Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Rabu, Januari 26, 2011

Ilusi Penanda Kota Solo



Oleh Arif saifudin yudistira*)

“[Para kapitalis] seperti mucikari, menggunakan segala trik untuk mengkomersialkan setiap rangsangan libido demi memperoleh nilai tambah. Mereka mengeksploitasi kegairahan secara tanpa batas”{jean Francois Lyotard,93}.

Kegelisahan wali kota akan kotanya ternyata memperoleh jawaban pada hari ini. Wali kota kita ingin solo sebagai kota budaya memiliki ciri khas di setiap sudut kotanya yang membuat para wisatawan tertarik datang ke solo. Cara yang digunakan untuk itu menuai kontroversi. Satu sisi wali kota ingin solo dibangun dengan penanda kota dengan tidak meninggalkan budayanya. Akan tetapi, cara jokowi membuat penanda bagi kotanya menuai kritik dari warganya.
Berikut komentar warga tentang pembangunan makutha tersebut. “ Tidak setuju. Aku lebih setuju tugu batas tetap yang lama, kalau mau direnovasi silakan, tapi yang perlu diingat adalah jangan menghilangkan nilai historinya. Buat apa bergaya modern? Wisatawan yang dilihat atau yang dikunjungi adalah tempat yang memiliki niali history,belajarlah dari bali apa yang mereka jual”[solo pos /13/1/2011]. Pernyataan yang disampaikan warga solo tentang kotanya ada benarnya. Bahwa nilai history lebih menjual, karena sebenarnya wisatawan manca tidak suka nilai modern,sebab di kota mereka sudah banyak. Nilai history inilah yang menjadikan kota tetap adiluhung dengan maha karyanya.
Kita sudah belajar dari pengalaman renovasi pasar tri windu. Meski tampak modern dan lengkap dengan kemegahannya, aspek history cenderung diabaikan. Bagaimana kemudian relevansi visi dan jargon solo sebagai kota budaya ketika dibenturkan dengan desakan dan libidonomic yang Nampak pada pembangunan makutha.
Selain anggaran yang cukup besar, yaitu menggunakan anggaran 3,7 miliar yang bersumber dari investor, pembangunan makutha lebih cenderung pada aspek kapitalis yang mengedepankan nilai jual bangunan tersebut dari sisi penghasilan reklame. Yang lebih mengherankan adalah ketika makutha pengelolaannya diserahkan selama sepuluh tahun kepada investor.

Ilusi penanda

Penanda dalam kota atau lebih kita kenal sebagai ikon kota solo sebenarnya sudah sering kita dengar. Sebab, solo kaya akan khazanah benda maupu seni budaya yang merupakan warisan heritage yang luhur. Kita punya taman hiburan rakyat sriwedari yang popular sejak jaman dahulu. Kita juga mempunyai taman jurug yang cukup bersejarah hingga diabadikan dalam sebuah lagu pula. Kita memiliki musem radya pustaka, kemudian keraton Surakarta.
Kesemuanya tadi adalah tidak sekadar benda bercagar budaya, akan tetapi telah didokumentasikan dalam bentuk narasi-narasi sastra, narasi-narasi artikel, essai, dan dokumentasi sejarah yang membuktikan dan mengangkat solo semakin kukuh dengan label kota budaya.
Alasan yang digunakan jokowi membangun makutha kalau kita lihat ternyata hanyalah ilusi penanda. Sebab, makutha yang rencananya berbentuk kubah mahkota raja itu dipilih sebagai filosofi kresna. Akan tetapi, yang muncul adalah ilusi yang ternyata mengunggulkan kemegahan bangunan dan fungsi capital saja.
Kita mengerti dan memahami maksud jokowi untuk membangun penanda kota yang bisa menjadikan warga di luar solo bisa menikmati kekhasan kota solo. Akan tetapi, kita mesti sadar, bentuk-bentuk kolonialisasi yang memusatkan pada hasrat capital semestinya tidak kita turuti. Sebab manusia yang berbudaya pada hakikatnya adalah manusia yang menghargai karya manusia-manusia dan bangunan-bangunan yang ditinggalkan dari para pendahulunya.
Kita bisa melihat keinginan walikota membangun makutha tidak lain adalah kepentingan para investor dalam menanamkan modalnya di kota ini. Mengingat kota ini mempunyai potensi yang cukup tinggi di bidang pariwisata dan perdagangan. Maka, kita bisa melihat sisi politis dari pembangunan makutha tidak lain adalah untuk kepentingan investor.
Nilai ekonomi yang ditonjolkan lebih mengindikasikan walikota pro terhadap kapitalis, daripada sekadar membangun sebuah penanda kota. Sebab masih banyak penanda-penanda kota yang perlu dirawat daripada membangun penanda kota yang baru. Seperti tugu-tugu kota solo, serta musem radya pustaka yang selama ini masih belum mendapatkan perhatian dalam menumbuhkan semangat warganya untuk melindungi cagar budaya ini.
Terlalu naïf, ketika kita membangun penanda lagi yang tidak memiliki nilai history, juga berorientasi pada nilai capital. Tetapi tidak meruwat dan merawat serta menggairahkan etos kita terhadap penghargaan benda cagar budaya. Sehingga, rencana wali kota membangun makutha hanya sebagai ilusi penanda yang akan melenyapkan kota ini dari penanda-penanda yang sudah ada.
Kita perlu melihat objektif dalam memandang persoalan makutha sebagai penanda kota. Kota ini memang sedang mencari jati diri dan mencari filosofi, sehingga perlu mematungkan filosofi dalam bentuk bangunan fisik, ataukah sebaliknya, kota ini merasa menanamkan filosofi dalam bentuk yang fisik saja, bukan pada bentuk aplikasi?.
Filosofi lebih mencerminkan tata kepribadian yang akan membawa kota ini berbudaya. Sayangnya, filosofi budaya jawa yang tepo seliro, kenal unggah-ungguh , dan menjadikan filosofi jawa sebagai pola perilaku keseharian belum berhasil diterapkan pada generasi muda. Akan lebih baik, ketika filosofi kresna dan filosofi lainnya ditanamkan dalam benak para remaja dan generasi mudanya, daripada memuseumkan filosofi kresna dalam bentuk bangunan makutha.
Tidak salah membangun filosofi dalam bentuk fisik, akan tetapi alangkah lebih baik ketika filosofi tercermin dalam aplikasi dan pola kehidupan sehari-hari daripada sekadar membangun filosofi ke dalam bentuk-bentuk fisik yang membatu. Langkah inilah yang belum memperoleh jawaban hingga saat ini. Pemerintah tampaknya lalai melihat kecenderungan anak muda kita yang lebih mementingkan budaya konsumtif dan budaya hedonis ketimbang menonton wayang sebagai pelajaran dan khazanah budaya. Perhatian ke arah sana, adalah sebuah keharusan yang lebih urgent saat ini, daripada memperindah bangunan kota yang berorientasi pada capital dan citra semu.

