Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Selasa, Juni 30, 2009

Masa Depan Koalisi Kita"

Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Atas nama rakyat, begitulah katanya koalisi dibentuk. Lalu rakyat yang manakah yang kemudian diatasnamakan tersebut?. Ketika jumlah para pemilih dengan yang golput banyak yang golput?. MEmang idealnya sistem kepartaian itu mewakili kepentingan rakyat, akan tetapi yang terjadi selama ini, sistem kepartaian hanya mewakili golongan elite-elite partai saja.
KEnapa demikian? Sistem partai kita membuka peluang untuk demikian. Kaderisasi partai idealnya berjalan selama tiga tahun sehingga waktu setelah tiga tahun itu, para kader partai siap untuk melanjutkan estafet partai serta visi-misinya. Akan tetapi yang terjadi justru lain, partai hanya terlihat punya gawe ketika mau pemilu saja, nampanglah dari partai A sampai Z, dengan berbagai jurusnya.
Ada yang kemudian bagi-bagi sembako, dengan sasaran wong cilik. Ada juga yang menawarkan pendidikan gratis, ada yang membuka lowongan kerja kontrak, ada yang klaim program pemerintah misalnya dengan mengklaim program budidaya ternak,dengan mengajukan proposal kepada pemerintah atas nama partai, dan lain-lain.
Sehingga tidak heran, yang kemudian terjadi hanya program partai sesaat, alias menjelang pemilu saja. Sedangkan visi-misi partai atau yang sering dinamakan visi-misi kerakyatan seakan tidak ada sama sekali. Ini yang kemudian sulit kita terima.
Maka yang terjadi rakyat pun pesimis, sehingga menimbulkan mental yang tidak bagus, hingga terjebak pada money politics. “Sudahlah terima saja, daripada gak milih, mendingan milih yang ada uangnya”.
Sikap seperti ini tidak bisa dilimpahkan pada rakyat sepenuhnya, akan tetapi partailah yang sebenarnya membangun mental seperti ini. Oleh karena itu, demokrasi kita seringkali dicap sebagai demokrasi atau politik dagang sapi.
Maka lobi-lobi yang terjadi antara partai yang menang kemudian, hanya lobi-lobi kekuasaan. Bukan lobi-lobi program yang jitu untuk mengentaskan bangsa dari keterpurukan.
Bisa kita lihat bersama prosesi koalisi elit-elit partai kita. Dengan tiba-tiba partai yang menentang mau lepas dari koalisi partai dempkrat, tiba-tiba diam seperti tiada suara setelah SBY benar-benar menetapkan budiono sebagai cawapres.
Aneh, baru saja partai-partai mitra koalisi menentang dengan keras cawapres penganut neolib yang kebetulan bukan dari parpol, tiba-tiba saja menyepakati dengan alasan tahun depan kita butuh ekonom kuat dan pengalaman untuk menuntaskan permasalahan ekonomi bangsa. Yah, maka tidak heran, rakyat pun bingung, yang sebenarnya benar yang mana?. Yang mana yang membawa kepentingan rakyat?.
Jargon-jargonnya pun seperti miskin visi, “lanjutkan, lebih cepat lebih baik, “pro wong cilik”. Rakyat pun kemudian fasih untuk mengucapkan saja, akan tetapi tidak mengerti apa sebetulnya yang dimaksudkan dengan lanjutkan, lebih cepat apanya?, lalu wong cilik yang mana?. Demikian yang menjadi pertanyaan rakyat kita.
Serba Dilematis
Jelas, rakyat serba dilematis antara memilih atau tidak memilih. Ketika tidak memilih, satu-satunya jalan untuk kemudian menjalankan pemerintahan ke depan adalah melalui pemilu, akan tetapi pemilu telah dikotori dengan berbagai permasalahannya dan para pemimpinnya miskin visi misi .
Akan tetapi kalau memilih, maka jawaban yang sebenarnya adalah belum ada pilihan yang kiranya membawa rakyat kepada visi-misi kerakyatan yang membangun dan menyelesaikan persoalan bangsa. Yang ada justru tarik-menarik dan lobi-lobi kepentingan.
Di sisi lain, pemerintah saat ini sudah benar-benar tidak mau lagi campur tangan lagi dengan ekonomi kita. Terbukti dengan menyepakati butir-butir kesepakatan dalam G-20 yang salah satu poinnya, menghapus proteksionisme.
Dengan kata lain ekonomi kita mau-tidak mau sudah dibawa kepada ekonomi liberal, yang jauh tentunya dengan ekonomi kerakyatan. Padahal ketika kita menganut ekonomi kerakyatan, pemerintah wajib untuk mengelola sumber-sumber daya ekonomi digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Undang-Undang yang ada pun begitu membingungkan, adanya UU penanaman modal, UU migas,dan UU MINERBA, justru pro terhadap kepentingan pemodal, pro terhadap neolib. Dalih yang digunakan pun cukup membuat dahi kita berkerut, dengan alasan bila diprivatisasi, bila diswastanisasi, akan lebih transparan, akan mengurangi korupsi,dan lain-lain.
Bagaimana nasib Indonesia ke depan adalah bagaimana kemudian pemilu bisa kita harapkan sebagai sarana untuk memilih pemimpin yang benar-benar mengaspirasikan suara rakyat, ketika ini belum bisa, maka alternatif terakhir adalah gerakan kerakyatan yang kemudian menjadi tawaran untuk mewujudkan kembali Indonesia yang lebih baik. Semoga.

