Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Selasa, Desember 25, 2012

Cinta Dan Politik


oleh arif saifudin yudistira 

Kisah cinta dan politik seperti persinggungan yang tak usai. Sejarah negeri ini pun sering kali menyingkap persinggungan itu. Urusan politik tak pernah lepas dari kisah cinta. Konon, cinta itulah yang menggerakkan politik jadi ramai. Entah menjadi bahan perbincangan public, atau sekadar alat untuk menaikkan popularitas. Urusan cinta pun bukanlah lagi urusan yang alamiah, orisinal dan natural. Cinta seketika berubah menjadi momok, menjadi senjata atau bahkan menjadi bom waktu yang bisa sewaktu-waktu membunuh dan mematikan karier politik.

Kita mengenang para tokoh-tokoh kita seperti Soekarno yang begitu mahfum membuat singgungan perkara cinta dengan politik. Soekarno adalah bapak pencinta, tapi ia sadar diri dan mengontrol diri agar politik tak terusik oleh urusan percintaannya. Kita bisa menemui ini dari pengisahan Yurike Sanger. Wartawan Kadjat Adra’I menelusuri kisah cinta Bung Karno dengan anak SMA ini dalam bukunya Percintaan Bung Karno dengan Anak SMA. Di sana Yurike mengisahkan, bahwa percintaan Bung Karno dengan dia bukan semata urusan seks semata. Soekarno pun dikenal sebagai sosok perayu ulung, pencinta kesenian, hingga membawanya menyukai perempuan yang cantik-cantik.

Urusan percintaan Soekarno pun terlihat politis, mesti dibaluti dengan agenda-agenda terselubung melaluiIncognito, melalui dalih barisan “Bhineka Tunggal Ika” yang dipamerkan kepada publik untuk menyambut Soekarno. Soekarno tak hanya menjadikan acara-acara berbau kenegaraan yang resmi sebagai upacara untuk mengukuhkan politiknya, tapi ia juga alat politik untuk mendapatkan percintaan. Kita menyimak suatu saat kelak di masa-masa akhir Bung Karno, persoalan percintaan Bung karno ini menjadi alat paling empuk rezim Soeharto untuk menghapus Soekarno dalam panggung politik Indonesia, “desoekarnoisasi”. Kisah cinta Soekarno pun bisa diartikan sebagai percintaan dengan menggunakan posisi-posisi manusiawi mesti ia adalah pejabat publik. Kontrol diri inilah yang membedakan kisah Soekarno dengan kisah percintaan para politisi di masa kini.

Trauma
Berbeda dengan Soekarno yang lebih membawa percintaan itu mengukuhkan kedudukan politiknya di masa Orde Lama, percintaan ala Sjahrir pun menyimpan trauma menyakitkan. Kisah percintaan Sjahrir pun harus rela kandas karena urusan politik kebangsaan. Kisah lain bisa kita temui di kisah percintaan yang santun ala Mohammad Hatta. Percintaan Bung Hatta ini tak seperti Soekarno, ia lebih memilih sumpah setianya akan bercinta ketika negeri ini telah merdeka. Hasrat percintaan ini pun melahirkan buku yang sangat fenomenal dalam waktu itu yang bertajuk “Alam Pikiran Yunani“.

Kita pun menyimak kisah traumatik ala Bapak Kemerdekaan Indonesia, Tan Malaka. Tan Malaka pernah memberikan pengakuannya yang ditulis oleh Adam Malik. “Apakah anda pernah jatuh cinta“, pertanyaan itu dijawab dengan nada tragis. “Saya pernah jatuh cinta tiga kali, di Sumatra, di Belanda dan di Thailand, tapi saya lebih mencintai negeri saya“. Percintaan pun dialihkan pada urusan kemerdekaan dibanding menuruti ambisi percintaan pribadi. Kisah percintaan Sjahrir dengan negerinya pun menyimpan traumatik yang mendalam. Rosihan Anwar mengisahkan dengan lihai, bagaimana Sjahrir tragis menemui kematiannya dipisahkan dari negerinya melalui pengobatan di luar negeri. Atas nama politik, Soekarno pun menyisihkan Sjahrir dari cintanya yakni cinta pada negerinya.