*) Penulis adalah pegiat komunitas tanda tanya, belajar di UMS

Demokrasi Minus Perwakilan



Oleh Arif saifudin yudistira*)

Tragis, Itulah ungkapan yang menggambarkan nasib negeri ini. Betapa kita melihat koruptor yang sudah terbukti melakukan tindak pidana korupsi, tapi masih saja memperoleh keringanan hukuman. Gayus tambunan yang dituntut 20 tahun pernjara ternyata hanya memperoleh vonis hakim 7 tahun penjara[20/01/11]. Kasus gayus adalah pelajaran kesekian kalinya betapa hukum di negeri ini ibarat mainan saja bagi orang yang berpunya. Wajar jika ada seorang mantan napi mengatakan dalam syairnya : ‘alangkah lucunya negeri ini, hukuman bisa dibeli”. Jangan heran,sebab negeri ini memang sudah menjadi negeri para Mafioso.
Ketidakhadiran Negara dalam peran dan wewenangnya menangani berbagai persoalan yang ada dianggap sebagai seuatu hal yang wajar dan lumrah oleh para pemimpin negeri ini. Presiden semestinya sebagai perwakilan eksekutif yang tidak hanya sebagai kepala pemerintahan, tetapi juga kepala Negara, ketika terjadi permasalahan yang rumit, maka peran sebagai kepala Negara wajib menangani kasus-kasus tersebut.
Meski setelah adanya seruan moral dari para ulama dan para rohaniawan, SBY melakukan instruksi terkait penyelesaian kasus gayus, sepertinya pemerintah kita belum menunjukkan keberaniannya membuka persoalan yang pelik di negeri ini. Memang perlu kita cermati, persoalan gayus bukanlah satu-satunya kasus di negeri ini. Kasus rekening gendut POLRI, kasus century, kasus lapindo, dan kasus penunggakan pajak adalah persoalan yang sebenarnya persoalan lama yang tak kunjung mendapatkan perhatian.
Dalam demokrasi, kita menganut prinsip perwakilan adalah lembaga yang semestinya menjadi penyalur dan lembaga solutif bagi persoalan rakyat. Akan tetapi, yang terjadi saat ini para pemimpin kita yang ada di eksekutif dan legislative sepertinya memang abai terhadap persoalan rakyat. Kemiskinan yang merajalela, kemampuan dan nilai mata uang yang semakin tiada arti dihadapkan dengan mahalnya harga-harga kebutuhan pokok adalah contoh realnya. Pemerintah tidak berdaya sama sekali dihadapkan dengan persoalan harga kebutuhan masyarakat.
Persoalan demokrasi masih pada persoalan klasik. Kewajiban partai politik dan unsur-unsur dalam pilar-pilar demokrasi dirasa kurang dalam melakukan pendidikan politiknya kepada rakyat kita. Sehingga, persoalan demokrasi saat ini cenderung direduksi sebagai ceremonial pemilihan umum. Sistem yang ada ternyata belum mampu melahirkan generasi-generasi yang lahir dari rahim rakyat. Namun yang muncul sebagaimana dengan kondisi saat ini, yang menjadi calon pemimpin eksekutif dan legislative adalah sebuah dinasti yang dibangun para pendahulunya.

