Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Rabu, November 17, 2010

Mentalitas inferior yang membudaya



Oleh Arif saifudin yudistira*)

”Orang Jawa sifatnya pemurah, terutama di mana ia hendak membuktikan kasihnya kepada kepalanya, kepada keturunan orang-orang yang dipatuhi oleh orangtuanya; dan ia merasa kurang hormat kepada junjungannya turun-temurun jika ia menjejak keraton tanpa membawa persembahan.”

Max Havelaar, Multatuli

Betapa adat-istiadat dan kesopanan orang Jawa sangat luar biasa pada waktu itu. Rakyat sangat kental dengan sistem masyarakat feodal yang memungkinkan kelas-kelas sosial dalam masyarakat begitu kuat. Rakyat begitu hormat dan taat kepada raja, gubernur, bupati dan lain-lain. Rasa hormat ini dibawa sampai pada suatu ketidakwajaran yang membawa mereka kepada kebiasaan yang tidak lazim. Misalnya membersihkan tanah lapang atau alun-alun dilakukan dengan gotong-royong yang hebat, hanya untuk harga diri seorang bupati, bahkan tanpa upah. Mereka merasa malu jika ada tamu datang apalagi orang asing melihat tanah lapang kotor, ini dinilai merendahkan harga diri bupati.

Sikap hormat yang berlebihan ini membawa mentalitas yang tidak baik hingga saat ini. Mentalitas demikian dijadikan alat bagi penjajah. Pada waktu itu, tanpa sadar, seorang bupati bisa dengan mudah menyerahkan laporannya kepada residen Belanda. Para bupati pada waktu itu begitu tunduk dan hormat kepada residen yang sebenarnya adalah bawahannya. Akan tetapi, dia sangat kejam dan keras terhadap rakyatnya untuk memenuhi permintaan residen misalnya pada waktu tanam paksa.

Sikap dan mentalitas yang inferior ini ternyata dibawa hingga saat ini. Dalam kehidupan keseharian kita, dari tingkat desa hingga negara, mentalitas seperti ini sepertinya sudah melekat. Kebiasaan hormat yang berlebihan ketika lurah datang, bahkan ketika seorang pejabat datang ke suatu kota. Lihat saja, ketika presiden atau pejabat pemerintah datang ke suatu kota, pasti disambut dengan keamanan berlipat, jalan-jalan terpaksa macet untuk lima menit menunggu pejabat atau presiden lewat. Karena itu, pemimpin negara tidak pernah merasakan susahnya macet.

Masih segar dalam ingatan kita ketika Presiden AS, George Bush, datang ke Indonesia. SBY merasa perlu membuat helipad di Bogor hanya untuk menyambut Presiden Bush. Selain itu, jalan-jalan dijaga ketat oleh ribuan tentara dan polisi untuk mengamankan tamu yang sama sekali tidak istimewa. Berapa banyak dana yang dikeluarkan dalam sekali penyambutan, meskipun kita tahu kedatangan bush tidak lain adalah demi memperlancar kepentingannya melancarkan kolonialisasi di Indonesia secara halus.

Kita mesti ingat bahwa UU No 27/2007 tentang penanaman modal disahkan pada masa kepemimpinan SBY. Kedatangan Bush secara tidak langsung berimplikasi pada kebijakan pemerintah untuk meneruskan penghisapan yang dilakukan Amerika melalui Freeport dan ExxonMobil di Cepu.

Sikap inferior ini pun kembali dimunculkan SBY ketika menyambut Presiden Obama. Padahal Obama secara tidak langsung menyindir ini. Dia bercerita saat kecil dulu, suka naik becak tapi ketika dia datang ke Jakarta, becak-becak tidak ada.

Terlena

Kita begitu terlena dengan sikap Obama yang memuji dunia Islam, kita begitu senang dengan sikap Obama memberikan beasiswa kepada mahasiswa ke Amerika. Tapi, kita lupa bahwa Freeport yang sangat menguntungkan Amerika, ExxonMobil yang menyedot minyak kita adalah hal lain yang perlu dipikirkan.

Barangkali karena SBY adalah orang Jawa, sikap dan budaya yang sejak dulu melekat pada orang Jawa begitu diunggulkan hingga saat ini. Hal ini juga pernah dikatakan oleh Pramoedya Ananda Toer dalam novelnya Jejak Langkah: “Jawa terus menerus kalah terhadap Eropa, manusianya, buminya dan pikirannya.”

