Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Rabu, Mei 30, 2012

Antra Solusi Dan Permasalahan Baru
Oleh arif saifudin yudistira*)
Tahun kemaren sebelum nikah. Dia mengajak aku bermain sepert itu lagi karena dia punya niat menggugurkan kandungan di perutku,dengan cara menindih perutku”
(Kisah perempuan malang,2012)
Begitulah ungkapan penyesalan seorang perempuan yang sudah menikah dini. Ia ditinggalkan suaminya, anaknya sudah lahir, dan kebutuhan jadi masalah utama. Suami yang diharapkan untuk menafkahinya justru pergi entah kemana. Pernikahan dini memang salah satu yang dianggap jadi solusi bagi persoalan dan gelora seks remaja masa kini. Seks jadi kebutuhan, tapi seks pun jadi persoalan baru. Seks yang muncul di usia dini karena tak ada alternative atau tak ada pilihan lain kecuali harus menikah. Pernikahan usia dini pun jadi pilihan, karena alasan yang sederhana tapi pelik. “daripada seks diluar nikah’,begitulah rata-rata masyarakat memandang. Pilihan itu diambil karena persoalan teologis adalah ancaman sekaligus jalan penyelamat bagi para remaja yang sudah tak tahan bergelora dengan pernikahan.
Desa menjadi tempat sekaligus ruang untuk menyuburkan nikah dini. Nikah dini menimbulkan persoalan baru baik dari persoalan ekonomi, hingga pada persoalan psikologis. Perempuan cenderung menjadi korban dari pernikahan dini tersebut.
Nikah dini adalah persoalan ekonomi, karena pernikahan dini di era saat ini berbeda jauh dengan nikah dini di jaman dulu. Jaman dahulu faktor produktifitas remaja dan juga faktor tradisi lebih dominan. Sedang persoalan ekonomi biasanya para orangtua lebih punya alasan yakni untuk menggarap lahan kosong mereka.
Sedang di era modern, pernikahan dini hanya sebagai jalan penyelamat saja ketika anak muda atau remaja sedang jatuh cinta untu menghindari zina. Alhasil, nikah dini jadi pilihan tapi mengundang persoalan. Kini,tanah kosong yang untuk digarap sudah tak ada lagi, lahan pekerjaan sudah semakin sulit, sedang kebutuhan untuk sandang,pangan, dan papan semakin mendesak saja bagi orang yang sudah berkeluarga.
Pada akhirnya
Pada akhirnya persoalan nikah dini yang jadi solusi tapi juga mengundang masalah baru ini bisa diselesaikan dengan program wirausaha. Wirausaha ini bisa dilakukan secara berkelompok maupun perseorangan. Apalagi kini, banyak wirausahawan muda dan milyader muda yang lahir dari kaum remaja. Para remaja ini bisa menggandeng orang-orang yang mau atau berkeinginan menikah ini dengan program kewirausahaan tersebut. Program ini barangkali adalah salah satu langkah saja menghadapi persoalan nikah dini. Program kedua adalah langkah prefentif dari hubungan di luar nikah dan program penyuluhan. Dengan memberikan paling tidak informasi dan pencerdasan tentang pernikahan dan bagaimana memanajemen keluarga. Hal ini akan mendorong para remaja menyalurkan gairahnya pada hal-hal positif dan bertanggungjawab. Dengan langkah tersebut, persoalan pernikahan di usia dini bisa diatasi.
Pernikahan dini adalah solusi bila dikelola dengan baik dan dimanajemen dengan baik pula. Akibat dan efek negative itulah yang semestinya diminimalisir. Sebab pada hakikatnya pernikahan adalah sacral dan bukan permainan belaka.