*) PEnulis adalah Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta fakultas bahasa inggris semester 06, Presidium Kawah Institute

Selasa, Juni 23, 2009

Meruwat Wisata BukitTumpanG

Meruwat Taman Wisata Bukit Tumpang
Oleh Arif Saifudin yudistira*)

Kota klaten mempunyai cukup banyak tempat wisata. Beberapa diantaranya ada yang sudah tenar, akan tetapi ada juga yang kurang tenar, tapi ramai dikunjungi oleh banyak orang. Rawa jombor, kemudian makam sunan bayat, taman pemancingan janti, serta Pabrik tembikar di bayat.
Tempat-tempat tersebut akan mampu menjadi ikon klaten, dan menjadikan klaten lebih maju dalam bidang pariwisataan jika memang diruwat dengan baik. Dalam meruwat tempat wisata tentu tidak hanya kemudian memanfaatkan obyek wisata tersebut, akan tetapi juga bagaimana tempat wisata tersebut menjadi tambah menarik, tambah di minati, tambah bersih, dan tambah sempurna di segala hal.
Kota klaten merupakan kota yang memegang posisi strategis, sehingga merupakan keuntungan secara geografis tersendiri baginya untuk memanfaatkan obyek-obyek wisatanya. Sayang, perhatian dinas kepariwisataan menurut saya kurang memperhatikan potensi pariwisata yang ramai dikunjungi hanya saja kurang tenar.
Sama saja dengan obyek makam sunan bayat yang ada di bayat, ketika tidak ada perhatian yang mendalam, maka lama-kelamaan akan tidak lagi diminati. Seperti halnya obyek wisata makam sunan bayat, Obyek wisata taman bukit tumpang yang ada di gantiwarno, akan kian lapuk, kotor, dan semakin ditinggalkan.
Akan tetapi, berbeda ketika obyek wisata tersebut diberi dengan sedikit polesan, maka akan semakin tertarik orang berkunjung kesana, ditambah dengan hiburan rakyat ketoprakan atau campur sarinan yang diminati anak muda, dengan demikian, selain akan meningkatkan taraf hidup warga disekitarnya, juga akan menambah penghasilan bagi pemerintahan kota.
Sehingga dengan lebih memperhatikan obyek wisata tersebut, selain menjaga alam dari kerusakan, tapi juga memanfaatkannya menjadi daerah yang bisa mengangkat jati diri kota klaten dan meningkatkan kesejahteraan warganya.