Demokrasi kita mengalami persoalan yang sangat krusial dalam implementasi dan substansi demokrasi. Demokrasi yang idealnya mendasarkan cita-citanya pada cita-cita konstitusional, yang ada justru sebaliknya demokrasi adalah alat untuk berkuasa dan menancapkan kuasanya yang dilegitimasi melalui konstitusi yang dilegalkan. Praktiknya jelas yaitu pengkhianatan demokrasi dengan mengesahkan undang-undang yang tidak mendukung tercapainya cita-cita konstitusional. Misalnya UU Penanaman modal, UU MIGAS, UU ketenagakerjaan, UU MINERBA, dan lain-lain.
Undang-undang yang dibuat untuk memperlancar asing menancapkan kembali kekuasaannya adalah wujud pengkhianatan konstitusi kita. Persoalan yang muncul adalah undang-undang tersebut memperlancar asing menindas rakyat. Misalnya pada undang-undang penanaman modal yang membolehkan mengambil tanah rakyat dengan system ganti rugi. Ini mengakibatkan rakyat menjadi semakin tersingkir dari kedaulatannya.
Ketika melihat persoalan ini, apakah sampai saat ini partai politik kita juga mengawal hak-hak ekosob dalam konteks pemenuhan hak-hak rakyat. Partai –partai saat ini memiliki kecenderungan menjadikan rakyat sebagai penonton saja. Penonton dalam menyaksikan drama-drama politik yang dimainkan media dan pemerintah. Kesemua berita yang ditayangkan dalam layar televisi kita semakin menjelaskan ketidakberdayaan dan ketidakjelasan posisi pemerintah. Barter politik pun menjadi satu permainan yang dilakukan partai politika kita. Apalagi sekarang dipayungi dengan setgab presiden. Ketika demikian, mustahil rakyat akan memperoleh kepastian akan kasus-kasus kejahatan yang dilakukan para elit negeri ini. Dimanakah letak keterwakilan dalam demokrasi?.
Kondisi ini disebabkan oleh rakyat yang seharusnya memiliki kedaulatan tidak mampu mewujudkan kedaulatannya di negeri ini akibat para actor-aktor di eksekutif dan legislative ternyata berkhianat terhadap cita-cita konstitusi kita. Sebagaimana Muhammad hatta pernah mengatakan : “Rakyatlah yang memiliki kedaulatan, bukan Negara yang memiliki kedaulatan”. Artinya, kedaulatan Negara sebenarnya adalah kedaulatan rakyat. Konsep teori mandat yang ada selama ini, ternyata belum dimanifestasikan sepenuhnya oleh wakil rakyat kita. Sehingga kondisi yang ada, adalah golongan mewakili golongannya, partai mewakili partainya,dan kepentingan pribadi bertengger lebih tinggi daripada kepentingan rakyat.
Kemandegan saluran demokrasi dan lembaga-lembaganya membawa rakyat pada sikap kepesimisan dan apatisme sehingga menimbulkan riak-riak perlawanan terhadap kondisi yang ada. Rakyat bosan dengan permainan para elit-elit politik yang tak kunjung selesai. Ironi di negeri ini adalah kemiskinan ditengah kekayaan alam kita. Ini disebabkan karena persoalan karakter di tangan para pemimpin inilah yang tidak ada. Senada dengan yang diungkapkan oleh Pramudya ananta toer : “ Selama beratus-ratus tahun lamanya negeri ini dijajah oleh bangsa barat, negeri ini dihisap, dirampas kekayaan alamnya,negeri yang begitu kaya, disulap menjadi negeri pengemis karena tidak adanya karakter pada kaum elit”.

Penulis adalah mahasiswa universitas muhammadiyah surakarta, bergiat di komunitas tanda tanya.

Minggu, Januari 23, 2011

Mahasiswa Dan Hilangnya Etos kepahlawanan



Oleh Arif saifudin yudistira*)

Pahlawan dimaknai sebagai seorang yang menonjol keberaniannya dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Akan tetapi kalau kita lihat saat ini etos kepahlawanan makin lama makin pudar dan tak nampak pada generasi muda kita saat ini. Generasi muda kita lebih cenderung memikirkan pada bagaimana nasib mereka sendiri dan mencapai kesuksesan pribadi mereka.
Iklim akademik kampus pun ikut membentuk pola pikir yang demikian. Kampus sebagai basis yang seharusnya mengikatkan diri dan berintegrasi terhadap masyarakat ternyata malah tercerabut dalam menghadapi persoalan masyarakat. Sehingga ilmu dan metodologi dan karya ilmiah yang ada terasa jauh dari kepentingan masyarakat dan bahkan tidak memberi kontribusi yang nyata bagi masyarakat.
Kegalauan ini pun dirasakan oleh ekonom sekaligus rector UMS Prof. Bambang Setiaji berkaitan dengan peran kampus dan sumbangsihnya terhadap masyarakat. Ia mengatakan dalam pidatonya sewaktu dies natalis UMS : “ Jumlah riset banyak sekali, namun demikian dirasakan banyaknya riset tersebut belum berdampak signifikan terhadap kemajuan bangsa”. Ini karena riset-riset tersebut tidak applicable dan bersifat teoritis semata.
Ketika hal yang demikian yang terjadi di kampus-kampus di negeri ini, maka kekhawatiran yang muncul adalah kampus akan menjadi menara gading di tengah permasalahan bangsa dan negara, tetapi tidak mampu menawarkan alternative solusi terhadap permasalahan bangsa ini.
Etos kepahlawanan di mata generasi muda dan civitas akademika perlu digalakkan dan ditumbuhkan kembali. Sebab dengan mengilhami etos-etos para pahlawan kita, kita akan menemukan karakter yang kuat untuk membangun mentalitas dan karakter bangsa. Etos kepahlawanan hadir tidak hanya dengan slogan-slogan yang muncul ketika hari pahlawan ada, tapi menghargai dan mengilhami semangat perjuangannya itu yang berat.
Kita tahu betul, generasi kita saat ini minim figure kepemimpinan. Globalisasi dan modernitas menyeret generasi muda kita pada pribadi yang hilang dan rapuh diri. Nampak pada bagaimana mereka lebih mengidolakan artis atau pun bintang film popular daripada mengenal sosok pahlawan mereka. Jangankan kartini, sukarno, hatta, apalagi tan malaka, adalah nama-nama asing di telinga mereka.
Kita menjadi generasi yang memuja popular dan memuja budaya media yang menjadi panutan dan buku gaya kita, daripada membaca karya-karya para pendiri bangsa ini. Etos pahlawan kalah dengan etos dan semarak menjadi bintang dengan berbagai audisinya. Generasi muda kita lebih bangga dan narsis dengan ajang-ajang pencarian bintang yang membawanya pada kemahsyuran dan kejayaan. Meski sadar, mereka sudah menikmati syndrome popular dan syndrome “pop culture”.
Kegelisahan dan keresahan ini sebenarnya sudah diungkapkan oleh banyak pakar sejarah dan pakar pendidikan kita. Beberapa penelitian menunjukkan karena lembaga pendidikan kita tidak memberikan pengenalan yang massif terhadap sejarah bangsa dan pahlawannya. Di negara lain, membaca buku sejarah dan bangsa serta mengenal para pahlawan dijadikan semacam pelajaran wajib di sekolahan-sekolahan. Akan tetapi,di negeri ini tidak ada pewajiban membaca buku-buku tokoh pahlawan kita.
Ilmu dan pelajaran sejarah di sekolah kita direduksi menjadi ilmu Tanya jawab semata, yang mengakibatkan generasi kita tidak mengenal etos kepahlawanan di negeri ini. Mereka lebih memahami sejarah dengan logika menjawab soal dan hafalan daripada nilai filosofi dan etos kepahlawanan.

