Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Kamis, Maret 29, 2012

Jalan Keluar Kepedihan



Oleh arif saifudin yudistira*)

Maaf aku sering tak mengangkat teleponMu(Lost In You). Puisi-puisi nurhayat arif permana adalah puisi sederhana yang ditulis dengan tinta kepedihan. Kepedihan dalam puisi diatas mencerminkan, bahwa kehilangan separuh jiwa yang ditautkan pada Tuhan diungkapkan dengan kalimat dan bait yang sederhana. Kepedihan seorang hamba pada sang kholiq sering tak terjawantahkan dengan berbagai absurditas zaman. Zaman menghilangkan dan melupakan panggilan sang Maha Kuasa, maka puisi ini adalah penyesalan hamba karena tak menjawab peringatan, tak menjawab petunjuk hingga sebuah pesan yang datang di ala mini.

NAP tak hanya menceritakan narasi-narasi kepedihan yang ada dalam relasi dia dengan Tuhan, akan tetapi sebagaimana penyair yang tak melepaskan diri dari lingkungan keluarganya, ia pun berkisah tentang do’a seorang ayah kepada anak. Do’a itu dilukiskan dengan indah dalam puisi nya berikut ini : … Ndit,jadilah kesatria bagi mereka/hingga terkuras keringat di jiwa. (Dongengmu Anak-anakku menyadarkanku pada Tetirah).

Saya tak mengerti mengapa kepahitan, kegetiran dan kepedihan jadi suatu sajak yang mengalir indah, tapi keras seperti batu. Puisi ini memang dipersembahkan untuk emak yang selama ini taka sing dalam kehidupan kita. Emak bagi NAP mungkin sudah menghilang dan meninggalkannya, tapi ia ingin mengabadikannya dalam puisi ini. Keindahan penyair dalam melukiskan kepedihan jadi kata-kata yang renyah tapi merasuk ada dalam puisinya Menunggumu Malam-Malam ; saat emak sakit : …Aku sendiri/semalam menunggu kabar/dalam putaran waktu yang ghaib/ dalam kekhawatiran yang galib. Imajinasi pengarang bukan hanya membawa pada keindahan estetis dalam kata, tapi juga mengemas kepedihan yang terangkum dalam sebaris rima yang membuat imajinasi kita terbawa dengan apa yang dirasakan penyair.

Energy Dalam Puisi

Energi dalam buku puisi ini memang diharapkan berbeda dengan buku puisi sebelumnya yang menurut penyair tak menemui pembaca. Puisi akan menjadi bermakna ketika menemui pembaca dan menyapa pembaca. Buku puisi ini memang dikemas dengan bahasa yang sederhana, ditulis dengan penuh kepedihan, tapi menghadirkan kenangan, mengingatkan kita akan peristiwa masa lalu, dan mengajak kita merenungi diri kita dan lingkungan kita.

38 puisi yang dihadirkan NAP mengisahkan tak hanya pesan untuk kawan, pesan terdalam seorang ayah, pesan untuk mendiang ibu. Ibu adalah air mata yang tak pernah berhenti memberikan inspirasi, kasih, tapi juga air mata kepedihan yang tak bisa dilupakan. Kepedihan mengingatkan kita pada bagaimana kehidupan telah berjalan. Puisi ini bukan puisi kematian, tapi puisi yang mengajak kita kembali pada hakikat kehidupan. Orang boleh saja mati, tapi hidup memang harus berjalan dan harus dijalankan. Kematian tak membawa kita justru terpendam dan mati dalam keterlenaan hidup yang memilukan, tapi lewat puisi ini NAP mengajak kita, kematian adalah refleksi sekaligus energy dalam mengolah kata dan berbagi dengan karya.

Usia

NAP penyair yang sudah tua. Tapi energy kata dalam tubuh penyair tak mati begitu saja, ia rajin menguliti setiap kenangan, peristiwa hingga ikhtiar mengabadikan peristiwa. Lihatlah betapa gaya yang romantic muncul dalam puisi berikut : Cangkang …………..:Dunia luar memang gamang/ dan mengkhawatirkan,sayang/tetapi tetas itulah yang /sempurnakan kodrat. Ia lincah memadukan hal yang intim dalam hidup kesehariannya, peristiwa bertahun-tahun diringkas dalam beberapa kata saja. Kegelisahan akan jaman dibagi bersama istri sebagai penyempurnaan kodrat.