*)Penulis adalah Mahasiswa UMS, bergiat di bilik literasi mengelola kawah institute Indonesia

Jumat, Mei 25, 2012


Pura-Pura 


Oleh arif saifudin yudistira*)



Pura-pura seringkali jadi tabiat kita dan mau tak mau jadi kebiasaan yang sulit kita hapuskan. Bukankah hidup itu pura-pura belaka? Mengapa mesti kita bersandiwara begitu kata lagu. Tapi tak jauh beda dengan lagu, dunia kita pun sedemikian halnya. Dunia kuliah kita pun demikian,semakin menunjukkan kepura-puraannya. Betapa belajar jadi sesuatu yang pura-pura. Makanya plagiat, dan sebangsanya makin marak aja di dunia kuliah kita. Sebagaimana lagu iwan fals yang berjudul temanku punya teman yang mencerminkan refleksi dunia kuliah kita. 
Sarjana adalah gelar, sarjana adalah prestisius, dan jauh dari etos dan etik intelektual. Jangankan berspirit seperti hatta, apalagi seperti tan malaka, intelektual tak dipahami sedemikian jauh, intelektual itu kertas dan untuk cari kerja.

    Dosen-dosen kita pun mendoktrin demikian, dekati aku, masuk rajin, dan tugas dikerjakan maka nilaimu tak kasih A.Jadi tak ada yang menantang di dunia kampus. Mahasiswa pun demikian, tak merasa tertantang, kuliah jadi bukan belajar, tapi hiburan belaka. Waktu yang sia-sia diisi pula dengan kegiatan sia-sia. Mall jadi tempat yang asyik untuk nongkrong, diskotik jadi tempat hiburan yang asyik, negara jadi asing dalam pembicaraan, dan nasib rakyat jadi etalase-etalase di televise saja. Dan mahasiswa pun jadi kata usang dan sekadar lebel saja. 
Buat apa kuliah pintar-pintar toh tak ada jaminan, memang tak ada jaminan. Jaminan yang diberikan kampus tak lain simulacra semata. Seolah-olah semata, dunia kampus jadi seolah-olah. Seolah-olah masuk kelas dan belajar, tapi tak ada yang dihasilkan, atau diciptakan. Sebab dunia kampus tak diajak untuk menciptakan, tapi untuk mengkonsumsi. Konsumsi inilah yang dikritik oleh pemikir pendidikan kita, tapi apa ada hasil?. Pendidikan memang ruwet, pertanyaannya apakah kita mau ikut ruwet?.Seolah-olah kita menolak ikut ruwet, tapi diam-diam kita ikut dalam keruwetan yang dibuat oleh dunia pendidikan kita. Lihat saja betapa stress nya mahasiswa yang lulus dari ribuan kampus dan fakultas sulit mendapat pekerjaan. Padahal menurut mereka, mereka sudah tak ikut ruwet, tak ikut organisasi, tak ikut baca buku, tak ikut diskusi, apalagi orasi, tapi malah tambah ruwet masa depannya.Jangan heran negeri ini memang sudah ruwet, pilihannya ada dua saja. Mau menambah daftar masalah dan pengangguran atau keluar dari masalah, dan menciptakan arus sendiri agar tak bikin ruwet negara. Negara sudah terlalu ruwet dengan permasalahannya selama ini, jadi jangan ditambah lagi dengan keruwetan kita. Apa yang sebenarnya dicari dan ada di dunia pendidikan kita jika dunia pendidikan kita tak berpura-pura?

Ki hajar dewantara

Buka-bukalah cerita, riwayat, hingga kisah perjalanan tokoh negeri ini. Ia adalah bapak radikalis gerakan Indonesia. Ia menuturkan tentang perguruan, perguruan itu tak hanya tempat belajar yang lekat dengan dunia yang terpisah dari masyarakat, tapi ia mengajarkan perguruan itu menyatu dengan masyarakat kita. Ia lekat dengan persoalan di sekitarnya. Maka prinsip-prinsip ki hajar sederhana pendidikan itu berakhlak, pandai, melawan tirani, dan juga mandiri. Maka hasil pendidikannya pun bisa dilihat. Sukarno, hatta dan syahrir adalah tokoh yang tak langsung belajar dari dia. Ia adalah sosok guru bangsa yang tak hanya bicara textbook thinker, tapi juga social thinker. Ia tak hanya pengunyah buku, tapi juga orator ulung dan jelas berkontribusi terhadap bagaimana negerinya berkembang. Dimana posisi kita sekarang, dan masa lalu kita, sampai posisi kita kedepan seperti apa mesti terus jadi pertanyaan yang didengungkan di tiap malamnya. 