Perlu keterlibatan civitas akademika

Kerja membangun peradaban ini adalah tugas berat bagi kita semua terutama generasi muda kita. Para guru besar dan intelektual kampus semestinya menyadari bahwa permasalahan ini adalah permasalahan besar. Dunia ini begitu sesak dan penuh dengan berjejal informasi, teknologi, dan juga benturan budaya dari luar.
Ketika benturan budaya ini tidak diantisipasi dengan karakter dan kepribadian kita, maka yang muncul adalah manusia-manusia yang gagap budaya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Alvin Toffler dengan sebutan “shock culture”. Modernitas dengan berbagai konsekuensinya tidak harus dihindari, tetapi dihadapi dengan strategi. Keterlibatan seluruh civitas akademika untuk menumbuhkan kembali semangat dan etos kepahlawanan akan membawa kita pada kemantapan mentalitas serta ketangguhan pribadi menghadapi permasalahan bangsa ini.
Mahasiswa sebagai pressure group [kelompok penekan] perlu juga menguatkan kajian dan strategi yang massif dari infiltrasi budaya pop yang membawa kampus pada gemerlap yang semu dan pribadi yang tidak berkarakter. Kampus harus menjadi garda depan dalam menciptakan solusi dan alternative untuk kemajuan bangsa.
Sebab, bangsa yang semakin sesak dengan berbagai permasalahan dan arus modernitas memerlukan generasi yang mampu menjawab segala persoalan ini. Tantangan generasi muda saat ini justru lebih berat dengan benturan budaya dan teknologi yang secara tidak sadar meringkus kesadaran kita.
Sadar dengan hilangnya etos kepahlawanan dan tantangan yang berat ini, mahasiswa dituntut membangun kerja inteleltual dan kerja praksis di tengah rumitnya permasalahan bangsa dan arus globalisasi. Perlu keteguhan mentalitas dan semangat pengorbanan yang harus ditumbuhkan. Dengan melatih kemampuan dan kepekaan intuisi kita terhadap permasalahan umat, kita akan mampu menganalisa dan mengembangkan kerangka konseptual dan alternative solusi bagi bangsa ini. Tugas seorang intelektual adalah mencela ketidakadilan dimanapun ia berada, barangkali apa yang digaungkan satre belum juga menemukan terang di dunia mahasiswa dan generasi muda kita. Ini adalah tantangan yang mau tidak mau memerlukan jawaban bagi generasi muda dan mahasiswa.

Penulis adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah surakarta, bergiat di komunitas tanda Tanya.

Mahasiswa, Masihkah Anti Korupsi?



Arif saifudin yudistira*)

Pengawalan gerakan anti korupsi yang dilakukan oleh mahasiswa sepertinya mandeg di tengah jalan. Mahasiswa miskin alternative dan miskin konsepsi gerakan anti korupsi. Posisi yang strategis yang seharusnya bisa dimainkan tapi justru meringkus gerakan mahasiswa untuk ikut arus atau sekedar mengikuti pola LSM dan lembaga-lembaga pemerintah. Alhasil, mahasiswa belum mampu menciptakan budaya anti korupsi yang cukup signifikan mewarnai gerakan anti korupsi di masyarakat.
Posisi mahasiswa sebagai the middle class[kelas menengah] yang menjadi penghubung antara pemerintah dan organ-organ saluran demokrasi dinilai lemah dan lesu. Pasalnya mahasiswa seringkali tergiur dan terombang-ambing oleh adanya arus kepentingan yang berjubel mulai dari ormas masyarakat, LSM, lembaga Negara, hingga proyek branding yang diajukan kampus untuk mengentaskan nama kampus dari jurang ketidakpopuleran. Maka tidak heran, yang muncul adalah model-model gerakan anti korupsi yang sebatas pada pembicaraan yang tidak substansial. Mahasiswa tak mampu menyuarakan suaranya, melainkan hanya sebatas EO[event organizer] sebuah proyek seminar anti korupsi.
Ini terlihat jelas di kampus-kampus yang tidak memiliki platform politik yang jelas. Yang mereka tidak mampu dan tidak memiliki kerangka kerja konseptual maupun kerangka kerja praksis yang akan membawa mahasiswanya kepada suatu tujuan yang jelas. Yang lebih mengerikan lagi adalah ketika mahasiswa dan eksekutifnya bersembunyi dibalik ketiak birokrat kampus.
Logika mengekor ke birokrat ini akan menimbulkan dampak mentalitas maupun dampak yang signifikan terhadap pola gerakan yang ada. Bisa dibaca jelas, apa yang dilakukan mahasiswa adalah apa yang dikomandokan oleh rektorat. Sehingga mahasiswa miskin strategi, miskin gagasan, miskin intelektual, dan dependent.
Ketika kampus sebagai basis akademik tidak mampu mengembangkan kerangka konseptual dan kerangka pemikiran ilmiah tentang bagaimana strateginya menghadapi permasalahan yang ada dan bagaimana cara menyelesaikan permasalahan masyarakat. Maka yang muncul adalah kampus yang ramai dengan kegiatan akademik, tetapi miskin substansi dan pemaknaan.
Kampus yang demikian akan menunggu waktu sejarah berbicara. Sebab, kampus yang demikian, akan tidak mampu berkembang dan mengembangkan diri. Sebab generasinya tidak dibekali kemampuan dan analisa kritis menghadapi permasalahan di masyarakat.