Di usia tua itulah kita menemukan penyair mengalami kesadaran bahwa tak mungkin kodrat dilalui dengan kesendirian tanpa istri. Istri adalah cangkang yang melindungi dan membawa kehidupan penyair bisa melampaui dan melewati hidup yang gamang. Kegamangan, kekhawatiran tak jadi alasan untuk berhenti pada hidup yang penuh ketidak pastian, isteri adalah kesatuan yang dijadikan alasan untuk mencapai kesempurnaan di usia senjanya.

Pedih namun Lembut

NAP memang berkisah kepedihan-kepedihannya. Tapia ia mengemasnya dalam kelembutan kata, berharap sampai pesan yang ia sampaikan pada pembaca. Ia seakan mengajak pembacanya tak hanya menyudahi membaca bukunya tapi juga merasakan apa yang dirasakan penyair. Dalam puisi metamorphosis(1,2,3,4,5). Penyair mengalir dengan sajak yang lembut,pelan dan tak tergesa-gesa mengisyaratkan perubahan yang mesti dilakukan lewat tapa brata untuk menjadi manusia mulia.

Berbeda dengan metamorphosis(1,2,3,4,5) dalam puisi “Lost in happiness, Lost in movement, Lost in Trust, Lost in you, Lost in world, Lost in mind, hingga lost in control. Ia dengan tenang dan kalem mengungkapkan kesedihan, kepedihan, hingga sosok yang hilang. Dalam lost in control itulah sepertinya ia mengajukan Tanya pada dirinya : “bisakah panas setahun/ dibalas dengan hujan sehari. Bait ini mengakhiri bahwa mustinya kehidupan yang lurus berjalan lurus, tapi karena kehilangan berbagai rasa tadi, apakah mesti dibalas dengan satu peristiwa yang menghancurkan?.

Pada titik inilah, penulis mencapai klimaks kepedihan, ditutup dengan stanza lara. …dengan sayap separuh patah/sendiri tanpa kemudi, tanpa kendali/.Pada bagian inilah penyair menutup antologi kepedihannya mengajak berbagi pada kita semua, tentang bait kesedihan yang diuraikannya dari awal hingga akhir buku ini. Buku ini memang antologi kepedihan, tapi tak mencoba mengajak kita terus berpendar dalam kepedihan, ia hanya oase di tengah gemuruh hidup yang tak lama ini. Puisi ini mengekalkan kepedihan, untuk mengajak kita keluar dari kepedihan itu, bukan larut di dalamnya. Begitu.

*) Penulis adalah Pecinta sastra, bergiat di bilik literasi belajar di Universitas muhamamadiyah Surakarta

Minggu, Maret 18, 2012

Hak Mempertanyakan Tuhan



Jauh sebelum agama-agama samawi datang ke indonesia, masyarakat Indonesia sudah memiliki semacam kepercayaan dan agama sendiri yang orang menjalankan itu dengan penuh keyakinan. Khasanah luhur dan kaidah-kaidah kehidupan itu masih bisa kita jumpai ketika kita mengunjungi gunung-gunung di seluruh negeri ini. Akan ada upacara-upacara keagamaan,juga acara-acara kemasyarakatan yang berkaitan dengan tradisi yang diwariskan untuk menjaga keseimbangan alam. Bagi sebagian orang,tentu ini akan menjadi bermasalah ketika dihadapkan dengan persoalan agama dan keyakinan. Bahkan mereka menilai upacara dan ritual tradisi mereka adalah bid’ah, mitos, dan lain sebagainya. Padahal negeri kita pun sangat kaya dan dibangun oleh mitologi yang hidup di masyarakat. Sayangnya tak banyak agamawan atau intelektual yang kemudian meneliti dan mengkaji lebih jauh mitos itu sehingga tak lagi menjadi mitos tapi menjadi pengetahuan yang sangat lentur jika diperbincangkan. Pengetahuan terbuka terhadap kritik, terbuka terhadap segala interpretasi akademik.

Di era modern saat ini, negara menjadi gagap dan latah menanggapi persoalan dan isu-isu yang berkaitan dengan persoalan agama dan persoalan ketuhanan. Meskipun negara sudah menjamin warganya untuk memeluk agama dan menjalankan keyakinan dan agama tersebut, dalam pasal 29 UUD 45 ternyata tak mampu menjadikan negara sebagai pengayom yang baik dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Hak asasi manusia yakni dalam memeluk agama belum mampu diberi payung dan jaminan ketentraman dan kenyamanan bagi pemeluk agama dan keyakinan itu. Kita mengikuti persoalan ahmadiyah, kasus lia eden, hingga kasus paling modern yang berkaitan dengan keyakinan atau hak seseorang dalam beragama yakni kasus Alexander Aan.