___________________________________________________________________________________
Penulis adalah alumnus PD IPM Klaten,belajar di Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Prita...Oh Prita

Email & Hukum
Oleh Arif Saifudin yudistira*)

Pesatnya perkembangan dunia teknologi kita menimbulkan kemudahan dan membantu manusia di berbagai sisi. Akan tetapi, berkembangnya teknologi juga menimbulkan dampak yang kurang baik pada manusia seperti halnya yang dialami oleh Prita mayasari.
Meskipun hanya berawal dari sebuah email pribadi yang disampaikan ke teman-temannya, akses data pada dunia maya memang memungkinkan siapapun untuk mengakses data oleh dan dari siapapun itu.salah satunya pada email.
Saat ini kita memang mengalami dunia post realitas. Setiap manusia memang pada hakekatnya memiliki sikap yang sama pada pemenuhan libido. Sedangkan saat ini, pemenuhan akan kebutuhan tersebut seperti sudah tersedia pada semua sisi.
Maka kemudian orang terjebak pada sebuah persepsi-persepsi atau pencitraan-pencitraan. Dunia maya adalah salah satu wujud hal itu. Di dunia maya memang kita bisa bebas berekspresi sebebas-bebasnya untuk melakukan pencitraan tadi.
Dalam dunia maya memang juga membuka peluang untuk saling menjatuhkan satu sama lain. Memang dunia lain ini hanya memiliki sekat yang sempit dengan dunia nyata kita.
Email merupakan salah satu produk yang ada pada dunia maya itu. Saat ini email sudah menjadi salah satu sarana buat semua orang untuk semakin memudahkan manusia, tidak kalah juga media massa juga memanfaatkan teknologi ini untuk berhubungan dengan pembacanya.
Prita mayasari mungkin tidak mengira keluhannya kini menjadi santapan publik yang kini justru menjeratnya. Kasus ini memang menimbulkan banyak perspektif dan penafsiran banyak orang. Media juga berperan dalam membangun opini yang mencerdaskan.
Secara sosiologis kita memang dikejutkan oleh model proses yang kurang mencoba melihat kasus ini secara holistic. Pada satu sisi kita dihadapkan pada Prita yang berhak memperoleh hak-haknya sebagai konsumen, akan tetapi kita juga melihat kepentingan Rumah sakit Omni.
Awalnya Prita memang dijerat pasal 310 dan 311 KUHP karena tuduhan pencemaran nama baik menyebarkan keluhannya terhadap pelayanan rumah sakit omni, yang fihak rumah sakit merasa keluhan tersebut tidak benar. kan tetapi pada persidangan prita tiba-tiba juga dijerat dengan pasal 27 undang-Undang ITE(informasi dan transaksi teknologi).
Jaksa Agung Hendarman Supandji pun menilai bahwasanya jaksa tidak professional, dan ada kemungkinan penindakan terhadap jaksa yang menambahkan pasal-pasal yang sebenarnya tidak berkaitan dengan kasus prita.SBY pun menyarankan terhadap aparat penegak hukum untuk menggunakan rasa nurani dan keadilan agar keduanya bisa seimbang.
Kasus Prita ini memberikan gambaran kepada kita bahwasannya email maupun fasilitas yang ada pada dunia maya yang lain bisa mengakibatkan masalah ketika kita tidak bijak dalam memanfaatkannya. Akan tetapi juga memberikan pelajaran kepada kita, bahwasannya masyarakat kita masih takut menyampaikan kritik secara terbuka demi kemaslahatan bersama.
Kita sama-sama menunggu perkembangan kasus Prita ini, apakah hukum bisa ditegakkan dengan tidak hanya mempertimbangkan keadilan procedural dan normative, akan tetapi juga mempertimbangkan rasa nurani dan kemanusiaan. Karena pada dasarnya hukum dibuat untuk manusia.





