Urusan percintaan dan politik di abad XXI terasa membawa risiko yang pelik. Kita menyimak kisah pergunjingan percintaan SBY yang konon pernah mencintai perempuan sebelum Ani Yudhoyono. Gonjang-ganjing ini pun diselesaikan dengan politis antara SBY dan Zaenal Maarif. Zaenal Maarif pun kini menjadi politisi Partai Demokrat. Kita menyimpan curiga urusan percintaan ketika di bawa ke ranah politik begitu pelik dan sering diselesaikan dengan sangat politis. Begitupun ketika kisah Hatta Rajasa yang kalang kabut mencari cara menaklukkan SBY. Ia tak kalah cerdik, anak pun jadi terbawa dalam urusan politik. Besanan antara SBY dan Hatta Rajasa pun diduga tak lepas dari urusan politik.

Penulis adalah mahasiswa FKIP jurusan Bahasa Inggris Univertsitas Muhammadiyah Surakarta

Tulisan dimuat di SOLO POS 

18 Desember 2012

Hutang Kita pada Buku



NEGERI ini dibangun dan didirikan tak mungkin lepas dari peradaban buku. Buku mencipta perubahan, buku menggerakkan founding fathers kita untuk membentuk negeri ini. Betapa Sukarno adalah pengagum dan penggemar buku-buku marxis, buku-buku sosialis, pemikiran Gandhi, hingga Tan Malaka. Tak jauh berbeda dengan Hatta yang menggemari buku dan menggeluti buku adalah teman dalam perjalanan, dan juga alat untuk membaca dan menganalisis persoalan kehidupan, salah satunya aspek ekonomi. Buku menghasilkan buku. Kita mengenal buku “Di Bawah Bendera Revolusi” karya Soekarno, kita mengenal “Memoir” karya Muhammad Hatta, hingga “Madilog” karya Tan Malaka.


Perasaan-perasaan menyesal pun muncul ketika buku hilang dan buku tak ada dalam kehidupan Tan Malaka. Tan Malaka adalah tokoh sekaligus orang yang mengalami trauma dan siksa karena tak ada buku. Ia menuliskan dalam Madilog, “Saya mohon maaf karena tidak menyertakan catatan-catatan kaki karena saya dalam masa pengejaran, dan buku-buku harus saya buang ke laut untuk menyelamatkan buku-buku saya.” Nasib Tan Malaka tak seberuntung Hatta dan Soekarno, ia harus berhadapan dengan kolonialisme yang merampas hak untuk memiliki dan menyimpan buku. Kita masih ingat, Pramoedya Ananta Toer adalah orang yang mengalami trauma dan siksa terhadap buku. Ia seperti tak diberi hak untuk memiliki buku, hingga menuliskan buku. Kita tahu penjara adalah ruang untuk mencipta bukunya, setelah itu, ia harus mengalami pembakaran terhadap karya-karyanya, bahkan rumahnya pun dibakar oleh angkatan darat pada waktu itu.
Peradaban lahir dari kerja kata dan pendokumentasian kata-kata dan setiap ucapan yang memiliki makna pada suatu hari. Gairah menulis buku memungkinkan manusia bekerja dan berkarya untuk memberikan pencerahan dan juga mengekalkan peristiwa, pengetahuan dan lain sebagainya. Sejarah tulisan adalah sejarah pengetahuan. Usaha agama menafsirkan teks adalah iktikad dan laku seseorang beragama. Dan beragama tak lain adalah bagaimana usaha manusia menafsirkan kitab yang merupakan buku utama manusia.

Betapa kita tak tahu terima kasih kepada buku ketika menyepelekan buku yang dibuat oleh manusia. Betapa kita menyepelekan karya dan juga pemikiran dalam buku, ketika kita melihat bagaimana dunia perpustakaan kita semakin ditinggalkan. Dunia buku tak memikat, dunia kantin dan dunia bermain lebih memikat. Pikat buku tak sekadar ajakan kita menyelami ke dalam bagaimana buku itu memanggil-manggil kita untuk menemuinya, mencumbuinya, hingga pada melahirkan penafsiran ulang dan memendarkan teks tersebut pada realitas kehidupan kita.

