasi yang tak terkira cepatnya. Desa kita jadi berubah menjadi desa yang kosmopolitan, yang tak mampu mengenal batas-batas maupun sekat kultural.Alhasil, ketika masyarakat kita ditanya dimanakah kampus yang terbaik di kota ini?. Mereka akan bertutur berdasarkan nama-nama kampus ternama dari televisi, media-media, hingga pada iklan-iklan dan selebaran.Tanpa sadar, masyarakat kita kehilangan kepercayaan dirinya, kepercayaan terhadap alamnya, hingga kemajuan serta kemampuan mereka mengelola harapan-harapan akan masa depan anaknya. Maka diserahkan anak-anak mereka ke dalam kampus .

Dengan demikian, tanpa sadar ideologisasi telah hilang sejak kampus berubah jadi tempat yang hanya memuja harapan, tanpa kemudian beranjak mewujudkan harapan, yang muncul adalah ahli-ahli yang bisa membaca persoalan dengan analisis mendalam, tapi tak mampu menguraikan solusi persoalan tersebut.

Hilangnya Zeitgeist

Zeitgeist adalah semangat membebaskan orang kecil, golongan buruh dari kungkungan keterbelakangan, kemiskinan, mengangkat martabat kaum pekerja menjadi layak menurut perikemanusiaan. Kampus kini jadi kumpulan jargon yang pandai mengelola iklan dan memainkan komunikasi klisenya dengan berbagai tawaran menggiurkan, tapi lalai substansinya sebagai zeitgeist. Jika mengeliminir spirit zeitgeist tadi,maka kampus jadi terpisah dari masyarakat kita. (*)



*)Penulis adalah mahasiswa UMS, bergiat di bilik litearasi solo, presidium kawah institute indonesia,


*)tulisan dimuat di gema-nurani.com 19 januari 2012


Jumat, Januari 06, 2012

Politik Dan Hakikat Kemenangan Islam



Tidak kurang dari 13 tahun negeri ini mereformasi dirinya, akan tetapi realitas politik di negeri ini makin menunjukkan kemundurannya. Politik adalah panglima itu slogan dan fenomena politik pada masa orde lama, rakyat wajib berpolitik, meskipun rakyat belum dibiarkan memiliki kebebasan politiknya. Orde baru lebih mengerikan lagi, politik adalah pembangunan yang ditafsirkan dengan gaya politik “asal bapak senang”.

Setelah lama kita meninggalkan reformasi, kita menikmati era kebebasan dan ekspresi politik yang luar biasa. Dari reformasi itu pula partai politik menikmati hasil dari melimpah-ruahnya kekayaan negeri ini. Partai politik menjadi mandor dan pemilik di negeri kapling seperti negeri ini. Politik dijadikan alasan untuk menimbun, mengelola dan melestarikan generasi politik yang berputar bagai siklus nestapa yang memberatkan bagi bangsa ini.

Realitas politik yang seperti ini sudah pernah dianalisa oleh guru bangsa kita Ahmad Syafii Maarif di bukunya “mencari autentitas dalam kegalauan”(PSAP,2004): Dengan kerusakan mental yang cukup berat yang kita warisi selama ini, konstelasi dan konfigurasi politik kita ke depan masih sulit mencapai kemapanan dan kestabilan. Budaya politik instan yang dihasilkan dari gaya didikan dan kaderisasi partai politik adalah dosa sejarah yang mesti kita hentikan. Partai politik kita sangat berhasil menciptakan politikus, tapi tidak negarawan.

Bukankah politik di negeri manapun mesti berkaitan erat dengan cita-cita politik bangsa ini yang tidak lain adalah mewujudkan cita-cita UUD 45 kita. Akan tetapi yang terjadi saat ini adalah krisis politik, krisis nurani dan krisis manusiawi. Maka yang timbul dalam dunia politik kita adalah kongkalikong, koalisi dan saling menjatuhkan. Iklim kerjasama semakin ditinggalkan kecuali ada pamrih dan transaksi.