Penulis adalah Mahasiswa Bhasa Inggris Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Kamis, Juni 18, 2009

"Lomba Bikin Puisi" buat anak UMS


“LOMBA BUAT PUISI
Alias GAWE PUISI”



Silahkan Kirim Karyamu lewat email :
kawahinstitute@gmail.com
Kita tunggu dari/ ampe pada ; Tanggal 18-27 juni 2009


Silahkan bikin Puisi “BEBAS” dengan tema
“Atas nama Rakyat,,,........... ”
Pengumuman Pemenang di
Kawahinstitute.blogspot.com tanggal 30 juni 2009 paling lambat tanggal 27 juni 2009,,,
cantumkan biodata juga nomer hape yang bisa dihubungi.
Kurang Jelas,,,,???.................................Buka aja di Kawahinstitute.blogspot.com atau hubungi 085642388268 (yudistira)
Pemenang akan dihubungi via sms,,,,dan dikasih hadiah menarik untuk 3 orang pemenang,,,,yang belum beruntung akan ditampilkan karyanya di kawahinstitute.blogspot.com

Minggu, Juni 14, 2009

"MeNyeMaiKan MakNa"

Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

Goresan itulah yang akan melahirkan berjuta tafsir, goresan itulah yang menciptakan pergulatan dikala ia berkembang dan dinikmati orang. Baik pada sisi apresiasi juga tak mustahil justru dicaci. Yah, disitulah kita mencoba menyemaikan makna. Menulis!!!
Banyak intelektual- intelektual tidak kemudian menjamin akan tumbuh iklim yang kemudian menimbulkan dinamisasi, iklim yang progresif tanpa adanya goresan pena. Dengan goresan pena itulah akan muncul nantinya spirit-spirit yang menimbulkan dinamika dan dialektika baik dalam nuansa dialektika tekstual maupun dialektika secara konstekstual.
Dunia akademik kita cenderung mereduksi istilah “goresan pena” dengan menggantinya menjadi membuat makalah, tugas-tugas kuliah, juga karya tulis ilmiah yang menumpuk di pasar loakan. Sekilas memang kita melakukan dialektika dua sisi yang saya sebut diatas, akan tetapi spirit mengimani laku penulis riset seperti yang diungkapkan oleh munawir aziz itulah yang saya kira semakin hilang.
Laku penulis riset disini perlu kiranya kita kembangkan di kampus kita. Karena dengan mengimani ini, maka spirit dinamika intelektual, dialektika langsung maupun tidak langsung itu kemudian muncul subur.
MEminjam istilah Pram dari Kartini ; “Menulis untuk Keabadian”. MEnjalani laku sebagai penulis akan membawa kita pada sisi keabadian. Sedangkan “seleksi alam “ tentu ada seperti yang diungkapkan Charles Darwin. Yah, dengan sendirinya penulis yang mampu menangkap dialektika secara alamiah, dinamika tekstualitas dan mengolahnya ,menjadi teks yang lebih bermakna itulah yang kemudian menjadi penulis abadi.
TErakhir kalinya menjalani laku sebagai penulis adalah pilihan untuk mengurai spirit zaman, dan menyemaikan makna dalam pergulatan setiap zamannya. Tentunya dengan tanggungjawab sebagai intelektual mahasiswa, yang tidak melupakan sumpah mahasiswanya dalam tulisan-tulisannya. Bukan, sekali lagi bukan spirit yang direduksi hanya pada pengembangan karya tulis ilmiah maupun makalah-makalah yang itu merupakan tugas dari dosen semata.

PEnulis Adalah Presidium Kawah Institute Indonesia,Belajar di Universitas Muhammadiyah Surakarta

Rabu, Juni 10, 2009

Senin, Juni 08, 2009

"Pertanyaan mendasr TenTanG PenDidikan"

Apakah
LOGIKA PENDIDIKAN KITA SEPERTI INI ???

"Anda punya uang, kami beri anda titel. Anda boleh kuliah, boleh tidak. Suka-suka anda. Kami tidak peduli anda mau pintar atau tidak. Kami tidak peduli anda mau bermoral atau tidak. Kami tidak peduli anda besok bisa bikin apa. Yang penting anda bayar, kami untung. Jangan lupa, biaya sudah termasuk pajak untuk kami setorkan ke pemerintah"

JIKA IYA,MARI KITA LAWAN!!!LAWAN!!!LAWAN!!!