Mentalitas pakewuh, inlander, begitu tampak ketika kita menyambut presiden negara adikuasa. Mungkin kita bisa berkaca kepada Iran yang sangat sederhana istana negaranya, sangat sederhana pula menyambut para tamu negara. Mentalitas inferior ini sudah selayaknya kita hilangkan dari negeri ini. Sebab, mentalitas seperti inilah yang akan berakibat fatal. Menjual negeri sendiri kepada orang asing atau penjajah adalah salah satu akibat dari sikap inferior. Inilah sebab hingga saat ini kita masih belum merasakan kemerdekaan.

Sikap inferior inilah yang membawa kita pada kebodohan yang dipelihara. Selama sikap ini tidak dihapuskan dan masih membudaya, jangan kita berharap kita bisa bersaing dengan negeri lain.

Kita pernah punya presiden yang sangat tegas menentang oportunisme apalagi sampai pada inferioritas. Presiden Soekarno mengajarkan agar negeri ini berdaulat di bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan maju dalam hal budaya. Dalam buku Di bawah Bendera Revolusi, dia menyatakan, “Kita harus percaya pada kepandaian dan tenaga kita sendiri dengan menolak tiap-tiap politik oportunisme yakni tiap-tiap politik yang menghitung-hitung; ini tidak bisa, itu tidak bisa.”




Mahasiswa Bahasa Inggris UMS
tulisan dimuat di SOLO POS 16 november 2010

Kamis, November 11, 2010

Amuk Massa di Negeri Pancasila



Oleh Arif saifudin yudistira*)