Politik islam

Sampai saat ini tidak ada yang bisa menyangkal bahwa kebesaran umat islam menjadi potensi politik yang besar bagi berkembangnya kemajuan dan peradaban islam maupun bagi tumbuh suburnya partai politik islam. Partai politik islam saat ini belum mampu menunjukkan etika politik islam yang dimaknai bahwa islam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan juga cita-cita negeri ini.

Muhammad iqbal pernah mengatakan : “Cita etika islam- ialah membebaskan manusia dari rasa takut, dan memberi kepadanya suatu rasa kepribadian, agar ia dapat menyadari bahwa ia sumber kekuatan”. Maka etika politik islam tidak lain adalah menyadari bahwa potensi umat islam adalah kekuatan bagi pencerahan dan kemajuan peradaban.

Jika realitas politik yang terjadi adalah sebaliknya, maka akan sangat sulit bagi umat islam mengembangkan cita-cita dan politik islam itu sendiri. Rendra menganalisa gejala ini diakibatkan oleh hilangnya nurani. Simaklah penggalan puisi rendra berikut : Negara tidak mungkin kembali diutuhkan/ tanpa rakyatnya dimanusiakan/ dan manusia tidak mungkin menjadi manusia /tanpa dihidupkan hati nuraninya. Nurani menjadi kata yang alfa di kamus pemimpin partai politik kita maupun politikus kita yang menjabat maupun yang akan menjabat dalam struktur lembaga-lembaga pemerintah kita.

Paradoks

Apakah perilaku politik sangat berpengaruh dalam membentuk budaya politik kita?. Atau sebaliknya agama islam yang tidak mampu memberi pencerahan bagi umatnya tentang makna dan hakikat politik itu sendiri?. Natsir pernah menuliskan dalam majalah Pembela Islam 1932 : Islam adalah peraturan pergaulan hidup yang memberi hak sama rata, memberi kewajiban juga sama berat atas segenap manusia penduduk ala mini. Peraturan mengangkat budi pekerti,mengurus rumah tangga, pergaulan dalam negeri,mengurus pemerintah dan kerajaan,mengurusi perhubungan mereka yang berlainan negeri ini,mendidik, memimpin, dengan tubuh semangat pencapai derajat kemanusiaan yang sepenuhnya.

Melihat apa yang ditulis natsir tersebut kita akan bisa berkesimpulan ternyata umat islam-lah yang justru perlu kita pertanyakan dengan sikap politik dan garis politiknya selama ini. Sampai kini realitas politik di negeri ini membentuk opininya sendiri. Padahal sejatinya, partai politik itu yang mestinya menyatukan antara tokoh dan masyarakatnya. Derajat kemanusiaan adalah barang langka, karena di negeri ini para politikus dan calonnya sudah melakukan hubungan intim untuk meneruskan visi kelompok, golongan dan partainya masing-masing. Maka realitas politik yang diciptakan oleh sebagian partai islam sangat tidak wajar ketika logika etik politiknya adalah bagaimana menguasai system keuangan dan menggerogoti negerinya sendiri.

Kebesaran yang ada pada umat islam adalah potensi, tapi kebanggaan akan hal tersebut akan melalaikan bahwa ada satu paradoks yang kentara ketika jumlah umat yang besar tidak mampu menunjukkan kerja peradaban di dalam bangsa yang penuh dengan berbagai persoalan. Cita-cita agama sebenarnya memiliki fondasi kuat dengan nilai-nilai yang abadi dan universal. Agama tidaklah cukup hanya difahami sebagai formula-formula abstrak tentang kepercayaan dan nilai . Ia menyatu dan menyatakan diri dalam hidup nyata para pemeluknya(nur cholis madjid : 90).