By Kawah Institute Indonesia
{Pusat Studi&Pembelajaran Generasi revolusioner}
{arifsaifudinyudistira*}

*)Presidium Kawah Institute Indonesia

"Solo ilang Salane"

Solo Ilang Salane???
Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Tidak selamanya yang dikatakan bersih,indah adalah cerminan masyarakat berbudaya. Justru letheknya pasar tri windu itulah yang membuat turis-turis itu suka. Akan tetapi kalau kita lihat pasar tri windu sekarang ini, justru turis tidak suka lagi, nuansanya itu lho sudah hilang, rasa, itu sudah hilang disinilah nilai estetis budaya itu ada kata Laura seorang warga italia yang betah di Solo,juga seorang budayawan.
Spirit wali kota untuk mempercantik kota solo dengan mengajak partisipasi warga solo perlu kita sambut dengan dukungan yang hangat. Akan tetapi, ketika spirit mempercantik kota solo dengan menggusur tempat-tempat yang kemudian mempunyai nilai budaya serta sejarah kota solo, ini yang kiranya perlu kita luruskan.
Barang sing luwih separo abad, kuwi ojo diancurake begitulah salah satu cirri benda yang bisa dianggap mempunyai nilai sejarah dalam pepatah jawa.. Akan tetapi, saat ini nilai atau spirit Solo sebagai kota budaya akan terasa meredup ketika tempat-tempat berbudayanya sudah hancur.
Budaya tidak selalu identik dengan gaya modernisme. Kebersihan, kemudian keindahan, tidak bisa kita gandengkan dengan suasana pasar gedhe misalnya yang serba kotor dan ruwet. Juga pasar tri windu yang penuh dengan barang unik yang berantakan. Justru disitulah letak rasa, rasa kekhasan kota solo dibanding dengan kota yang lain.




Rasa inilah yang kini mulai hilang, ketika tidak ada yang membedakan Solo dengan kota yang lain, maka hilanglah kekhasan sebuah kota. Rasa-rasanya pemerintah kota solo perlu untuk bersama-sama ngudarasa terhadap permasalahan ini dengan sesepuh atau budayawan solo, sehingga pembangunan yang ada tidak kemudian menggusur nilai budaya dan estetika solo.


Oleh Arif Saifudin Yudistira,,,,pelajar Solo

Minggu, Juni 07, 2009

Puisi sapardi joko darmono

aku ingin
aku ingin mencintaimu dengan sederhana :
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya debu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana :
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.

Senin, Juni 01, 2009

"Puisi Jeritan bangsa"

Sebuah Renungan


Negeriku,…
Kau dijajah,ditindas…..
Tapi tak ada putera-puteramu yang peduli…
Mereka terlena di negeri surga…
Mereka lupa akan anugerah Tuhannya
Lupa akan semua ini dari-Nya
Akankah kita terus begini…
Keadaan itu akan kembali…
Kita ditindas…
Budaya kita dirampas…
Rakyat kita disiksa…
Sebagai babu-babu mereka…
Kawan,…
Sampai kapan kita akan begini…
Sadar….,Sadar…..,atau kita akan terbuang!!!
Terbuang….selamanya……..
Perempuanmu yang dulu suci….
Suci….tanpa terkotori….
Tapi,kini….
Kesucianmu….,keanggunanmu,…..
Kau lepas dan kau ganti
Dengan baju bikini…
Kau rela melepas pakaian moralmu,budayamu….
Demi satu kata, kemenangan untuk kalah….
Karena kau membuang…
Membuang baju dan budayamu…
Untuk iklan sabun para penjajahmu
Sampai kapan,….
Indonesia dijajah….
Malu…dulu…, kini tak ada lagi
Hilang…..,hilang……
Yang tinggal hanya kemaluan
Ohhh….,negeriku…
Kau hijau…dulu…
Kering…..kini…..