Peran civitas akademika?

Sebenarnya kita selaku mahasiswa memiliki peran yang strategis dalam menyuarakan gerakan anti korupsi. Dua peran yang bisa kita ambil adalah gerakan konsepsi dan gerakan teknis. Untuk gerakan konsepsi bisa dilakukan dengan merumuskan pola pengembangan gerakan anti korupsi jangka panjang. Ini bisa dilakukan dengan menjalin kerjasama dengan elemen-elemen masyarakat untuk membudayakan budaya anti korupsi secara berkelanjutan. Dengan membuat konsep gerakan anti korupsi yang memungkinkan dipraktekkan dalam jangka waktu yang lama dan berkelanjutan. Sebab ketika kultur keterbukaan dan akuntabilitas tidak dijalankan, budaya korupsi sulit untuk kita hilangkan.
Untuk kerangka teknis bisa dilakukan dengan melakukan gerakan kritis dalam bentuk diskusi dan forum akademik, ataupun dengan demonstrasi untuk menyuarakan dan mengkritisi pemerintah yang selama ini tidak mampu melakukan gerakan anti korupsi yang konkret. Ini terlihat ketika lembaga-lembaga Negara ini terkesan hanya menghabiskan uang Negara tanpa hasil yang nyata dilihat rakyat. Karena kalau kita lihat efektifitas pemberantasan korupsi bisa dinilai dari pemberantasan dan penghilangan politik nepotisme yang kerap membawa ketidakadilan dan mendukung koruptor.
Selain itu, mahasiswa perlu menggandeng pers dan media massa untuk menyuarakan dan mengkampanyekan isu-isu korupsi secara massif. Sehingga masyarakat tidak diombang-ambingkan oleh berita yang ada. Karena ketika melihat kasus korupsi selama ini yang disorot media adalah isu korupsi yang diusung oleh lembaga-lembaga anti korupsi yang terkesan getol memberantas mahasiswa tanpa peranan mahasiswa. Peran mahasiswa pun tersingkirkan dan diremehkan ketika tidak mampu mengajak dan bersinergi dengan pers dan media massa.
Ketika gerakan konsepsi dan gerakan teknis bisa dilakukan secara sinergi maka akan mampu mengangkat posisi gerakan mahasiswa di masyarakat dan pilar-pilar demokrasi pada satu sisi. Juga akan mampu memberikan dinamisasi pada masyarakat dan pencerahan terhadap masyarakat sehingga terbentuk masyarakat yang peduli terhadap permasalahan korupsi di daerahnya pada khususnya dan pada negeri ini pada umumnya.
Melihat kenyataan itu, mahasiswa perlu melakukan gerakan secara bersama bukan hanya berhenti pada konsep pendidikan anti korupsi dalam bentuk seminar-seminar. Akan tetapi juga pada budaya kritis yang menjadi controlling [control] mahasiswa sebagai corong masyarakat dalam menyuarakan aspirasinya. Selain itu, Mahasiswa perlu menggandeng pers dan media massa dalam rangka sounding [ menyuarakan] aksi-aksi mahasiswa dan kerja konkret dalam menciptakan iklim anti korupsi di lingkungan kampus maupun di dalam luar kampus [masyarakat].
Gerakan ini tidak mungkin bisa dicapai ketika mahasiswa tidak mempunyai platform gerakan anti korupsi yang jelas, konsepsi yang jelas, serta manajemen kerja yang jelas untuk melakukan gerakan anti korupsi bersama masyarakat dan rakyat kita. Dengan begitu, jelas mahasiswa mampu memainkan peranannya melakukan gerakan anti korupsi. Semoga ini tidak sekedar harapan tetapi langkah konkret ke depan untuk memberantas korupsi Indonesia secara substantive dan berkelanjutan.