Ini menunjukkan ternyata masyarakat kita tidak mau mengkaji ulang sejarah bangsanya ketika jauh sebelum masuk agama-agama samawi. Persoalan agama adalah persoalan pribadi dan kerajaan pada waktu itu hingga masyarakatnya sangat toleran. Data-data dan fakta ini bisa kita temui justru di penelitian para sarjana-sarjana barat yang mengagumi dan takjub akan khazanah dan kekayaan Indonesia. Dokumentasi prof. santos ilmuwan jepang yang mengkaji bahwa negeri ini adalah pusat lahir dan berkembangnya kebudayaan atlantis membuktikan bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang berbudaya. Kita juga menemui dalam catatan Raffles dalam history of java, yang memberikan catatan paling komprehensif bagaimana negeri ini berkembang setelah kolonialisasi.

Pertanyaan Alexander aan yang ditulis Koran tempo(1/3/12) bertajuk “Ateis membawa Alex ke penjara”menjadi sesuatu yang ironi. Apakah negara berhak mencampuri persoalan pribadi dan juga persoalan keyakinan seseorang?, bagaimana ketika dibenturkan dengan kewajiban negara melindungi segenap warganya dengan berbagai keyakinannya yang dijamin undang-undang?. “Tuhan dimana”?,”Tidak ada Tuhan”,Dimana Tuhan? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang menyeret alex masuk penjara. Kita mengetahui pencarian tuhan dalam ajaran-ajaran agama tidak berhenti dalam satu waktu. Hampir semua agama-agama samawi, nabi-nabi mereka mengalami proses pencarian tuhan itu sendiri. Lalu dimanakah letak dan posisi agama jika dihadapkan dengan persoalan yang cukup pelik yakni aturan yang dibuat manusia sendiri yakni UU?.

Pertanyaan alex sebenarnya adalah pertanyaan kita semua, mengapa ada agama jika memang kejahatan dan juga kemanusiaan tak kunjung menemui jawabannya?. Pertanyaan alex pun relevan dengan apa yang dihadapi bangsa ini, dimana tuhan? Ketika semua agama dan manusia beragama tak mampu menyelesaikan persoalan justru semakin membuat dunia ini tak nyaman dan semakin marak kejahatan?


Tulisan Soe tjen marching di Jakarta Globe yang berjudul “Who are the atheists in indonesia?” menunjukkan beberapa persoalan penting mengapa kita masih ribut pada persoalan atheis dan theis?. Ia mengatakan : “Dengan kata lain, orang beragama adalah ateis ketika dihadapkan kepada tuhan dari agama lain”. Jadi kita semua adalah atheis jika ditentangkan dengan keyakinan lain karena tuhan kita berbeda. Jika memandang apa yang dialami alex aan, kita menemui ada semacam kerancuan atau sesat pikir oleh negara yang justru tak bisa memahami bagaimana alex yang mempertanyakan keyakinannya sendiri.

Mencari Keadilan

Jika apa yang dialami Alex dan juga berjuta-juta orang yang melakukan pencarian dan permenungan tentang ketuhanan di Indonesia harus memasuki sel penjara, lalu dimana letak keadilan sebagai warga negara maupun sebagai individu yang memiliki hak asasi untuk meyakini agama tertentu dan juga menjalankan keyakinan agama tersebut?. Bagaimana mungkin jika seseorang memeluk agama tapi tak mendalami siapa yang disembah? Untuk apa menyembah? Dimana yang disembah?. Alangkah naifnya jika keberagamaan kita tak memahami persoalan dan substansi kita beragama.