"Menata Kembali Gerakan Kita"

“Perlunya Menata kembali Sebuah Gerakan di Jaman Edan”
Oleh Arif Saifudin yudistira*)

“Kebebasan lebih merupakan syarat yang tak bisa ditawar-tawar lagi
Agar manusia dapat memulai perjuangan
untuk menjadi manusia yang utuh”(Paulo Freire)

Iklim dalam dunia kampus kita sudah menjadi system yang benar-benar absurd. Tidak heran kebanyakan dari kita selaku mahasiswa akan sangat gagap ketika menghadapi dunia di masyarakat. Semangat jaman yang dibentuk dan diwariskan oleh pemimpin-pemimpin bangsa kita sudah dilupakan oleh generasi kita.
Pada jaman pemimpin bangsa dulu mereka benar-benar merasakan adanya penindasan yang benar-benar diwujudkan dalam kasus nyata. Seperti, pembunuhan, kerja paksa, dan penegeksploitasian alam secara terang-terangan. Mereka pada waktu itu benar-benar merasakan apa artinya menjadi jiwa yang bebas dari penin dasan. Sehingga keadaan mereka memaksa untuk belajar politik,strategi,dan cara untuk keluar dari penindasan tersebut.
Sangat berbeda dengan dunia kita saat ini, mahasiswa sudah dimanja dengan berbagai surga dunianya sehingga apa yang disebut kebebasan itu tidak pernah ada,tapi mereka begitu menikmati ketidak bebasannya. Mulai dari hiburan dan segala macamnya yang tidak memerlukan usaha yang susah payah untuk mendapatkannya. Lagi-lagi penindas yang akan meraup keuntungan,tidak perlu heran dengan itu. Karena hal itu sudah lama diprediksi oleh Erich Fromm : “Sistem ekonomi kita menciptakan manusia-manusia yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan system itu, system kita menciptakan manusia yang cita rasanya seragam seleranya distandarkan,yang gampang dipengaruhi,yang kebutuhannya dapat diantisipasi”.
Kita memang jarang dididik untuk mengharagai dan menumbuhkan kepluraran. Aturan kita saat ini pun dibuat menuju ke arah yang demikian. Tidak ada proses pembelajaran, pengembangan pola pikir, dan apalagi kebebasan hidup.

Mau gimana lagi jika sudah seperti ini, kita mau menyalahkan siapa?. Wajar, itulah kata yang pantas menggambarkan kemapanan yang tidak mapan ini. Mahasiswa kita saat ini berbeda dengan mahasiswa di tahun-tahun perjuangan. Minat baca kurang, inginnya dapat nilai bagus, dan bangga dengan semboyannya : “muda foya-foya ,tua kaya raya ,dan mati masuk surga”.
Seperti kata Paulo freire diatas syarat untuk menjadi manusia yang utuh adalah bebas. Bagaimana mungkin kita bisa menjadi manusia yang utuh, bila saat ini kita tidak pernah sadar dengan kondisi yang tidak bebas ini namun terlena dan bangga. Maka tidak salah bila solusi dari ini adalah penyadaran. Penyadaran itu hal yang tidak mudah, perlu adanya system pula yang mendukung hal itu. System ini akan berbenturan dengan system yang besar dan yang sudah mapan.
Perlunya Rekonstruksi kultur akademik