Penulis adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, bergiat di Komunitas Tanda Tanya

Kamis, Januari 06, 2011

Membumikan Islam Yang Berkemajuan; Refleksi 52 Tahun UMS

Oleh Arif saifudin yudistira*)

Saat ini berbagai bencana dan musibah di negeri ini seolah tiada henti. Negeri ini yang dikaruniai berbagai kekayaan alam yang gemah ripah lohjinawi ternyata belum mampu keluar dari keterpurukan semenjak krisis tahun 97 hingga sekarang. Berbagai pendapat dikeluarkan mengenai akar permasalahan yang sebenarnya menjadi sebab kemelut bangsa ini mulai dari permasalahan korupsi, permasalahan kepemimpinan, dan permasalahan lain.
Ketika melihat Negara tetangga kita akan merasa iri, mengingat dulu Malaysia misalnya pernah belajar di negeri ini, tetapi sekarang ini kita yang justru mengekspor TKI{tenaga kerja Indonesia} yang nasibnya juga masih saja belum usai hingga kini. Menurut Din Syamsudin “Indonesia adalah negeri yang tidak punya blue print visi-misi ke depan yang akan memperjelas masa depan Indonesia”. Saat ini Indonesia justru menjadi sosok yang tidak lagi menghargai pemajemukan dan memandang itu sebagai potensi, tetapi yang saat ini terjadi malah “mikro nasionalisme” yang membanggakan seolah-olah Indonesia ada di jawa, sumatera, Maluku, dan lain-lain.
Yang terjadi kini adalah modal social dan cultural capital justru semakin hilang. Potensi yang ada tergerus budaya individualism, pragmatism, dan hedonism yang membawa negeri ini kian bertambah parah permasalahannya. Modal capital dan cultural capital inilah yang ternyata hilang.



Inferior dan mentalitas budak


Saat ini, kita menjadi bangsa yang sangat minim pertahanannya. Baik sisi cultural, ekonomi, social, politik, agrarian, dan lain-lain. Kita menjadi bangsa yang sangat welcome kepada pemodal asing dan pengaruh asing karena kita tidak memiliki daya juang, bahkan daya tahan kita tidak ada sama sekali sehingga kita cenderung menjadi bangsa yang inferior.
Kita begitu gagap dengan kedatangan china yang menyerbu dari berbagai sisi. Ekonomi, social, budaya, dan lain-lain. Kita juga begitu hormat kepada bangsa amerika yang begitu bergantung padanya. Begitupun kita tidak berdaya dengan gejala-gejala ekonomi yang berubah setiap saat di percaturan ekonomi dunia.
Oleh karena itu, sebenarnya kita membutuhkan suatu kekuatan untuk mewujudkan daya saing, yang akan membawa kita pada kejayaan Indonesia. Akan tetapi saat ini terasa sulit sekali, karena untuk mencapai daya saing, kita butuh daya juang yang tinggi, dan jangan sampai kita sampai pada mentalitas daya tahan,bahkan inferior.

Globalisasi memang suatu hal yang mutlak tidak bisa dielakkan, akan tetapi perlu kita antisipasi dengan strategi. Kunci menaklukkan globalisasi sebenarnya ada tiga hal diantaranya : daya saing, persaingan kompetitif, dan peningkatan kualitas. Dengan ketiga komponen inilah, kita bisa menaklukkan globalisasi menjadi sarana untuk mencapai kemakmuran bangsa kita.
Ketika kita belajar dari bangsa china, kita menemukan spirit yang luar biasa yang menjadi kunci china bisa menguasai dunia. Tidak lain dan tidak bukan adalah china mengembangkan perdagangan bebas, dengan karakter china. Karakter china itu tidak lain dan tidak bukan adalah mengembangkan perdagangan tanpa meninggalkan spirit agama yaitu konfusionisme.
Untuk itu, sebenarnya yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah pendidikan yang berimplikasi pada daya saing pada satu sisi, namun pada sisi lain adalah mengembangkan konsep pendidikan yang memadukan islam yang fungsional. Artinya, pendidikan tidak hanya diajarkan secara didaktis, akan tetapi sudah saatnya muhammadiyah dan amal usahanya mengembangkan studi keilmuan islam dan merumuskan epistimologi, maupun secara aksiologi tentang islam yang berkemajuan ini. Yang akan membawa kita tidak hanya pada tataran keilmuan, tetapi juga dalam tataran praksis, dan muhammadiyah perlu melakukan itu untuk mewujudkan islam yang mempunyai nilai maslahah bagi solusi permasalahan umat.


Peran UMS



Oleh karena itu, di usia 52 tahun UMS ini, sudah waktunya integrasi keilmuan yang mulai dibangun di UMS ini, dikembangkan menjadi studi keilmuan yang lebih intensif, yang lebih menjadikan mahasiswa UMS sebagai actor-aktor perubahan itu,sehingga cita-cita islam yang berkemajuan bisa dimulai di lingkungan akademisi.
Dengan membangun basis-basis keilmuan dan basis praksis yang dimulai dan diberikan dari lingkungan mahasiswa, cita-cita ke depan untuk mewujudkan islam yang berkemajuan akan bisa dirasakan muhammadiyah dan bangsa ini pada umumnya. Sebab dari perubahan intelektuallah, maka kita akan bisa merubah zaman dengan tidak melupakan islam sebagai fondasinya. Pembumian islam berkemajuan ini penting untuk merubah pandangan kita sikap kita dari mentalitas inferior, menjadi mentalitas daya tahan, sehingga bisa mencapai daya juang dan daya saing yang tinggi di kancah dinamika kebangsaan dan kemelut bangsa ini.

Tulisan dimuat di INFO UMS, Oktober 2010

Rabu, Januari 05, 2011

Demokrasi Minus Perwakilan???


Oleh Arif saifudin yudistira*)

Apakah yang terjadi dengan demokrasi di kampus kita ini?. Beranjak dari pertanyaan tadi, kita serasa merasakan demokrasi sepertinya hambar dan tidak lagi makanan yang enak dalam kehidupan di kampus kita tercinta. Apakah demokrasi kita saat ini adalah demokrasi electoral threshold yang hanya sebatas pemilihan umum saja.