Harapan akan masa depan politik di negeri ini sebagaimana Muh. Hatta pernah bilang, tidak lain dan tidak bukan bertumpu pada pemuda indonesia. Sebab dari pemuda itulah lahir gagasan luhur, dan memiliki nurani yang murni dengan cita-cita idealismenya. Dalam indonesa merdeka ia menuliskan :
Pemuda indonesia adalah hati nurani bangsa yang berbicara jiwa bangsa yang menyala, yang akan mewarnai masa depan.


Harapan ini akan menjadi kenyataan jika antara partai politik islam, maupun umat islam membenahi dan menginsafi bahwa politik tidak mungkin langgeng jika bertumpu pada kekuasaan semata. Selain itu, perkaderan partai harus berubah dari mindset oligarki dan dinasti serta pragmatisme politik menjadi politik yang didasarkan kembali pada cita-cita bangsa dan politik nurani. Jika demikian, maka kemenangan islam yang pernah disuarakan oleh cak nur yang dimaknai sebagai kemenangan ide,cita-cita,dan sikap hidup umat islam benar-benar terwujud, bukan kemenangan umat islam yang semu dengan berbagai sirkus dan akrobat politiknya. (*)



*) Tulisan dimuatdi Gema-nurani 31 desember 2011

Senin, Januari 02, 2012

Sajak Cinta Dalam Sebait Kata


Judul buku : “Cinta, Kenangan, dan Hal-Hal Yang Tak Selesai”

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Tahun : 2011

Tebal : 235 halaman

Harga : Rp.41.225,00

ISBN : 978-979-22-7653-4


Sajak Cinta Dalam Sebait Kata

Oleh arif saifudin yudistira*)

Puisi adalah pesta,itulah pesta yang bertahan melawan musim,di tempat-tempat yang jarang dikunjungi orang-sebuah keriangan pesta bawah tanah(oktavio Paz)

Kumpulan sajak ini adalah pesta anak muda, anak muda yang sering tak mampu menuangkan hasrat, rasa, juga kelu lidah yang akhirnya mereka tuangkan dalam bentuk sajak. Pesta tak sekadar menghadirkan senyum, tawa atau pun mabuk yang tak tertahankan. Anak-anak muda dalam puisi ini, para penyair dalam kumpulan sajak ini tak hanya mabuk cinta, tetapi juga mabuk kata. Buku kumpulan ini adalah pesta kata, yang ingin mengungkap cinta dengan berjuta kata-kata. Cinta tak habis dengan kata-kata, cinta tak habis pula diperistiwa.

Kumpulan sajak ini tak salah jika diberi tajuk”Cinta, kenangan, dan Hal yang tak selesai”. Kumpulan sajak ini tak seperti yang kita kira, berhenti pada hand-phone kita, kemudian di kirim kepada kekasih kita, tapi ia akan melekat pada hati kita, peristiwa kita, karena sajak ini adalah gambaran manusia kasmaran, gambaran kita yang tak sempat memendam angan ketika dilanda kerinduan.

Bandingkan dengan pepatah jawa yang mengatakan : “Witing tresno jalaran soko kulino”(cinta itu berawal dari kebiasaan). Kebiasaan-kebiasaan kita mengungkapkan kata cinta seringkali hanya berdiam dicatatan keseharian kita, berhenti di memori handphone kita. Oleh karena itu, ketekunan pengumpul dalam sajak-sajak ini bukan hanya memberikan bukti bahwa kata-kata cinta patut diabadikan, patut dikabarkan, dan juga dikabarkan ,melainkan cinta itu tak pernah selesai dalam beribu zaman.

Zaman modernitas mengajak kita hadir dengan beribu riuh peristiwa, beribu riuh manipulasi, tapi modernitas juga menghadirkan ribuan kata-kata yang hadir sebagai ekspresi manusia yang mutakhir,cepat dan sekelebat. Media social yang hadir pun digunakan manusia untuk menuangkan ekspresi, rasa, juga berbagai peristiwa dihadirkan disana. Kumpulan sajak ini membuktikan, bahwa sastra cyber, tak kalah dengan sastra yang ada di media-media lain. Maka itulah, buku kumpulan puisi ini patut dihadirkan untuk merayakan dan mengabarkan cybernet tak beda dengan yang di Koran-koran, majalah-majalah dan lain-lain.

