Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Senin, Maret 29, 2010

Merindukan Khotbah Yang Revolusioner

By Arif saifudin yudistira*)
Khotbah jumat adalah suatu ritual yang sacral di kalangan umat muslim. Khotbah menjadi representasi sebuah pengingat sekaligus sebuah perenungan. Disanalah pesan-pesan Tuhan disampaikan, diingatkan kembali dalam mimbar oleh seorang khotib. Khotbah menjadi sebuah sarana ritual yang efektif dalam membangun peradaban dan kualitas sebuah umat. Khotbah sedikit banyak menentukan seseorang umat bisa tergugah dan sadar kembali sebagai seorang insane atau hamba Alloh, atau sebaliknya.
Ritual khotbah menjadi sebuah tempat yang menentukan bagaimana masyarakat bergumul, berkembang, dan melakukan instropeksi dan aksi. Sayang sekali,khotbah di masjid-masjid kita seperti kehilangan rohnya. Mati, lebih tepatnya demikian. Jelas, ini bisa terlihat dari para jemaah khotbah jum’at yang terlelap seperti mendengarkan dongengan.
Maklum!!!Khotib kita jarang membaca. Membaca buku, membaca kitab, apalagi membaca gejala di alam semesta ini. Kita belum pernah mendengarkan khotbah-khotbah yang menggugah seperti ahmadinejad, sukarno, KH agus salim atau Kiai Miscbah. Saya tidak pernah membayangkan betapa orang-orang revolusioner ini khotbah. Sehingga rakyatnya rela mati demi tegaknya kebenaran dan kemerdekaan.
Khotib-khotib kita enggan berfikir, mereka terlalu dimanjakan dengan membeli khotbah-khotbah dari majalah tanpa menelaah lebih dalam. Maka tak heran, kata-katanya menjadi tak hidup, dan tidak menggugah.dan efeknya seperti dongeng belaka. Tak heran banyak jamaahnya kemudian terlelap tidur, bahkan sampai mendengkur.
Khotbah telah bergeser dari ritual sakral menjadi ritus yang sekedar dongengan. Salah siapa?.Pertanyaan ini sulit dijawab. Kita tidak mencair siapa yang salah siapa yang benar,akan tetapi sudah waktunya kita mencari solusi dari masalah ini.

Khotbah, idealnya.....
Khotbah yang menggugah ditentukan dari kualitas materi juga kualitas seorang khotib. Khotib selain pandai menyampaikan isi khotbah dengan bahasa yang lugas, jelas, dan bisa diilhami jamaah, perlu juga membaca al-qur’an ,membaca fenomena yang aktual di masyarakat yang berkembang di berbagai bidang.
Khotib seringkali lupa, jamaah merindukan khotbah yang tidak hanya mengajak pada sholat, mengaji, dan ibadah saja. Jamaah pun tindu khotib yang juga menyerukan lawan kedholiman, lawan kemungkaran. Juga suatu saat khotib yang memimpin aksi melawan kenaikan listrik, melawan kenaikan harga BBM, dan melawan segala bentuk penindasan yang ada.
Sehingga khotib seperti inilah yang seperti Rosululloh,SAW. Yang menyerukan dan mengajak berperang, tapi juga menjadi komandan atau panglima perang. Renungan ini mudah-mudahan menjadi sebuah refleksi kita bersama untuk kemajuan bangsa dan umat pada umumnya.
Wallohu a’lam bishowab.

Sabtu, Maret 13, 2010

Identitas!!!


Oleh Arif saifudin yudistira*)

Persoalan identitas belum selesai hingga saat ini. Apalagi di negeri yang makin dan kian carut marut seperti negeri ini. Identitas menjadi penting dan pelik untuk dibicarakan dan dipersoalkan. Indonesia, mengalami persoalan identitas yang sudah kian parah. Mochtar Lubis pernah mengungkapkan tentang identitas manusia indonesia yang begitu sinis dalam satire yang cukup menggelikan.Dalam bukunya Manusia Indonesia [sebuah pertanggungjawaban],1981. Mochtar Lubis menyebut bahwa manusia indonesia mengalami persoalan mentalitas yang hipokrit atau munafik dan enggan bertanggungjawab.
Pernyataan Muchtar lubis sampai saat ini masih menjadi relevan dengan mentalitas manusia indonesia. Ia mengatakan : kita semua mengutuk korupsi tetapi terus-menerus saja melakukan korupsi dan dari hari kehari. Di samping itu, kita juga mengatakan bahwa hukum di negeri ini untuk semua orang,tetapi pencuri kakao masih saja termarginalkan,dll.
Kritik identitas ini juga mendapat perhatian lebih dari seorang futurolog alvin toeffler dalam bukunya the third wave,bahwasannya kita terpaksa harus menciptakan dan merumuskan kembali mentalitas kita di gelombang ketiga ini. Modernitas memang membawa sebuah resiko yang sepertinya tidak bisa kita abaikan begitu saja. Identitas menjadi penting untuk menentukan karakter negeri ini di tengah arus yang serba tidak karuan ini.
Persoalan identitas ini sudah mulai menggelisahkan di berbagai kalangan. Negeri ini dulu pernah mendapat sebutan negeri tersopan, aman, nyaman, akan tetapi sekarang sudah tidak ada lagi identitas yang seperti itu. Sebab negeri ini sudah dicap pula sebagai sarang kekerasan, sarang koruptor, negeri kriminil.