Keberadaan dan eksistensi mahasiswa sebenarnya merupakan pilihan masing-masing mahasiswa itu sendiri. Semangat zaman kita(zeitgeist) berbeda dengan semangat zaman orang-orang dulu, tapi itulah tantangan kita, akan lebih maju dari orang tua kita dulu, atau ikut arus zaman yang kian mendorong kita kearah kemunduran. 

Kembali pada dunia kuliah kita, pilihan itu di depan mata, mau pura-pura kuliah dengan politik picisan mendekati dosen, dengan menuliskan score sendiri, atau berkembang di organisasi, dengan berbagai wacananya menganalisis perkembangan bangsa dan negerinya, serta kampusnya serta bergerak melakukan sesuatu?. Pilihan itu ada di depan kita, jelas dan terang benderang. Bukankah soe hok gie tak lepas dari buku,pesta,cinta?. 

Dunia kuliah itu adalah dunia buku, tapi tak melupakan pesta hingga persoalan cinta pada sesama dan rakyatnya. 

Pura-pura memang mengasyikkan, tapi jadi semu. Apa yang dicari dari kepura-puraan di dunia kuliah? Tak ada, melainkan merumuskan kematian kampus itu sendiri. 

       Lihatlah betapa dosen berpura-pura mengajak mahasiswa dan lingkungannya pura-pura berislami lewat himbauan ala anak-anak tk. Dilarang merokok, dilarang memakai busana islami(padahal koko dari china), dilarang sandal jepit, kayak anak kecil saja. Yah, slogan-slogan itu adalah kepura-puraan yang dikemas dengan label kampus islami. Kalau tak demikian doktrin ala pejabat pun dikeluarkan, mahasiswa harus berpakaian rapi, menurut apa kata dosen, dan jangan melawan kuliah yang rajin. Pertanyaannya simple saja, dimana intelektual-intelektual negeri ini dan intelektual-intelktual di kampus-kampus muhammadiyah?. Ketika negeri ini makin tak berdaya, sampai-sampai buya syafii maarif mengatakan perahu bangsa ini mau roboh dan ia menyesali tak banyak berbuat di masa beliau jadi ketua PP muhammadiyah. Dimana kampus muhammadiyah dan kampus pada umumnya yang mestinya malu melihat peradaban makin tak beradab. Jika mengaku kampus islami, mestinya ini segera diselesaikan!. Bukankah kita kholifatul fir’adl? Jika tak mau, berarti kita hanya pura-pura saja. 


*)Penulis adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, bergiat di bilik literasi solo, presidium kawah institute Indonesia  

*)Dimuat Di BUlletin Ora weruh Edisi Tiga 

Sabtu, Mei 19, 2012



Agama dan Belenggu Pemikiran

Oleh arif saifudin yudistira*)
 
Diskusi yang rencananya digelar dibalai soedjatmoko Acara diskusi yang menghadirkan tokoh feminis asal Kanada, Irshad Manji, gagal digelar setelah diprotes Laskar Umat Islam Surkarta (LUIS), Kamis (3/5/2012). Semula diskusi ini akan digelar pada tanggal 8 Mei 2012 di Balai Soedjatmoko, Gramedia, Solo. LUIS menganggap Irshad Manji sebagai tokoh feminisme yang memusuhi Islam dan pro dengan paham lesbianisme, liberalisme dan feminisme. "Bisa kita lihat dalam bukunya yang berjudul the Trouble with Islam, dan dia menyetujui hubungan sesama jenis yang dalam Islam harus ditentang," kata Edi Lukito, Ketua LUIS. (kompas.com,3/5/12).