Kekerasan sudah menjadi sebuah senjata yang paling disukai rakyat di negeri ini. Kekerasan muncul seperti bahaya laten yang setiap saat mudah terjadi di negeri ini. Rakyat sudah tidak mampu menahan emosi dan himpitan persoalan yang ada di negeri ini. Lebih baik mahasiswa yang bergerak, daripada rakyat yang bergerak sendiri, itulah ungkapan soe hok gie yang relevan hingga saat ini.
Rakyat bergerak, sebab mahasiswa sebagai kalangan intelektual dan penyambung lidah rakyat dianggap belum mampu menyuarakan aspirasi mereka, sehingga rakyat menjadi sensitive menanggapi permasalahan. Sebagian rakyat menilai demonstrasi yang dilakukan mahasiswa adalah tidak murni, dan hanya meluapkan emosi saja. Selain itu, masalah kemiskinan, pendidikan, masalah sosial, hingga kerukunan umat beragama menjadi faktor yang dominan untuk menciptakan amuk massa.
Kekerasan menjadi (dianggap) wajar karena memang pendidikan kita mengajarkan demikian. Pendidikan kita mengajarkan kekerasan simbolik yang tidak sadar membentuk mentalitas kita. Ketidakmampuan kita dan ketidaktahuan kita akan sejarah kekerasan di negeri ini misalnya, adalah bentuk kekerasan simbolik yang nyata di negeri ini. Anak-anak kita buta akan sejarah negerinya. Negeri ini sebenarnya sudah lelah dengan kekerasan. Sampai ada yang menyebut Indonesia adalah violence state[02/10/2010].
Selain kekerasan yang ada di dunia pendidikan, sebenarnya kita adalah negeri yang mengalami kekerasan sejak dulu. Baik secara psikologis, secara fisik, maupun secara mentalitas. Sejak Indonesia belum merdeka, kita mengalami kekerasan yang cukup lama dari para penjajah kita. Penjajahan tersebut menuntut kita untuk melakukan perlawanan hingga kita merdeka. Pada masa penjajahan, mentalitas kita diserbu habis-habisan hingga menjadi bangsa yang bodoh, miskin, dan membungkuk di mata asing. Di masa itu, banyak rakyat kita mengabdi pada penguasa asing, dan berwatak hipokrit. Penjajahan memberangus mental kritis rakyat Indonesia. Hingga munculah para pejuang yang berwatak baja seperti syahrir,kartini, tan malaka, sukarno, dan lain-lain.
Kekerasan yang dilakukan terus-menerus akhirnya memunculkan berbagai amuk massa yang merupakan ekspresi dari kemarahan rakyat atas kondisi yang tidak seimbang. Mulai dari tragedy tri sakti, semanggi, ambon,aceh, poso, sampit dan lain-lain. Dan kita mengenal tragedy 65 yang merupakan tragedy pembunuhan massal yang paling mengerikan di negeri ini.
Konflik yang terjadi selama ini muncul karena pemerintah tidak mampu memfungsikan lembaga-lembaganya secara optimal. Jika pemerintah mampu memfungsikan lembaga-lembaga negaranya dengan baik, niscaya kekerasan dan amuk massa tidak akan terjadi. Lembaga-lembaga penegak hukum seperti polri, kejaksaan, dan tni dinilai lemah dan kurang tanggap menghadapi konflik di masyarakat. Kita tahu konflik di tarakan Kalimantan timur yang ternyata disaksikan oleh aparat penegak hukum yang dinilai lamban menyelesaikan konflik yang ada. Tindakan yang sering muncul adalah tindakan reaktif, bukan antisipatif, sehingga konflik terjadi baru kemudian aparat muncul.
Selain karena kelambanan aparat dalam menyelesaikan persoalan yang ada, kekerasan yang menimbulkan amuk massa terjadi karena rakyat lelah menonton ulah para pemimpin negeri ini yang tidak semestinya terjadi. Drama century, ulah DPR yang rajin bolos dan membangun istana, kasus rekening gendut polri, dan persoalan lain yang membuat rakyat jenuh dan geram.
Persoalan HAM dan persoalan kemanusiaan lain sepertinya hanya menjadi buku catatan sejarah yang tak menemui penyelesaian hingga kini. Kita tahu permasalahan HAM yang ditimbulkan sejak semasa orde baru yang mendapatkan tuntutan masyarakat hingga saat ini belum juga selesai dan tindak lanjut yang jelas. Malah hanya menajadi ajang monumental dan refleksi serta komoditi bagi elit politik penguasa.
Kehilangan jati diri
Konflik yang ada hingga saat ini mencerminkan bahwa negeri ini sudah kehilangan jati diri dan karakternya. Betapa pancasila yang ada kini hanya tinggal slogan dan hafalan di sekolahan-sekolahan kita, tanpa aplikasi yang konkret. Keadaban yang menjadi sila kedua saat ini mulai luntur. Generasi kita adalah generasi yang rapuh meski pendidikan sudah menjadi popular ketimbang masa-masa dulu.
Kemajuan dalam dunia pendidikan kita sepertinya tidak seimbang dengan kemampuan sumber daya manusianya untuk menciptakan masyarakat yang bermental pancasilais dan masyarakat yang beradab. Mentalitas hipokrit, korup dan instant justru lebih dominan ketimang karakter pekerja keras, konsisten, teguh dalam prinsip. Maklum pendidikan kita sebagaimana kritik rendra dalam puisinya “kita harus berhenti membeli rumus-rumus dan diktat-diktat asing” sehingga pola adopsi lebih muncul ketimbang pola integrasi. Gaya-gaya internationalisasi di dunia pendidikan justru menggerus karakteristik dan budaya ketimuran. Maka tidak heran, kita menjadi manusia-masnusia yang kehilangan identitas.
Rekomendasi strategis
Oleh karena itu, amuk massa bisa dicegah melalui beberapa hal diantaranya : Pertama, optimalisasi peran semua elemen masyarakat. Perlu optimalisasi dari berbagai elemen masyarakat baik lembaga penegak hukum, maupun warga masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat. Kedua,Peningkatan kesejahteraan baik secara politik,ekonomi, dan social. Dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat di bidang ekonomi, politik, dan social akan mengurangi keresahan masyarakat secara psikologis dan mencegah terjadinya kekerasan. Ketiga, Perlunya tindakan antisipatif. Hal ini bisa dilakukan dengan peningkatan sosialisasi tentang dampak yang ditimbulkan akibat adanya konflik, resolusi konflik, dan manajemen konflik. Terakhir, perlunya pemahaman dan pengamalan pancasila secara konstekstual. Dengan pengamalan pancasila secara optimal di kehidupan masyarakat, akan menjadikan negeri ini sesuai dengan cita-cita yang diharapkan. Begitu.

*)Penulis adalah presidium kawah institute Indonesia, belajar di UMS.