“Bangsa budak belian akan mendidik anak-anaknya di dalam roh perhambaan dan dan penjilatan, bangsa orang merdeka akan mendidik anak-anaknya menjadi orang-orang yang merdeka” ( Bung Karno )
Sudah sejak dulu terbukti kekuatan kultur merupakan kekuatan yang sulit dirobohkan. Bangunan kultur terbentuk dari sebuah gerakan yang tertata rapi. Mari kita lihat dalam kultur mahasiswa saat ini, budaya membaca baik membaca realita maupun membaca buku saat ini begitu minim dan cenderung menghilang. Setelah kita mengetahui hal ini, ternyata hal inipun tidak terjadi dengan sendirinya. Hal ini terjadi karena memang system di pendidikan kita juga mengarah kepada ketidakjelasan cita-cita maupun tujuan pendidikan itu sendiri. “mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum…………….”
Tujuan pendidikan kita semakin menjauh dari itu. Tujuan pendidikan kita seakan cenderung kea rah apa yang dikatakan bung karno pada kalimat pertamanya yaitu “Bangsa budak belian akan mendidik anak-anaknya di dalam roh perhambaan dan dan penjilatan”. Sangat sesuai dengan sikap pemimpin-pemimpin kita saat ini yang berani menggadaikan sikap nasionalisme dan harga dirinya demi untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran diri maupun golongannya.
“Tidak berbeda dengan dunia yang terjadi di mahasiswa saat ini, mahasiswa rela menggadaikan jiwa keberpihakannya dengan sejumlah uang ataupun bea siswa”.
Daya kritis kita hilang seketika dengan adanya itu, sebagai contoh juga kita akan merendahkan diri serendah-rendahnya demi mendapatkan uang jatah organisasi kita. Yang padahal kita belum jelas dengan tujuan kegiatan - kegiatan kita. Kita juga dibuat buta menganalisa kebijakan-kebijakan kampus, apakah kebijakan itu membuat kita makin bebas, ataukah justru semakin membuat kita tertindas, atau hanya membuat kita makin terlena dengan keadaan yang serba instant ini.
Pertanyaanya sekarang adalah apakah kita kembali terjirat ke dalam system itu, ataukah kita akan keluar dengan system itu dengan segala resikonya. Rasanya konsepsi “saya berpikir oleh karena itu saya ada” oleh Descrates perlu diterapkan disini. Sudah menjadi kebiasaan dari mahasiswa untuk malas berpikir, berpikir apapun.
Seperti dalam firmanNya dalam surat ali Imron ayat 190 :Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir. Jadi jelas dalam bergantinya siang dan malam itulah kita diperintahkan untuk berfikir,tidak hanya pada satu bidang tapi semuanya.
Perlunya pembacaan dan pemahaman terhadap sejarah
Organisasi dan pergerakan pada masa sebelum kemerdekaan adalah merupakan pelajaran yang kini nilai-nilainya sering ditinggalkan pada organisasi kita saat ini.

Nilai kemandirian

Organisasi kita saat ini cenderung “ njagagke ndoke si blorok”
(tergantung pada orang lain) dalam hal ini kita amat sangat tergantung kepada dana dari universitas, meskipun itu sudah menjadi hak kita. Tapi ketergantungan inilah yang saya kritisi, kita jadi tumpul otak kita bila tidak ada dana dari universitas, bingung dan sebagainya. Namun, organisasi dulu seperti SI(Sarekat Islam) adalah organisasi pergerakan juga mandiri dalam pendanaan dan non kooperatif terhadap penjajah.



Nilai Kedisiplinan
Sudah bukan menjadi suatu hal yang asing lagi bahwa organisasi kita saat ini terlalu menyia-nyiakan waktu. Waktu kita, kita sia-siakan dengan banyak bercanda ria, dan lain sebagainya. Sangat jauh dengan organisatoris di masa itu, tidak ada kata canda tawa, apalagi mengulur-ngulur waktu.
Nilai kebersamaan dan sikap kekeluargaan
Susah bicara kekeluargaan, kebersamaan di jaman penuh hedonis saat ini. Organisasi kita saat ini cenderung pragmatis dan oportunis. Nilai-nilai itu kian luntur, dan semakin ditinggalkan. Kita sekarang cenderung memikirkan apa yang ingin menjadi ego pribadi-pribadi saja. Kebersamaan kita hanya sebatas rame-rame saja dalam kegiatan saja.
Nilai dan semangat kerja keras

Anti bagi generasi dulu mendapatkan semuanya dengan instant. Tidak ada sesuatu hal yang gratis tanpa keringat. Walaupun hanya sesuap nasi mereka tidak akan memperolehnya kecuali dengan keringat. Semangat mereka luar biasa,tidak mengenal waktu demi tujuannya. Dalam organisasi kita saat ini berbeda, apa-apa serba ada, hanya tinggal memanfaatkannya tapi semangat perjuangannya amat jauh apalagi hasilnya.