            Bagiku agamaku bagimu agamamu(Al-kaafiruun : 6). Ada ketegasan dalam al-qur’an. Pilihan dan hak asasi manusia adalah memilih keyakinan dan untuk beragama. Agama kini sudah tak murni, pendapat ini mungkin disengkal dengan berbagai pernyataan keras. Agama yang ada kini diterjemahkan, diinterpretasikan, dan dipertentangkan. Ide-ide, pemikiran adalah perintah agama. 
Iman adalah fondasi dari kita beragama. Maka  orang yang beriman mesti memadukan antara kekuatan dan karunia akal kita untuk menafsirkan agama. Tafsir itulah yang dengan begitu banyak persepsi menimbulkan berbagai perbedaan dan kadang konflik.
              Agama di negeri ini seringkali tak lagi menunjukkan betapa dewasanya masyarakat kita. Kekerasan cenderung dipilih daripada dialog. Saya sebagai muslim mengilhami pesan damai islam. Kita mesti memahami bahwa agama kita di jaman akhir akan terpecah dalam 73 golongan. Dan hanya satu golongan yang lurus. Maka tak heran, muncul berbagai kelompok yang menggunakan agama sebagai pegangannya tapi cara dan prakteknya berbeda. Kita mengenal istilah islam kanan dan islam kiri. Dari golongan islam versi fundamentalisme, sampai pada islam radikalisme, dan islam reformis.
          Maka tak heran, Indonesia adalah tempat paling subur dalam menerima dan tempat asimilasi dan akulturasi sekte, agama, hingga kelompok-kelompok agama. Perbedaan itu mestinya adalah rohmah, sayang tak setiap individu, kelompok, hingga organisasi keagamaan dewasa dan jernih menghadapi ini. Kita mengenal budaya sinkretis inilah yang mampu membuat islam mudah diterima dengan masyarakat jawa dan juga budaya masyarakat hindu pada waktu itu. Sejarah mengajarkan kita bahwa tradisi mestinya tak bertentangan dengan agama. Agama islam pun mengakui tradisi millah Ibrahim dan mensyariatkannya dalam idul adha, idul qurban. “Seandainya nabi Ibrahim itu orang muhammadiyah, pasti tidak ada idul qurban sampai saat ini, karena idul qurban kan diwahyukan melalui mimpi, lah orang muhammadiyah kan tidak percaya mimpi”(MT.arifin dalamdiskusi). 
             Satire itu seperti menegaskan, bahwa entah muhamamdiyah atau organisasi islam yang lain, perlu kiranya belajar dari Rosululloh Muhammad SAW. Siroh nabawiyah yang ditulis ulama  Syafiyyurahman Al-Mubarakfuri, kita memahami bahwa Rosululloh sangat elegan dan sangat bijak menghadapi umat kafir. Dialog dan pemikiran yang tegas adalah solusi yang perlu dikedepankan. 
Dialog dan musyawarah itu yang mencerminkan bahwa Islam itu tetap tinggi dan tidak ada yang meninggiinya. Dengan dialog itulah kita tak hanya mencerdaskan dan mencerahkan public melalui kesadaran kritisnya. 
Bila upaya diskusi dan dialog melalui forum akademik (al-il’mi) sudah dibendung dengan upaya-upaya penolakan, maka islam akan dipandang kerap dengan nilai-nilai kekerasan dan juga tak identik dengan perdamaian.
 
Belenggu pemikiran


         Menutup diri dari diskusi keilmuan dan dialog bukan hanya mengkerdilkan umat islam itu sendiri. Melainkan juga menandai bahwa islam sudah mundur jauh. Sukarno pernah mengatakan : Islam itu harus berani mengejar zaman, bukan seratus tahun, tapi seribu tahun Islam ketinggalan zaman, Kalau Islam tidak mampu buat mengejar seribu tahun itu,niscaya ia akan tetap hina dan mesum. Bukan kembali pada zaman kekhalifahan,tetapi lari ke muka,mengejar zaman – itulah satu-satunya jalan menuju gilang kembali” ( Soekarno ). Ungkapan sukarno itu ternyata hadir kembali di jaman saat ini. Dulu, di masa pra kemerdekaan perang ideologi dan perang pemikiran sudah sering terjadi. Hingga sukarno terpojok dan mengatakan : ”sesungguhnya bila kalian tengok hati saya terdalam adalah islam”. Jadi ketika umat islam sendiri lebih mengedepankan otot daripada otak, atau lebih mengedepankan kekerasan tapi daripada pikiran dan dialog, maka umat islam tersebut berarti tak mengilhami kembali pesan Rosululloh,SAW.
Dialog dan tukar pemikiran yang baik akan menjadikan kita kaya khasanah tanpa harus menjadikan kita jadi berubah atau keluar dari prinsip-prinsip kita. Pemikiran feminisme dan liberalisme yang kini di dunia kontemporer ramai diperbincangkan perlu direspon oleh pemikir islam tak hanya di barat tapi juga di timur. Bila indonesia kedatangan irshad manji kemudian geram dan berdialog dan menghadirkan pemikir islam solo atau indonesia pada umumnya itu justru menggembirakan. Tapi ketika dengan datangnya irshad manji kemudian ditolak dengan alasan ia pemikir islam liberal, maka itu tak menghargai dialog dan diskusi.
Itulah mengapa islam mempertinggi derajat orang yang berilmu tinggi. ”Alloh akan mempertinggi derajat orang berilmu beberapa derajat”(al hujarat 11).Sayang pesan Al-qur’an ini belum begitu membumi. Sehingga kehadiran pemikir islam barat lebih sering dihadang dengan pendapat dan opini diluar dan bahkan lebih keras lagi dengan penolakan ekstrim. Upaya demikian tak lain adalah upaya yang keluar dari jalur agama. Dan yang pasti justru membelenggu pemikiran kita sendiri. Maka menanggapi penolakan Irshad manji menunjukkan agama ternyata lebih berkesan membelenggu daripada membebaskan dan memerdekakan. mengutip ulil absar abdala : Iman yang kuat tak akan takut pada keraguan. Iman yang dangkal dan dogmatis selalu was-was pada pertanyaan dan keragu-raguan”.