Kita rasa-rasanya perlu belajar kembali persoalan demikian dari presiden pertama kita yang ditulis dalam disertasi berhard dahmn. “Islam yang hanya bisa hidup apabila dilindungi atau didukung oleh negara,bukanlah islam”. Sukarno memahami betul, agama apapun itu yang hanya bisa berkembang bila dilindungi payung negara, ia bukanlah agama.Pernyataan keras sukarno relevan hingga kini jika dihadapkan dengan kasus Alex aan. Alex aan beragama islam dalam KTP-nya, tapi jika ia mempertanyakan keyakinannya ulang, tak ada salahnya. Sesuai dengan ajaran islam pula “tak ada paksaan memasuki agama islam”. Jika ada umat islam yang merasa terhina, dan menggunakan payung negara, tak ada salahnya kita tengok ulang dan pelajari kembali substansi ajaran islam sebagaimana yang diucap sukarno, sebab agama tak bisa hanya dibatasi dengan aturan negara, tapi negara berhak memberikan kebebasan dan menjamin warganya untuk menjalankan keyakinan dan kepercayaannya. Atau pernyataan dalam agama islam yang ada alam Al-qur'an yakni "bagiku agamaku bagimu agamamu". Lalu dimanakah keadilan bagi alex, atau keadilan bagi seorang atheis secara umum. Jika memang di negeri ini ternyata para atheis belum sepenuhnya bisa menjalankan keyakinannya atau melanjutkan pencarian spiritualnya?.

*)Penulis adalah aktifis IMM SOLO, presidium kawah institute indonesia

*)Tulisan hadir di SOLO POS jumat 16 maret 2012

Minggu, Maret 11, 2012

Sumpah Menulis!!!


Aku telah, tetap, dan akan terus menjadi pengarang! (Pramoedya Ananta Toer).

Sumpah adalah pernyataan dan hakikat pergumulan tekad, perwujudan hasrat hingga pada kebulatan niat untuk melakukan sesuatu. Sumpah adalah konsekuensi dan menuntut tanggung jawab para pengucap sumpah. Dalam kehidupan kita sumpah erat dan intim dengan persoalan religiositas manusia yang berhadapan dengan Tuhannya. Sumpah sebagai tanda perwujudan kepasrahan sekaligus tantangan manusia menjadi manusia tangguh. Dengan sumpah itu pula manusia menghilangkan dirinya dan meleburkan dirinya kepada tekad, usaha hingga keputusan Tuhan.

Mengapa penulis mesti mewujudkan dirinya atau meleburkan dirinya untuk mengucap sumpah menulis? Barangkali pertanyaan ini pun sulit dijawab bagi para penulis atau orang yang mau bertekad menjadi seorang penulis. Mengapa pula orang mesti menulis? Untuk apa menulis? Pertanyaan tersebut menemui para penjawabnya, menemui para penulis itu sendiri setelah mengalami permenungan, penghayatan, hingga refleksi yang mengental untuk mengucap sumpah menulis dan menjawab pertanyaan mengapa ia harus menulis. Penulis memiliki hak untuk menjawab dan menentukan untuk apa ia mesti menulis. Kehadiran dan keputusan seseorang untuk menulis menimbulkan risiko, tanggung jawab hingga pada gangguan atas pertanyaan tersebut. Bahkan kegelisahan yang tak henti yang menimbulkan kreativitas selanjutnya sehingga ia menghasilkan kreativitas dan tulisan berikutnya.

Luka dan Memoar

Poppy Donggo Hutagalung pernah menceritakan tentang kepenulisannya. "Kami akan mati kering bila menggantungkan hidup pada penghasilan mengarang atau menyair. Berpikir ke arah itu saja sepertinya tak berani. Untuk sebuah buku dongeng saya harus menunggu sekitar satu tahun. Jadi, bagi saya tak ada kemungkinan menggantungkan hidup pada mengarang, apalagi menyair. Walaupun demikian, dunia kepengarangan dan kepenyairan tetap menarik hati saya, sekalipun nantinya saya tidak mampu lagi mengarang" (1983). Menulis menyimpan derita, luka hingga memoar pahit bagi Poppy Donggo Hutagalung. Kisah ini adalah sepenggal kisah yang menuntut bahwa dunia kepenulisan adalah siksaan dan tragisme.

Seorang penulis novel best seller dari Solo pun mengisahkan cerita yang tidak jauh berbeda, ia harus berhadap-hadapan dengan kepentingan redaksi dan juga kepentingan penerbit. "Sangat menjengkelkan ketika tokoh, alur, hingga cerita dibabat habis oleh redaksi hanya demi satu kepentingan, yakni kepentingan pasar," kata Sanie B. Kuncoro, penulis novel Ma Yan. Menulis mesti menanggung konsekuensi itu, meskipun terkadang banyak penulis mencoba menghindar, dan menolak dari derita dan siksaan itu.