Apakah kemudian identitas nasional kita pun demikian?. Kita cukup prihatin juga melihat identitas partai politik kita yang mulai kabur pula dalam menentukan landasan dan visi perjuangannya,siapa yang diperjuangkan? Dan untuk siapa mereka berjuang?. Kasus century menjadi cermin bagi kita semua bahwasannya identitas politik negeri ini pun sudah mulai kabur.
Persoalan identitas pun mulai merambah pula pada masalah moralitas. Dulu begitu jelas mendefinisikan masalah dan persoalan moralitas. Akan tetapi saat ini, moralitas kita sepertinya juga tidak bisa kita jelaskan moralitas macam apa yang ada di negeri ini. Kita sudah cukup mengelus dada mendengar remaja-remaja kita yang terlampau jauh dengan masalah moralitas ini. Tidak hanya itu, kalangan jompo pun semakin mirip dengan lagu-lagu pop tua-tua keladi, semakin tua semakin menjadi.
Identitas pun menjadi sebab negeri ini dipenuhi berbagai persoalan yang sulit untuk kita pecahkan. Begitupun identitas dalam dunia pendidikan kita saat ini. Pendidikan kita sudah dikatakan oleh muchtar buchori sejak lama, dengan mengatakan bahwasannya lonceng kematian pendidikan di indonesia sudah bergema, HAR Tilaar menambahkan lagi bahwasannya pendidikan di indonesia sudah mati[2002]. Sedang saat ini, kita mungkin membaca pendidikan di negeri ini sudah menjadi sebuah utopi belaka.
Identitas pendidikan kita menentukan bagaimana kemudian pemimpin-pemimpin bangsa ini 20 tahun ke depan. Bagaimana ketika para mahasiswa kita sudah lupa dengan identitasnya sebagai penyambung lidah rakyat,pengemban amanah rakyat. Bagaimana kemudian pendidikan bisa menciptakan pemimpin-pemimpin berkarakter jika nilai-nilai sudah direduksi menjadi angka-angka dengan menghalalkan segala cara? Penjiplakan hanya salah satu contohnya.
Kemerdekaan yang sudah 64 tahun ini,sepertinya belum juga dirasakan sepenuhnya di negeri ini. Aneh, kita masih mencari-cari lagi identitas kita yang sebenarnya menjadi rumusan yang menjadi dasar negara kita berkali-kali. Pancasila sudah begitu kerap menjadi nyanyian kita tiap upacara hari senin hingga saat ini, akan tetapi mengapa masih saja nilai-nilai identitas nasional yang ada dalam pancasila seolah-olah hanya menjadi simbol semata?.
Ketuhanan menjadi simbol ketika para penguasa saja ketika mau naik jabatan dalam sumpah jabatan.Kemanusiaan yang beradab menjadi nilai yang hanya slogan ketika korban lapindo dibiarkan begitu saja. Persatuan menjadi semboyan dan himbauan semata. Kita pun tahu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan pun sudah berubah menjadi kekuasaan yang dipimpin oleh segelintir orang untuk kepentingan golongan dengan menghalalkan segala cara.
Di tengah pesimisme yang kian parah, negeri ini perlu kiranya memperteguh identitas dirinya, agar optimisme itu bukan hanya bisa dibangun kembali melainkan menjadi spirit kita untuk bangun memperbaiki negeri ini.
Tv, koran, majalah, bahkan internet pun terpaksa harus mengubah kita menjadi pribadi yang lain. Sampai kapankah persoalan identitas ini menjadi selesai ketika kita tidak pernah merasa mempunyai identitas yang pasti?.Persoalan identitas menjadi penting kita bicarakan agar bagaimana kita bisa menentukan sikap yang teguh dan konsisten di jaman ini. Serta menemukan kembali jati diri negeri ini yang sudah mulai dilupakan. Demikian.
Penulis tinggal di klaten, belajar di Universitas Muhammadiyah Surakarta

Kelatahan Kita dalam Berbahasa dan Mempelajari Sastra

Oleh Arif saifudin yudistira*)

”Kita dibaca bahasa atau kita membaca bahasa???”
[Afrizal Malna dalam sebuah diskusi]