Sihir Kata Dan Pesta

Sebagai pengarang saya masih lebih percaya kepada kekuatan kata daripada kekuatan peluru yang gaungnya hanya akan berlangsung sekian bagian dari menit, bahkan detik”(pramudya). Beberapa penyair dalam sajak-sajak cinta yang dihimpun dalam buku ini percaya, cinta bukan perkara remeh dan hilang dalam sekejap mata. Pengarang dalam buku ini pun menyadari kekuatan kata sebagaimana pramudya berujar. Ia akan melesat kemudian hari, tak berhenti untuk menyapa, memanggil-manggil, ada cinta dalam buku yang kecil tapi berjuta makna ini.

Buku kumpulan sajak Cinta, Kenangan, Dan Hal Yang Tak Selesai,adalah sihir kata. Kata-kata dalam buku ini memberikan sihir, seolah-olah kita diajak melakukan perjalanan, peristiwa, hingga kita merasai ada imajinasi yang tak berhenti ketika-kata-kata tersebut dihadirkan. “cinta adalah lengan-lengan Tuhan, yang memelukkan kebahagiaan”(@sekedar kata). Dari kata-kata sederhana itu, tentu kita tak hanya akan berhenti pada satu tafsir,tapi seolah kita diajak berimajinasi dalam ruang yang luas, cinta memelukkan kebahagiaan.

Para penyair adalah denyut arus ritmis generasi-generasi. Para penyair ini berhak bersajak, berhak menyalurkan kata-kata mereka, perasaan mereka. Dan sajak-sajak ini berbeda dengan sajak-sajak penyair kenamaan. Penyair-penyair kenamaan cenderung menghadirkan sajak-sajak mereka buta, karena mereka tak peduli pada pembaca. Pembaca cenderung diajak bersusah payah, berkerut kening, dan melupakan sajak-sajaknya sendiri. Dari para penyair-penyair inilah, ritmis generasi modern dihadirkan, dan lebih menyapa pembaca dengan sajak-sajak sederhana. Singkat, padat, jelas, dan menyapa pembaca dengan imajinasi yang berguguran, peristiwa, juga makna yang tak sembarang.

Para penyair dalam buku ini berpesta, bukan untuk dirinya saja, tapi mencoba mengajak teman-teman, kekasih, rekan-rekan sejawat, karena dihadirkan dalam media social(twitter) dan kali ini pesta mereka menemui pembaca lain yang dihadirkan bersamaan hadirnya buku ini. Sajak-sajak ini pendek, tapi tak pendek usia, ia bisa jadi teman tidur, teman santai, sambil menerawang dan menerka-nerka makna cinta.

Cinta memang bukan hanya kata, tapi juga peristiwa yang tak lekang dimakan usia,sebagaimana buku ini dihadirkan, cinta pun demikian halnya. Buku kumpulan puisi ini adalah kata-kata sederhana, sesederhana cinta yang tulus tak meminta balas pada pencintanya. Maka sajak ini tak lain dan tak bukan adalah kumpulan sajak cinta yang meski diungkapkan dalam sebait kata-kata tapi ia tak lekang dimakan usia.

Terakhir kali, sajak-sajak ini memang pendek, tapi ia tak meluncur begitu saja, di dalamnya tersimpan peristiwa, menyimpan rasa, dan menyimpan duka. Sebagaimana Gunawan Muhammad berujar : “Puisi mengembalikan kata pada peristiwa”. Buku kumpulan sajak ini dihadirkan tentu dengan maksud mengekalkan cinta, yang meskipun berhenti dalam dua tiga kata, tapi tidak akan berhenti meski manusia dan yang dicintai mati meninggalkan kata cintanya.


*) Peresensi adalah Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, bergiat di komunitas tanda Tanya dan Pengajian Puisi.


*)Tulisan dimuat di koranopini.com 5 januari 2012