Tak hanya menulis karya sastra, menulis esai pun membawa derita yang lebih menyakitkan. "Seorang penulis yang tak mau membaca akan mati di telan zaman." Bandung Mawardi adalah salah satu esais yang menekuni, menggeluti, dan bersumpah dengan menulis. "Hidup saya mesti dihabiskan untuk membaca buku, menonton film, jadi bapak rumah tangga sambil menangisi hidup yang terkadang menyiksa, tetapi saya memiliki tekad akan terus menulis dan menulis, saya memutuskan untuk menulis."

Hidup jadi taruhan dan bukti bahwa menulis mesti harus dilakoni. Sampai-sampai anaknya perlu diberi nama Abad Doa Abjad. Menulis adalah hidupnya. Ia bertaruh, bergelut untuk mewujudkan tulisan. Tulisan itulah yang menghidupi, kerja kata itu yang mengekalkan dan membawanya hidup dalam tulisan dan dihidupi dari tulisan.

Jalan Hidup

Adalah wartawan Andreas Harsono yang memiliki keyakinan kuat yang ia temukan dari gurunya, Bill Kovach, seorang jurnalis Amerika. Ia memiliki spirit yang ditularkan bagi dirinya. Menjadi wartawan tak lain adalah jalan hidup. "Dengan kualitas informasi yang jelas dan bermutu, maka kita secara tidak langsung masyarakat akan lebih berkualitas dalam hidupnya." Tulisan dalam dunia jurnalistik pun memiliki pilihan dan jalan tersendiri. Tulisan menyimpan misi menyampaikan kebenaran. Kebenaran itulah yang sering diusung dan menjadi pertaruhan dalam dunia jurnalisme.

Eugene Meyer (1933) dalam Harian Washington Post menyatakan: "Dalam menyajikan kebenaran, surat kabar ini kalau perlu mengorbankan keuntungan materialnya, jika tindakan itu diperlukan demi kepentingan masyarakat." Sebab itulah Andreas Harsono berani mengucap semacam sumpah: "Agama saya adalah jurnalisme" yang dituliskan dalam bukunya. Ia tak sekadar ingin menegaskan bahwa menulis yang benar, menyampaikan fakta yang benar tak jauh beda dengan menyampaikan dan menyatakan firman dan misi Tuhan. Sebab itulah ia menyatakan jurnalisme tak beda dengan persoalan religiositas atau agama.

Tulisan menjadi saksi, menjadi bukti, menjadi taruhan bahwa hidup mesti dilakoni dan dijalankan. Menulis adalah kerja tak selesai yang mengandung misi, menyimpan tekad dan membawa biografi. Sumpah menulis! Siapa berani? Dengan risiko, dengan pergulatan, dengan permenungan yang harus ditanggung. Untuk apa? Meminjam kata Pramoedya: "Menulis merupakan terjemahan dari keadaan bahwa kehadiranku masih ada gunanya bagi kehidupan." Bagaimana dengan Anda?

Arif Saifudin Yudistira, penggiat Bilik Literasi dan Pengajian Malam Senin, Solo


*)Tulisan dimuat di lampung post, Minggu 11 maret 2011

Selasa, Maret 06, 2012

Kematian Pembicaraan Yang Tak Selesai




Judul : KEMATIAN; Sebuah Risalah Tentang Eksistensi dan Ketiadaan

Penulis : Muhammad Damm

Penerbit : Kepik, DEPOK

Tahun : 1, November 2011

Tebal : xxviii+124 halaman

ISBN : 978-602-99608-1-5

Harga : Rp. 45.000,-

“ya, kalau anda mati, anda tidak perlu apa-apa lagi. Anda tidak perlu mobil, uang,tak butuh isteri,anda tak punya keinginan lagi.Seperti Tuhan tidak butuh uang,isteri, atau mobil bukan?.Jadi menyenangkan kalau orang tidak perlu apa-apa lagi dan sesudah anda meninggal, itulah yang terjadi”(Geertz,mojokuto,1989 :100-101).