Ajakan membaca dan memahami buku, bedah buku, hingga pada penghargaan kita pada buku akan mencerminkan sikap dan etos kita bahwa buku sejelek apapun dan seburuk apapun adalah proses dari manusia melahirkan ide, gagasan dan sampai pada bagaimana penulis menembus penerbitan. Usaha ini adalah usaha seorang penulis buku untuk menjadikan bukunya bermakna, maka kerja membaca buku adalah kerja yang merupakan penghargaan kita sebagai manusia akademik dan manusia intelektual yang memberi penghormatan melalui kritik, melalui penafsiran hingga melalui apresiasi kepada buku yang ditulis seseorang.
Buku memberikan berkah pada kehidupan manusia. Betapa peradaban yang dibangun setinggi apa pun, ia tak lepas dari penghargaannya pada buku. Etos itu lahir tidak tiba-tiba, tapi melalui proses kesadaran yang tinggi bahwa buku adalah hidup itu sendiri. Maka tak heran, orang menulis dengan menghabiskan masa hidupnya untuk menciptakan buku. Demi pengetahuan dan demi etos keilmuan dan intelektual.

Sekolah


Sekolah pun hadir dengan beragam buku, tapi belum menuntaskan untuk sampai pada iman terhadap buku. Sekolah penuh dengan buku, tapi belum dengan ajakan menekuni buku dan mengabarkan berkah buku pada siswa. Etos baca dan etos menulis belum sepenuhnya menjadi kesadaran kampus dan sekolah kita untuk mencipta dan mengekalkan ilmu dan keilmuan. Alhasil, buku semakin ditinggalkan dan seperti tak jelas nasibnya. Maka yang terjadi di perpustakaan pun tak ada cara dan etika menata buku, buku ditumpuk seenaknya, kerusakan dan kehilangan adalah hal yang wajar. Kita telah lalai dan melupakan buku secara diam-diam.

Penghormatan dan penghargaan kita pada buku, adalah etos kita untuk membaca dan menghormati sejarah, melalui kerja merawat, mengekalkan hingga memanfaatkan buku itu menjadi teks yang bergerak dan menggerakkan. Kerja itulah yang kini kian langka, dan ditinggalkan kita. Padahal, kerja itu tak lain adalah kerja kita sebagai usaha kita yang kecil untuk memberikan penebusan dosa atas tingkah laku kita dan keteledoran dan kebodohan kita tak menghargai dan menghormati buku.

Arif Saifudin Yudistira, bergiat Bilik Literasi Solo
Tulisan Dimuat Di BALI POS tanggal 16 Desember 2012

Kata, buku, kita



Oleh arif saifudin yudistira*)
           
“Pada mulanya adalah kata-kata itu mengada bersama Tuhan serupa dengan kata-Tuhan,kata itu merupakan kreasi”
(Nadine Gordimer)

Manusia memiliki kelebihan dibanding makhluk lain. Salah satu diantaranya adalah bahasa. Kemampuan berbahasa itulah yang membuat manusia bisa mengucap kata. Huruf jadi acuan kedua setelah belajar berkata-kata diajarkan kepada kita di masa bayi. Kata itulah yang mengucap dan diucapkan oleh kita. Dunia kita dicipta dan digerakkan oleh kata. Siapa tak kenal filsuf eksistensialis kita Jean paul Sartre yang menuliskan indah pengalamannya mengucap dan diucap oleh kata dalam bukunya “kata-kata”(Words). Sartre memahami kata adalah pikiran dan gagasannya yang diungkapkan dan ditulis ulang di masa dewasanya. Buku Sartre menegaskan dan menjelaskan bahwa kata “tidak” adalah kata paling cukup menjelaskan adanya kita.Bila kita hanya menggunakan kata “ya” atau setuju saja, berarti kita tak memiliki eksistensi. Ferdinand de Saussure dalam kanonnya, Cours de linguistique générale, (1965: 157), “pikiran adalah recto dan suara adalah verso; seseorang tak dapat memotong satu sisinya tanpa memotong sisi lainnya di waktu yang sama; dan di dalam arti yang sama, dalam bahasa, seseorang tak dapat mengisolasi suara dari pikiran maupun pikiran dari suara (kata)”.