Kembali kepada kebebasan dan kesadaran, dua bangunan ini amat sangat penting untuk menciptakan manusia yang utuh. Dalam dunia kemahasiswaan ini penting karena mahasiswa mau tidak mau harus melanjutkan estafet kepemimpinan.








Penulis adalah Presisium kawah institute indonesia

"Mari pangkas Birokrasi"

Mari, Memangkas Birokrasi di UMS
Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

Birokrasi ialah perkakas memerintah dan administrasi yang di zaman kapitalisme menjadi perkakas menindas kaum pekerja. Mulanya biro, kantor itu memang perlu buat satu pemerintah dan satu administrasi. Tetapi lama kelamaan oleh pengaruh kapitalisme menjadi badan yang terpisah dari Rakyat murba dan dipakai sebagai alat penindas semua gerakan murba yang membahayakan kekayaan dan kekuasaan kaum kapitalis yang di zaman kapitalisme memiliki birokrasi itu.(Tan malaka)
Begitulah gambaran dan pengertian birokrasi menurut tan malaka, lalu bisa kita sedikit merefleksikan hal tersebut pada birokrasi yang ada pada kampus kita yang tercinta ini, apakah juga sedemikian gambarannya?
Kampus kita memang kampus yang unik bila kita mau mengenalnya lebih dalam, kita bisa melihat pada statuta kampus kita yang bisa diakses oleh siapa saja, melalui website UMS,hanya saja sedikit orang yang mengetahui apa itu statuta.
Kembali pada masalah birokrasi, pada statuta kita sedikit banyak berbicara mengenai rector, pembantu rector, kemudian dekan, wakil dekan, dan sebagainya. Mengenai peranan dan fungsinya mungkin kita bisa baca lebih lanjut pada stauta kita.
MEmang sekilas tidak ada yang janggal dalam pembacaan statuta kita, akan tetapi akan terlihat jelas ketika kita melihat realita birokrasi kita saat ini. Birokrasi kita memang sudah sering berganti-ganti. Dulu, birokrasi kita bisa dikatakan bagus ketika semua urusan mahasiswa bertumpu pada Pembantu Rektor III di jaman pak Priyono, Namun bisa kita lihat birokrasi kita sekarang ini.
Kita bisa melihat disini, wakil rector tiga kita mempunyai banyak pembantu juga, ada pembantu bidang penalaran, bidang kemahasiswaan ,ada bidang bea siswa. Sampai-sampai tidak jelas lagi, apa tugas wakil rector tiga kita. Kalau kita melihat definisi birokrasi yang dikatakan tan malaka di atas, mungkin ini juga berkaitan dengan kekayaan dan kekuasaan kaum birokrat kita.
Kenapa kita harus memangkas birokrasi kita?
Salah satu ciri universitas yang baik atau good university adalah universitas yang ramping birokrasinya. Karena ini terkait dengan pelayanan dan akuntabilitasnya. Birokrasi yang ramping juga akan meminimalisir masalah-masalah keuangan, maupun pelayanan administrasi.
Selain itu, dengan merampingkan birokrasi kita, anggaran keuangan kita bisa digunakan untuk menaikkan gaji para tukang sapu kita, yang di dokumen kontrak politik kita akan diangkat penghasilannya(menurut audiensi calon rector).
Begitulah administrasi itu menjadi Berat-Kepala (topheady). Lebih berat kepalanya daripada kakinya. Karena semua putusan mesti datang dari atas, maka semua putusan itu terlambat datangnya ke bawah. Tindakan yang mesti dijalankan dengan cepat mesti ditunda karena menunggu putusan atas. Tindakan itu sering terpaksa ditunda selamanya, karena tidak akan berhasil lagi kalau dijalankan juga, sudah terlewat.(Tan Malaka).
Terakhir kalinya, semoga suara ini bisa di dengar para birokrat kita dan menjadi evaluasi bagi para pimpinan dan petinggi di UMS ini,semoga.






Penulis adalah Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa UMS 2009/2010