Sejarah bahasa indonesia melampui proses yang panjang dalam menentukan format bernama “bahasa indonesia” yang saat ini berubah menjadi kecenderungan yang kaku, tersistem dan baku. Kebakuan dan kekakuan ini cenderung membuat bahasa menjadi sesuatu yang sukar difahami atau justru sebaliknya menjadi seakan-akan begitu mudah dipelajari.
Keadaan ini menciptakan kelatahan kita dalam memahami bahasa yang cenderung merupakan bahasa kita sehari-hari. Kelatahan ini muncul ketika kita menemukan kesulitan-kesulitan ketika bertemu dengan pemaknaan dan pembacaan kita tentang makna ”puisi”.
Sepertinya puisi memang menjadi sempit atau disempitkan ketika berhadapan dengan logika-logika pengajaran kita di kelas. Lihat saja pengalaman kita ketika disuruh membuat puisi dengan kata gunung, ibu, keluarga, dan lain-lain.
Sekolah cenderung gagap dan bingung bagaimana kemudian metode terbaik mengajari anak-anak mempelajari pelajaran dengan tajuk ”bahasa indonesia”. Tidak hanya itu, pereduksian bahasa muncul lebih-lebih ketika dihadapkan pada soal-soal ujian nasional yang cenderung menggunakan metode rumus-rumus.Bahasa menjadi hal yang aneh tapi nyata ini dihadapi oleh para guru-guru dan dosen-dosen kita dalam memberikan pengajaran bahasa indonesia.
Kelatahan ini berlangsung melalui proses yang lama, sejak pendisiplinan pemerintah kita baik sebelum orde baru apalagi pada masa orde baru. Pendisiplinan ini dipegang pemerintah sebagai otoritas dalam mempergunakan bahasa sebagai alat kuasa pada waktu itu. Munculnya kamus besar bahasa indonesia jilid I dan sebagainya, munculnya cara mengarang, munculnya cara membuat pantun yang baik dan benar adalah berbagai contoh pendisiplinan bahasa pada waktu itu.
Pertanyaannya kemudian bagaimana kita berbahasa tanpa mengalami kelatahan-kelatahan tadi. Proses berbahasa memang tidak berlangsung sedemikian cepat. Kelatahan adalah bagian dari prosesi sejarah yang memang tidak bisa terelakkan. Afrizal malna menawarkan bagaimana ketika kita kembali pada sesuatu yang alami, mencari yang alami dari tubuh kita yang merupakan salah satu pusat bahasa.
Ia mengungkapkan ini dengan bagus dalam puisinya ”Dada”........menulis mengapa harus menulis,bagaimana harus ditulis.....Lebih lanjut ia mengatakan Membaca mengapa jadi membaca, menulis jadi mengapa menulis?.Sehari. Aku bermimpi menjadi manusia. Ia mencoba menjelaskan bagaimana kemudian kita mempertanyakan kembali pada kita, apakah sampai saat ini kita hanya bermimpi dengan yang namanya bahasa.
Bahasa, menjadi begitu penting untuk diperkarakan, sebab ia bukan hanya sekedar alat komunikasi semata, tapi ia juga merupakan cara pengungkapan perasaan manusia yang terdalam dalam menyatakan sebuah perasaannya.
Kelatahan kita dalam mempelajari bahasa adalah keniscayaan yang harus dihentikan. Membaca sejarah kebahasaan kita menjadi jarang dipelajari oleh para guru-guru kita, oleh para pemegang otoritas bahasa melainkan baru pada tahap penghargaan sebuah karya sastra,pemujaan pada logika-logika kaku dalam dunia pelajaran dan pengajaran kita. Sepertinya kita akan terpenjara dalam bahasa seperti yang diungkapkan oleh afrizal, bahasa adalah penjara.
Selama kita tidak mau melepaskan diri dari cara-cara kuno, kaku maka kelatahan itu akan menjadi sebuah hal yang dianggap wajar. Mempelajari dan menemukan kembali bagaimana ”bahasa kita” adalah sebuah keharusan yang dikerjakan oleh institusi-institusi kebahasaan, sampai pada institusi pendidikan yang memegang otoritas dalam pengajaran dan pempublikasian dalam kebahasaan.
Kemauan dan kemampuan kita untuk keluar dari logika-logika baku, akan cenderung mempermudah kita dalam menentukan dan merumuskan kembali corak kebahasaan kita di negeri ini. Dan menumbuhkan kembali semangat dan budaya kebahasaan diantaranya menulis maupun membaca teks-teks sastra ataupun produk kebahasaan kita.
Sehingga kelatahan kita dalam berbahasa menjadi sebuah keharusan kita di era yang penuh dengan pertentangan dan perebutan pengaruh orang dalam menyebarkan eksistensi kebahasaan, sebut saja bahasa inggris. Jangan sampai kita menjadi latah ketika memahami dan mempelajari bahasa indonesia, dibanding ketika kita belajar dan memahami bahasa lain. Begitu.






Penulis adalah Presidium kawah institute indonesia, belajar di universitas muhammadiyah surakarta