Apakah demokrasi kita cukup berhenti pada pola pemilihan orang dan regenerasi kemudian selesai dalam tahapan pelantikan pemimpin yang baru?. Kita saat ini sudah mengalami masa-masa lesu, masa-masa yang sudah lama disebut oleh lyotard, bahwasannya kecerdasan manusia kini berubah pada kecerdasan artificial, artinya rutinitas-rutinitas kemahasiswaan kita ternyata belum mampu menunjukkan bahwa kita benar-benar melaksanakan tugas sebagai elemen pergerakan mahasiswa.

Saya jadi teringat kata-kata soe hok gie : Pertanyaan pertama yang harus kita jawab adalah: Who am I? Saya telah menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi ketidak-populeran, karena ada suatu yang lebih besar: kebenaran” .[Gie].

Pergulatan menuju kebenaran dalam proses demokratisasi bukan hanya kemudian ditentukan subjektifitas para pemegang kepentingan pada satu sisi tetapi merupakan kebulatan tekad untuk mencapai tujuan dari cita-cita masyarakat kampus. Demokrasi yang menjadi cita-cita luhur mahasiswa tidak lain dan tidak bukan sebagaimana termaktub dalam AD/ART KAMA UMS.

Lalu mengapa demokrasi kita seolah-olah tidak mengarah pada tujuan yang dicita-citakan tersebut?. Proses demokratisasi tidak mungkin dibangun secara baik, tanpa pemahaman yang cukup akan pemaknaan dan interpretasi dari buku konstitusi kita. Mahasiswa mempunyai kedaulatan tersebut, dan diberi kewenangan untuk melaksanakan kedaulatan tersebut. Problematika yang muncul adalah pengesampingan buku konstitusi kita, sehingga kesatuan dan kesepakatan yang muncul dalam buku konstitusi kita adalah suara-suara dari berbagai kelompok kepentingan mahasiswa yang muncul dalam bentuk partai mahasiswa.

Dimana kemudian partai mahasiswa memiliki kebutuhan akan aktualisasi maupun tempat untuk bereksistensi dalam dunia mahasiswa. Darisinilah sebenarnya, demokrasi ala kampus bisa berjalan dengan optimalisasi perkaderan dan transformasi dari partai mahasiswa dalam konteks student government di universitas.

Wakil dan Yang diwakili


Meski sudah jelas partai mahasiswa mewakili kelompok kepentingan mahasiswa, tetapi masih saja muncul pertanyaan di mata mahasiswa, apa benar kalian mewakili kepentinganku?. Partai kita saat ini memang masih belum beranjak pada tradisi pelimpahan kekuasaan saja. Bukan lagi pada pelimpahan konsep, kontinuisasi visi-misi yang dibawa, apalagi pengejawantahan konsepsi dan nilai luhur manifesto politik partai mahasiswa.

Ketika demikian halnya, kita adalah mewakili diri kita sendiri, artinya, partai mahasiswa membawa kepentingan yang absurd, sebab ini tercermin dari berbagai program-program yang dilaksanakan ternyata bukanlah program yang menyentuh pada kepentingan dan penyaluran aspirasi mahasiswa. Sudah diungkapkan oleh jurgen habremas, komunikasi di ruang public adalah sarana yang efektif untuk menembus kekosongan dan rutinitas-rutinitas semu yang ada saat ini.

Meski hal ini sudah menjadi kultur yang diwariskan, tetap belum muncul juga kritik yang keras dari mahasiswa atau dari yang diwakili ketika melihat wakil-wakil kita demikian. Sehingga kondisi yang muncul memang kondusif, tetapi tidak dinamis apalagi progresif revolusioner. Mahasiswa merasa abai terhadap wakil-wakilnya dan merasa tidak ada kepentingan dengan partai mahasiswa, begitupun sebaliknya.

Problem konstitusional dan perkaderan

Mengakhiri tulisan saya, kembali pada persoalan yang ada saat ini. Persoalan perkaderan mahasiswa di tingkat fakultas maupun universitas akibat krisis kualitas maupun kuantitas memang problem yang krusial yang perlu diselesaikan. Salah satu strategi untuk itu tidak lain menyadarkan kembali bahwa kita punya kedaulatan, kita punya buku konstitusi.
Di sisi lain, perlu peran dari birokrasi kampus dalam kerangka besar keilmuan, bagaimana kemudian dinamika kemahasiswaan dihidupkan. Selain dari pada kerangka perkaderan dan peningkatan kualitas dari pada kepemimpinan dan juga mentalitas pejuang yang membawa kepada semangat sebagaimana yang disuarakan soe hok gie : “saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi ketidak-populeran, karena ada suatu yang lebih besar: kebenaran”.Begitu.

Penulis adalah kabid kader partai PSS 2009/2010.
Tulisan dimuat di koran pabelan UMS hari rabu,5 januari 2010

Revolusi Setengah Hati

Oleh Arif saifudin yudistira*)