Mati adalah pasti, bagaimana menghadapi mati itulah yang mesti kita pikirkan. Begitulah awla kita mendiskusikan dan membicarakan kematian. Kematian memang tak selalu terlepas dari kehidupan, kehidupan ada karena sebelumnya ada kematian. Kematian menyimpan sejarah, eksistensi, hingga narasi yang mendalam dalam dunia manusia. Sebab eksistensi manusialah yang kemudian menganggap mati bagian dari ketiadaan eksistensial. Kematian jika dipandang dari sudut eksistensial inilah, kemudian menjadikan kematian itu selesai, setelah orang itu mengalaminya. Sebab eksistensi manusia akan berakhir setelah ia mati.

Buku garapan Muhammad Damm ini mencoba berfikir dari cara pandang lain, ia mencoba membicarakan bentuk-bentuk kematian, mendefinisikan kematian itu sendiri. Ia keluar dari cara pandang selama ini yang membicarakan eksistensi tapi menafikkan esensi dari kematian itu sendiri. Sebab tidak setiap dari kita pernah mengalami kematian dan tak memiliki cerita dan juga pengertian, sebab setelah mati kita tak memiliki eksistensi dan juga merasakan apa itu mati. Bahkan orang mati suri, diyakini dam hanya merasakan pengalaman kematian, tapi tidak mengalami kematian itu sendiri. Inilah yang membuat kematian itu selalu dan tak pernah usai jadi perbincangan. Sebab kematian ternyata menyimpan berbagai cerita hingga menyentak perhatian manusia baik dari peristiwa mati dalam bentuk fisik(tubuh), mati eksistensi(kematian bahasa), hingga pada kematian jiwa.

Kepentingan Kematian

Manusia sering kali jeli dan penasaran dengan usahanya menyingkap dunia kematian itu sendiri. Banyak yang kemudian mencoba melakukan eksperimen sampai pada pembuatan kartun, pembuatan film, hingga pada perbisnisan dan eksploitasi berita kematian. Meskipun berita kematian itu bukanlah yang dimaksud kematian itu sendiri. Titik pandang kita ketika membicarakan kematian seringkali bersifat menegasikan. Bahwa dengan mati itulah, kehidupan mesti dimaknai. Dengan adanya kematian itulah, hidup mesti mempersiapkan dan berbuat sebaik-baiknya. Ritus ibrahimik menjelaskan bahwa kematian itu adalah ketiadaan dan pengharapan. Pada kondisi ini, manusia memiliki imajinasi dan harapan yang melampaui kehidupan itu sendiri, dengan berbagai imajinasi kesenangan atau sebaliknya. Meskipun mereka belum mengalami kematian, imajinasi ini dihadirkan untuk mempersiapkan dan menghadapi apa yang disebut kematian itu sendiri.

Melalui media yang ada saat ini, kematian pun jadi lahan berita yang cukup menarik dikemas dengan bahasa-bahasa yang berubah-ubah. Sebab itulah kematian menjadi sesuatu yang tka pernah berhenti, ia selalu berubah-ubah termasuk dalam konstruksi manusia membahasakan kematian. Kematian pun tiba-tiba jadi lahan bisnis melalui film-film yang mengangkat mitos-mitos tentang kematian, yang banyak meraup keuntungan melalui pembuatan film serial “pocong” dengan berbagai kondisi. Pocong tak dianggap lagi sebagai orang mati, tapi pocong dianggap sebagai dunia entertaintment paling laku saat ini. Pun kita juga melihat bahwa kematian berurusan dengan persoalan politik juga, melalui kematian dan ketokohan seseorang, pejabat merasa perlu untuk berbela sungkawa di media massa, hingga melantunkan pidato kematian untuknya. Singkatnya kematian menyingkap berbagai kepentingan dan mengucapkan bagaimana orang menyikapinya.

Tak Selesai

Selama manusia hidup, selama itulah kematian akan tetap terus dan relevan dibicarakan. Melalui kematian itu pula kita memahami kematian bukan hanya negasi atas kehidupan, kematian bukan hanya sekadar ketiadaan kehidupan melainkan ketiadaan kemanusiaan juga.(Damm, 2011).Pembicaraan kematian dalam buku ini mengisahkan bahwa kematian itu adalah bagian dari kerangka filsafati yang perlu didudukkan dalam konteks filsafat. Kematian dalam kerangka filsafat itu mendudukkan kematian sebagai konseptual dan bukan eksistensial. Sebagaimana paparan Damm dalam buku ini, ia mencoba menjelaskan selama ini kita sebenarnya tidak sedang menangkap kematian yang tengah terjadi dihadapan kita, melainkan dengannya kita memutuskan bahwa kejadian yang ada dihadapan kita adalah kematian. Buku ini adalah cara kita untuk menjelaskan dan mengartikulasikan kematian itu ada dan tak pernah selesai diperbicangkan. Dalam buku inilah ia diposisikan yang membincangkan kematian antara eksistensi dan ketiadaan sebagaimana yang ada dalam judul buku ini.