 


*)Penulis adalah Aktifis IMM SOLO
 


  

Senin, Mei 14, 2012


Sesat Pikir Dan Lelayu Akademik
Oleh arif saifudin yudistira*)

Kabar duka baru saja mengemuka di solo. Diskusi dan bedah buku Gerwani Kisah Tapol wanita di Kamp Plantungan yang rencananya diadakan di balai sudjatmoko sabtu (12/5/12) dibatalkan karena desakan polisi.Menurut kabar, polisi di desak ormas yang menilai diskusi buku tersebut tak layak di selenggarakan dan kemudian mendesak balai sudjatmoko membatalkan agenda diskusi.
Sebelumnya secara beruntun kekerasan terjadi di dunia akademik kita.Penolakan bedah buku Alloh,cinta dan kebebasan karya Irshad manji yang rencana diadakan di balai sudjatmoko(8/5/12)dibatalkan oleh LUIS(5/5/12). Kemudian di Jakarta pembatalan diskusi serupa dibubarkan polisi(4/5/12) dan di jogja pun demikian halnya(9/5/12). Pembubaran maupun bentuk penekanan yang terjadi selama ini lebih didasarkan pada motif arogansi dalam masyarakat kita. Dimana letak kebebasan akademik dan kebebasan menyuarakan pendapat jika diskusi dan dialog sudah dianggap sebagai suatu ancaman.
Kekerasan yang dikedepankan mencerminkan bahwa moralitas akademik sudah tak ada dalam masyarakat kita. Apa jadinya bila bangsa yang berbudaya dan beragama lebih mengedepankan kekerasan?. Agama lebih dianggap sebagai momok dan juga monster menyeramkan. Dialog yang menjadi kunci dan ciri orang beragama sudah dilupakan begitu saja. Apa jadinya bila orang beragama lengkap dengan pakaian dan senjatanya hanya untuk menyerang orang mau berdiskusi dan berdialog?. Ada kesalahan paradigma yang mendasari mereka melakukan perbuatan tersebut. Sudah sejak jaman nabi-nabi dahulu, dialog dan diskusi adalah strategi yang diutamakan daripada kekerasan dan pedang. Nabi Muhamamad SAW adalah contoh yang nyata. Bila diijinkan nabi Mohamamd SAW, jibril akan menimpakan gunung uhud pada kaum quraisy, tapi nabi lebih memilih berdoa agar orang kafir mendapat hidayah. Kekerasan adalah  cara yang ditempuh bagi orang yang lemah kata Gandhi. Maka dialog dan musyawarah dan diskusi intelektual adalah jalan yang mesti di kedepankan.
Sesat pikir
Ada semacam fenomena sesat pikir di kelompok yang mengedepankan kekerasan dan tak sepakat dengan dialog. Iman adalah sesuatu yang mutlak dalam diri, tapi alangkah nistanya bila iman hanya berlandaskan pada dogma dan dalil yang sempit semata. Bukankah sudah ada sejarah para nabi kita yang menggunakan akal untuk mencerna, memahami dan menghayati setiap peristiwa dan ayat tuhan di alam ini. Agama sekali lagi bukan dan tidak mengajarkan pemberangusan apalagi menggunakan cara-cara kekerasan menghadapi diskusi. Diskusi dan dialog semestinya dilawan dengan dialog. Maka harus kita tegaskan bahwa kekerasan dalam dunia akademik di ruang public melalui bentuk-bentuk pelarangan, penekanan, intimidasi sampai pada tahap pembubaran orang berdiskusi dan berdialog adalah sesat pikir yang mesti diluruskan. Dalil agama mestinya tak disalahgunakan hanya untuk melegitimasi perbuatan mereka. Agama terlampau kotor bila digunakan untuk melegitimasi perbuatan mereka.