            Dengan mengucap ‘kata’ itulah kita tak langsung menyatukan antara pikiran dan gagasan yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Takjub kata membuat manusia semakin menyadari bahwa ia adalah makhluk berbudaya. Melalui kata itu pula kita mengenal sastra. Puisi dan karya sastra lain setidaknya adalah kata-kata yang membicarakan dirinya. Kita pun mengenali sastrawan nobelis najib mahfuz yang mampu menggunakan medium bahasanya untuk alat penyadaran dan perlawanan. Edward said memujinya dengan mengatakan : “Mahfuz sebenarnya memiliki suara khusus. Ia berhasil menunjukkan kehebatan bahasa pribumi yang justru belum banyak diperhatikan”. Dari sanalah sebenarnya kita menemukan kata berkembang menjadi slogan, hingga menjadi bualan para politisi kita. kata jadi rusak karena aroma politik  dan juga media. Dan disanalah tugas penulis mesti menjernihkan dan mencerahkan kata kepada asalinya.

Suparto brata seorang penulis novel “generasi yang hilang” yang pernah menjuarai sayembara “kartini” menuturkan alasan mengapa manusia Indonesia sekarang kehilangan spirit membaca dan kehilangan ghirah mengurusi buku.  “kita telah salah dalam merumuskan kurikulum pendidikan kita, kita mesti merubahnya dengan spirit membaca  dan menulis buku”. Bapak tua itu mungkin sudah uzur usianya, tapi ia tak lelah dan tak berhenti mengurusi kata, melalui menulis buku dan membaca buku. Puluhan buku pun dihadirkan sebagai kerja dan semangat hidup yang tak kunjung pudar meski jaman sudah berubah.

Membaca buku dan mengurusi buku adalah pekerjaan langka di era multi kulturalisme ini. Era teknologi sekarang menghadirkan e-book dan internet sebagai penyedia layanan dalam dunia pendidikan kita. Internet dan teknologi pun memanjakan kita, tapi belum memuaskan dan menunjukkan-kualitas membaca- manusia Indonesia. Kita terkadang miris ketika  melihat buku-buku dijual dengan harga mahal-mahal di awal terbit, tetapi ketika di bazaar menjadi sebegitu murah. Pemerintah kita tak memiliki politik penerbitan dan politik dalam meningkatkan mutu baca masyarakat kita melalui buku-buku yang ada. Dulu semasa soekarno buku-buku terjemahan dan buku-buku berbau revolusi dan politik dihadirkan, sedang dimasa soeharto buku-buku penataran p4 dan buku berbau pancasilais digalakkan melalui sekolah dan pendidikan. Setidaknya setelah dua presiden itu, politik untuk meningkatkan mutu dan penyediaan buku bagi masyarakat luas belum tampak kembali.

Dunia buku dan dunia penulisan mengajarkan kita setidaknya pada dua hal penting “kerja intelektual” dan juga “ penghormatan intelektual”. Dua kerja inilah yang akan kita jumpai dalam dunia menulis buku dan dunia membaca buku. Ketika kita membaca buku setidaknya kita sedang melakukan dua kerja itu. Yakni kerja intelektual dan penghormatan intelektual. Sebab penulis yang menulis bukunya tak semudah yang kita bayangkan selesai begitu saja. George Orwell mengatakan “ menulis buku itu mengerikan,perjuangan yang meletihkan seperti sakit yang berkepanjangan”.

Negeri kita seolah melupakan kerja kata yang sebenarnya adalah kerja intelektual dan kerja kemanusiaan. Kita lupa bahwa mengurusi kata, dan mengurusi buku tak beda dengan mengurusi kita. Siapa mau mengurusi arsip nasional di Jakarta yang sudah menghasilkan berderet-deret gelar dan juga berates-ratus buku dan penelitian. Kata kembali mengingatkan kita akan keberadaan dan eksistensi kita. Dengan budaya membaca buku dan menulis buku yang masih minim dibanding negara tetangga kita maupun di dunia, setidaknya menunjukkan betapa kita tak menghargai kita. Dunia kata, dunia buku, dan dunia kita adalah tiga frase yang tidak bisa kita lepaskan dan pisahkan dalam kehidupan kita. Saya ingin menutup essai ini dengan kesimpulan menarik dari Virginia Wolf yang mengatakan : “ Masa sekarang adalah masa yang buruk karena kemiskinan cara pandang terhadap sastra dibiarkan begitu saja”. Jika demikian halnya, masihkan kita percaya akan kekuatan kata dan buku-buku kita untuk menggerakkan dan mencipta peradaban dan mengulang kejayaan kita?.




*)Penulis adalah Pegiat Bilik Literasi , Pengelola kawah institute Indonesia
*)Tulisan Termuat di Bali Post 25 November 2012