Arif saifudin Yudistira,dalah Mahasiswa UMS, penggiat di bilik literasi,presidium kawah institute Indonesia


*)tulisan dimuat di koran opini.com 3 maret 2012

Senin, Maret 05, 2012

Biografi-Puisi Afrizal Malna




Ketika bandung mawardi meminta saya ikut dalam forum ini, saya menuliskan biografi-puisi(rumah kata) dua tahun. lalu saya kirimkan ke bandung, lalu saya bertanya ulang untuk apa saya menulis itu?. “saya mengirim tulisan itu hanya 2/3 tulisan saya”. Saya lupa menulis apa? dan saya tidak yakin bisa bicara kembali dalam tulisan ini. Kapan sebenarnya saya menulis puisi? Baiklah kita mulai saja, saya mencoba mengingat-ingat kembali. “
Berbeda dari kebanyakan orang atau teman-teman saya di masa kecil saya dipenuhi dengan ketakutan-ketakutan, saya memergoki teman saya dipukuli orang tua mereka, orang tua teman saya bertengkar. Saya punya seorang kakak yang menggantikan orang tua saya,tempat paling aman waktu itu adalah kamar saya sendiri. Saya suka melampiaskan emosi dan perasaan-perasaan saya dengan menyundul-nyundul lampu di kamar saya. waktu itu sampai-sampai saya berfikir “ mengapa tidak saya pergi, saya tidak suka hidup ini”.

Kata-kata ini membawa imajinasi yang berulang-ulang, satu ketika saya membaca al-qur’an dengan teriak-teriak, saya heran melihat foto hajar aswad,kenapa batu dicium-cium” orang tua saya bilang hust kamu bilang apa?, tidak boleh bicara sembarangan. Di saat-saat itulah saya mengerti tempat mengadu saya kejam sekali, saya seperti kehilangan tempat mengadu, bahkan tuhan. Saya sampai pada satu kesimpulan
“keluarga terlalu banyak menciptakan luka, tidak produktif”.

“Saya heran, mengapa seseorang perlu membuat kandang untuk hidupnya sendiri” mengapa seseorang perlu tinggal dirumah?, ini aneh menurut saya
. Di rumah, buku saya tidak ada, yang ada hanya qur’an dan buku komik milik kakak saya”. Akhirnya saya mencari sendiri buku-buku saya. Lama-lama buku menggantikan kedudukan tuhan, sebagai tempat mengadu saya,sampai satu ketika saya terikat sama buku dan belajar melupakannya”.

“ternyata buku-buku memanjakan saya untuk membuat tulisan, ini benar-benar seperti “industry intelektual”. Tanpa buku kemudian saya kehilangan momen-momen saya sendiri, saya menjadi keheranan dan merasa bodoh
.

SMP

Saya memasuki dunia sekolah, di smp puisi menjadi cara paling mudah. Puisi bagi saya waktu itu bukanlah teknik,yang mengandaikan saya bsa menulis. Tapi
lewat puisi itulah saya bisa menulis dengan cara sendiri.



Kemudian saya bekerja dari puisi, mengejar gagasan, saya tidak mau memberikan penghargaan pada bakat, tapi penghargaan pada kerja.”kemudian puisi jadi berjarak dari saya,saya seperti yang bukan menulis puisi itu”.Saya heran mengapa kata-kata “lapangan basket” tidak bisa masuk dalam puisi?. Ini tidak puitis kata kebanyakan orang. Saya merasa
“puisi saya adalah puisi Indonesia”.Kemudian saya belajar tentang puisi Indonesia dan menghasilkan buku “sesuatu Indonesia”.