Agama semestinya lebih mengedepankan dialog dan juga diskusi intelektual. Bukankah islam pun mengajarkan “katakan kebenaran walau pahit”?. Agama apapun pasti tak mengajarkan cara-cara kekerasan dalam menghadapi sesama manusia. Untuk apa beragama bila pedang dan darah lebih dikedepankan daripada perdamaian dan cinta kasih?. Bukankah agama mengajarkan demikian?. Seorang pemikir anti kekerasan dom holder camara mengatakan dalam bukunya “spiral kekerasan” : “Apapun agamamu,cobalah berusaha agar agama membantu menyatukan umat manusia, bukan untuk memecah belah”.Setidaknya itulah ajaran agama kita, bukan sebaliknya justru mengedepankan pedang daripada pikiran dan hati kita.
Arogan
            Sikap pembubaran diskusi yang ada di solo, jogja dan Jakarta adalah bentuk arogansi semata. Hal ini bukan tidak berdasar, melainkan Negara kita bukan Negara agama. Justru karena Negara kita bukan Negara agama, mestinya kita menghormati hak-hak orang beragama menjalankan keyakinannya. Apalagi di forum intelektual, bila ingin menggugat, gugatlah dengan cara-cara akademik dan dialog. Bukan dengan membubarkan paksa, pembubaran paksa adalah cara-cara yang memicu kekerasan. Intelektual mestinya sejajar dengan iman. Bila iman tidak bisa diterima dengan rasionalitas maka iman tersebut mestinya diragukan. Oleh karena itu, pembubaran diskusi dan juga bedah buku adalah bentuk arogansi yang mendasarkan pada ego kelompok yang dipicu dengan semangat agama yang melenceng.
            Pembubaran diskusi dan bedah buku irshad manji dan bedah buku gerwani yang ada di solo dan Jakarta serta jogja adalah representasi kematian akademik. Artinya, akademisi dan juga manusia sudah tak lagi mempunyai moralitas dan nalar akademik yang maju. Bila sikap seperti ini masih berkembang dan ada di negeri ini, maka konflik dan juga kekerasan akan semakin rentan terjadi di negeri ini. Persoalan ini hanya bisa diselesaikan dengan menghidupkan kembali ruang-ruang dialog dan juga forum kerukunan umat beragama. Agar nalar akademik dan juga nalar intelektual lebih dikedepankan daripada kekerasan. Kekerasan hanya akan membuat kerukunan makin sulit diusahakan.
            Terlebih lagi, dunia akademik mestinya tidak mengembangkan doktrin dan juga pemikiran yang sempit. Kebebasan akademik mesti dikembangkan, kampus mesti mengawali, bahwa setiap pemikiran mesti dihargai dan dihormati. Kita tidak membicarakan pro dan kontra, setuju atau tidak, diskusi adalah cara intelektual untuk mencari dan menemukan kebenaran. Bila tidak demikian, maka ilmu dalam dunia akademik kita tak lebih dari sekadar doktrin dan dogma semata. Kampus itulah yang mesti mengawali, kasus di UGM adalah peristiwa yang mencoreng dunia akademik kita.
            Jika kampus yang semestinya menjadi corong dan gerbong untuk ruang akademik dan kebebasan akademik sudah memiliki pemikiran yang sempit. Maka ini adalah tanda bahwa lelayu akademik itu sudah ada di dunia akademik dan ruang public kita.

*)penulis bergiat di bilik literasi solo, mengelola kawah institute Indonesia 
*)Tulisan dimuat di Solo POS Selasa, 15 mei 2012