Pada tanggal 29 /11 /2010 Wali kota solo mewacanakan “ solo butuh revolusi budaya” di Koran SOLO POS. Wacana wali kota ini mendapatkan respon dan tanggapan dari masyarakat solo. Wali kota menginginkan solo menjadi kota yang tidak kehilangan ruh dan karakteristiknya meski dihadapkan dengan permasalahan globalisasi dan modernitas.
Harapan wali kota solo ini mendapatkan berbagai kritik dan polemic yang berkembang di masyarakat solo. Pasalnya, wali kota dinilai hanya menempatkan warga solo hanya sebagai penonton dan objek ketika event-event yang mengangkat image kota solo yang terkesan klise. Seperti SBC{Solo Batik Carnival}, SIEM, SIPA, dan lain sebagainya. Revolusi yang diangkat jokowi pun dinilai tidak mendasarkan diri pada realita dan konteks yang ada. Baik pada pola budaya masyarakat juga bagaimana pemerintah menumbuhkan dan menghidupi budaya kotanya.
Yang cenderung muncul saat ini adalah politik pencitraan yang menampilkan permukaan tanpa melihat lebih dalam bagaimana substansi dan esensi dari pengembangan budaya kota. Kritik yang disampaikan warga solo melalui diskusi perkotaan di balai sudjatmoko perlu dipertimbangkan secara matang oleh pemerintah kota solo. Kita perlu mengapresiasi niat baik wali kota, akan tetapi kritik pada pengembangan kebudayaan desa dan ekonomi desa perlu diperhatikan secara serius.
Strategi penataan pasar dan tempat-tempat budaya yang diunggulkan wali kota memang hal yang positif seperti pembangunan city walk, Koridor Ngarsopuro, Taman Air Tirtonadi dan Sekartaji, rehabilitasi-renovasi pasar-pasar tradisional, revitalisasi Taman Balekambang, serta pemasangan topeng-topeng panji di sudut-sudut kota .
Akan tetapi penghilangan dan perubahan ruang yang mengandung cagar budaya menjadi permasalahan tersendiri. Sebab penataan sebagus apapun, ketika menghilangkan nilai cagar budaya akan percuma. Memang budaya mencintai lingkungan, budaya mencintai kebersihan yang hendak dicita-citakan jokowi bagus, tetapi ketika melakukan permbersihan benda bercagar budaya, ini yang perlu kita koreksi. Selain itu,yang lebih substansial adalah belum adanya program yang mendukung dan mengarah pada kegiatan mencintai kota dan budaya kota. Event-event pagelaran budaya, menjadi minim diminati tanpa branding “international”.
Wali kota memang merasakan kegelisahan yang serius pada pola budaya generasi muda dan pola budaya masyarakat kita yang cenderung tanpa unggah-ungguh dan meninggalkan budaya jawa dalam arti penguasaan bahasa dan juga berupa seni budayanya. Termasuk juga kemampuan dalam memahami dan menguasai bahasa jawa. Generasi muda kita semakin kurang menguasai bahasanya sendiri yaitu bahasa jawa.
Begitupun dengan pola-pola budaya individualistic, hedonisme, dan lunturnya kesantunan dan adat jawa yang mengakibatkan generasi muda kita menjadi generasi yang hilang dari akar budayanya.
Ironi
Ketika wali kota merasakan kegelisahan yang luar biasa terhadap kultur dan nilai-nilai luhur budaya solo yang mulai hilang, tetapi pada sisi lain kebijakan wali kota pun mendukung pada upaya yang mengarah kepada pengikisan nilai-nilai budaya wong solo. Hal ini nampak pada pemberian IMB kepada bangunan-bangunan seperti Solo center point, Mall-mall besar, solo paragon, dan bangunan lain yang mencerminkan budaya asing.
Maka yang muncul adalah budaya kota yang dibangun dengan konsep asing, yang menerabas nilai-nilai local dan menumbuhkan budaya-budaya materialistis, individualistis, bahkan hedonis. Tidak salah menjual kota dengan event-event budaya dan karakteristik local masyarakat solo, akan tetapi yang terjadi selama ini justru melindungi investor-investor masuk ke solo dengan enaknya, tanpa mempertimbangkan efek cultural dari kebijakan tersebut yang berakibat fatal pada hilangnya nilai-nilai adi luhung budaya solo.
Begitu juga dengan strategi ekonomi yang dibangun wali kota. Kita boleh welcome terhadap investor, akan tetapi perlu ada aturan-aturan yang ditetapkan oleh pemerintah kota, supaya investor tidak menganggu jalannya ekonomi kerakyatan yang sudah tumbuh dan berkembang selama ini. Selain itu, pemerintah juga harus memperhatikan secara serius jangan sampai kegiatan investor yang ada justru menimbulkan permasalahan lingkungan. Sebab, yang ada saat ini, pemerintah kota solo begitu mudah memberikan AMDAL dan ijin mendirikan bangunan{IMB}tanpa perhatian ke depan dalam mengawal ijin-ijin tersebut. Sehingga, banyak perusahaan yang tidak memperhatikan dampak yang ditimbulkan perusahaannya terhadap lingkungannya.
Faktor lain yang perlu diperhatikan oleh pemerintah kota solo adalah bagaimana membangun konsep pendidikan yang berkarakter local solo. Dalam bidang pendidikan ini, perlu kiranya semacam konsep yang mensinergikan antara budaya dengan pengembangan ekonomi masyarakat. Seperti batik, seni traditional, tari traditional. Selain itu pemerintah juga harus memberikan kesempatan yang lebih luas kepada sekolah untuk berintegrasi dengan kesenian masyarakat, sehingga kesenian dan budaya yang diharapkan menjadi identitas cultural kota tetap hidup dan berkembang.
Dengan demikian, revolusi budaya yang disuarakan wali kota bukan hanya semacam iktikad baik dan niat yang sia-sia, ketika diimbangi dengan praktek dan kerja nyata semua elemen masyarakat solo. Strategi branding dan kerjasama investor tetap sesuatu hal yang penting, akan tetapi jangan sampai merisaukan para pelaku ekonomi local dan traditional. Selain itu, jangan sampai pola-pola pembangunan yang ada justru mendukung ke arah hilangnya identitas cultural kota, yang mengarah pada system kapitalisme dan neoliberalisme yang tanpa sadar membawa solo pada kota yang kehilangan jati dirinya. Begitu.

Penulis adalah Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, aktif di diskusi perkotaan balai sudjatmoko solo.