Kemudian saya mencoba melalui aktifitas teater, “Saya tidak pernah melibatkan tubuh saya selama menulis”. Saya kemudian bertanya : “apakah bahasa bisa mengembalikan peristiwa ketika palu memukul jempol saya yang luka”?. Kemudian saya mengalami ritme,ketika tubuh saya berlari”. Saya semakin tidak percaya bahasa. Baru muncullah puisi yang agak lain yang berisi “mitos-mitos kecemasan”.(yang berdiam dalam mikrofon, arsitektur hujan)

Saya merasa puisi Indonesia sesuatu yang lucu. Saya ingat ketika ada mahasiswa UI yang bertanya : “afrizal kamu punya ga puisi tentang Jakarta?”. Saya tiba-tiba ketawa sendiri dengan mahasiswa tersebut, bukannya seluruh puisi saya adalah Jakarta.walaupun tak ada kata Jakarta. Ia ingin kata itu hadir dalam puisi saya. Sama ketika Linus yang membedah karya saya dalam diskusi kemudian mengatakan bapak saya meninggal dan sedih, padahal bapak saya masih hidup?...hahahaha…


Apa itu puisi Indonesia ?

Ketika saya SMA saya merasa saya sebagai orang ektiga. Yang diberi agama diberi nama, sebagai dia yang diwakilkan, bukan sebagai orang yang ditanyakan.
Saya tertarik bermain dengan orang pertama,kedua, ketiga dan bagaimana cara memahami kita,kami dan mereka?
. Tema ini bisa berlanjut…

Belajar Melupakan Puisi


“Saya merasakan hal aneh ketika masuk dunia kuliah, saya tidak suka ujian. Saya merasa ujian harus membuat saya membaca, ada evaluasi, menciptakan mekanisme, dan membentuk cara berfikir kita, menanamkan alur”. Dan akhirnya dengan sendirinya saya di DO. Saya biasa saja mengalami itu. Saya menemui teman-teman saya dan ketika saya bercakap dengan teman saya ia seperti encyclopedia. Kemudian saya memulai eksperimen-eksperimen dan tertarik dengan benda-benda.
“lama-lama saya sperti terhibur atau apa namanya ketika saya terkagum-kagum dengan sepatu sebagai sesuatu yang memberikan semua hal pada saya, ia seperti membangun keluarga teks yang lain”.

Kemudian saya menuliskan kembali
“mitos-mitos kecemasan”
saya merasa seperti pengkhianat. Ketika harus bergauk dengan redaktur, wartawan, penyair, yang merasa harus menulis di Koran-koran bawah(seperti ada prosedur seperti itu) ketiak saya menulis puisi. Waktu itu saya sangat angker dengan horizon, dan puisi saya berubah karena pembaptis, saya disebut sebagai “penyair materialistik” , “neo materialisme” kata pengamat jerman. Di puisi-puisi saya yang baru menggunakan kata “saya” yang tidak puitis tidak memiliki melodi. Aku merasa dalam puisi saya adalah “–aku-Massa” realitas di Jakarta. Jakarta seperti kota tanpa manusia, yang ada hanya hubunga-hubungan lewat pekerjaan,agama, atau suku-suku.
Aku dituduh “PKI-malam”hampir semua redaktur di Jakarta tidak mau menerima puisi-puisiku.
Akhirnya saya langsung mencoba kompas sekalian dan diterima sampai sekarang.
Jakarta adalah sentralistik, pusat tempelan batu tempat hidup para penulis. Akhirnya aku pindah, mereka mengira aku pindah dari Jakarta tak bisa hidup, sebab mereka berfikir jakartalah tempat uang, tanpa uang mereka tidak bisa hidup. Aku justru pindah kedaerah-daerah justru mereka menerima aku. Aku sperti mengalami migrasi-terbalik. Jakarta itu desaku, dan aku menjadi “nothing” aja.

“memori organic”
.
Saya jadi ingat bahwa setiap manusia mempunyai itu. Bahwa setiap manusia memiliki asal muasal. Misalkan ketika ada penyair mengatakan “Mama darimana pertama kali kamu belajar”?. Seorang penyair rata-rata mengalami kegagalan dalam mengunakan bahasa. “saya lebih dekat dengan tubuh saya daripada dengan bahasa”. “tubuh lebih dulu daripada bahasa,saya tidak mau mendahului itu”.

Jadi menulis puisi bukan sama sekali pilihan professional.

Maka
“biarlah puisi itu tetap tidak diperkosa pasar,karena dengan begitu ia tetap jadi entitas yang akan melampaui agama, yang ditakuti dan dihormati, karena puisi itulah yang mestinya melebihi suara para pengkhotbah di rumah-rumah ibadah”.

Bilik literasi, 26/2/2012 pencatat arif saifudin yudistira