Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Kamis, Oktober 21, 2010

Perempuan; Sosok yang lain

Oleh Arif saifudin yudistira*)

Kata “perempuan” adalah kata yang belum usai hingga saat ini. Karena pada dasarnya,”perempuan” adalah kata yang tidak hanya untuk kaum perempuan saja. Kata “perempuan “ bisa jadi adalah konstruk yang dibangun oleh filsafat, konstruksi keilmuan, konstruksi kuasa, dan konstruksi agama yang digunakan untuk melegalkan penindasan terhadap perempuan.

Terbukti, sampai saat ini perempuan secara realita, selalu menempati posisi yang tidak menguntungkan. Baik dalam ranah public, maupun dalam ranah keluarga. Perempuan akan mengalami nasib yang kalah, dalam ranah public. Sebab disini, dominasi lelaki tetap saja ada dan mau tidak mau perempuan harus menerimanya. Selain itu, dalam keluarga, istilah pembedaan patriarki dan matriarki tetap saja tidak berpengaruh terhadap posisi perempuan sebagai makhluk yang berhak diposisikan sejajar.
Misalnya dalam system matriarki, perempuan dihadapkan pada hal yang dilematis.

Meskipun ia mendominasi dan berkuasa terhadap masalah harta dan pengambilan keputusan, tetapi ia tidak bisa melepaskan diri dari belenggu hasrat seksualitas yang mengakibatkan ia terjepit. Sebab laki-laki bisa memanfaatkan ini dengan ancaman cerai, ataupun poligami yang menjadikan perempuan terpaksa harus mengalah lagi.
Laki-laki adalah subjek, sang absolut-perempuan adalah sosok yang lain. Dengan kata lain, perempuan sebagai sosok yang lain dimaknai sebagai suatu kondisi perempuan dimana dia harus mengakui posisinya sebagai sosok yang terpisah dan harus mengakui posisi laki-laki sebagai sosok yang dominan. Hal ini dikarenakan perempuan sebagai sosok yang memperjuangkan kesetaraan terhadap laki-laki seringkali juga mengakui dan pasrah terhadap perlakuan dan penindasan yang ada.

Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kondisi dan sikapnya. Akan tetapi bisakah perempuan menerima dominasi yang sudah berjalan bertahun-tahun untuk melakukan perubahan?. Penindasan terhadap perempuan bukanlah sesuatu yang berjalan tanpa dukungan dari ketidaksadaran perempuan.
Ketidaksadaran perempuan ini menjadi wajar akibat konstruksi budaya, konstruksi kuasa, konstruksi media yang secara tidak sadar telah melindungi dan menjadikan ketidaksadaran perempuan menjadi budaya. Misalnya, perempuan jika menuliskan kisahnya atau sesuatu tentang perempuan, dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa, dipuji, dan dihargai. Akan tetapi, jarang sekali laki-laki menuliskan sesuatu tentang laki-laki, atau laki-laki merasa tidak perlu menuliskan sesuatu tentang dirinya.

Pengakuan semu

Dalam hal lain, misalnya dalam ranah politik dan industry. Dalam ranah politik, persamaan dan kesetaraan terhadap perempuan tetap saja belum bisa dilaksanakan. Bahkan seolah-olah perempuan menjadi objek dan alat politisi untuk memenangkan pilkada, untuk memperbesar citra, dan lain sebagainya. Ini menjadikan peran perempuan dalam ranah politik hanya sekedar symbol semata.
Begitu juga dalam ranah industri. Dalam ranah industri, perempuan sulit untuk memasuki posisi paling penting. Seringkali perempuan di stereotipkan dengan masalah kapasitas yang lemah, kurang tegas, dan juga perempuan tidak layak memimpin seperti dalam dalil agama.
Pengakuan eksistensi perempuan seringkali hanyalah sesuatu yang semu semata. Kita bisa melihat hal ini dalam dunia iklan, dalam dunia politik, maupun dalam ranah keluarga. Dalam ranah iklan, kita sering mendengar bahwa dengan memanfaatkan perempuan sebagai objek iklan berarti mengangkat perempuan setara, meski harus mengeksploitasi tubuhnya untuk kepentingan capital.
Konstruksi ilmu pun sepertinya juga belum mengatakan bahwa perempuan adalah sosok yang setara. Feminisme, gender, adalah konstruk yang secara tidak sadar menjadikan perempuan sebagai sosok yang lemah, tertindas, dan perlu dibela. Simon de behauvoir mengatakan : “Perjuangan kaum perempuan tidak pernah lebih dari sekedar agitasi simbolis, mereka hanya memperoleh apa yang diberikan oleh kaum laki-laki; mereka tidak mengambil apa-apa mereka hanya menerima”. Artinya, perjuangan pembebasan perempuan akan menjadi omong-kosong belaka, selama perempuan tidak mau mengorganisir diri, melakukan aksi nyata untuk diri dan kaumnya. Tidak hanya itu, wacana kesetaraan gender, persamaan peran, dan isu-isu feminisme seringkali hanya sekedar wacana yang seolah-olah membuat perempuan lebih bebas, lebih terangkat, dan lain sebagainya.

Keteguhan Prinsip

Oleh karena itu, perjuangan pembebasan perempuan membutuhkan keteguhan prinsip, kejelasan sikap, serta konsistensi dari kaum perempuan. Sebab selama ini, perempuan masih samar dalam menentukan sikap. Pada satu sisi ia melakukan perlawanan terhadap dominasi peranan laki-laki, terhadap penindasan structural maupun cultural. Akan tetapi pada sisi yang lain, perempuan mengakui dominasi lelaki, rela menjadikan dirinya sebagai objek capital. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh seorang feminis abad tujuh belas Poula de la Barre : “Apa saja yang pernah ditulis laki-laki mengenai perempuan harus dicermati, karena laki-laki berperan sebagai hakim sekaligus penuntutnya”.
Perempuan akan tetap menjadi sosok yang lain. Karena pada satu sisi, ketika ia mencoba keluar dari keterkungkungan dan mencoba menjadi subjek, ia terbentur oleh sumberdaya yang ada, lingkungan, masyarakat, dan lain-lain. Pertanyaannya kemudian, mungkinkah gerakan pembebasan perempuan dilakukan di tengah keterbatasan sumber daya, di tengah realita yang ada? ketika perempuan tidak mau dikatakan sebagai sosok yang lain, melainkan sosok yang setara dan sejajar dengan kaum laki-laki. Begitu.

*)Penulis adalah Pendiri komunitas tanda Tanya, belajar di Universitas Muhammadiyah Surakarta

Ospek dan Nalar Militeristik


Oleh Arif saifudin yudistira*)


Nalar militer ternyata belum juga hilang dari pendidikan di negeri ini. Ospek menjadi wadah dan tempat yang kondusif untuk melestarikan kultur militer ini. Mahasiswa tak kunjung sadar bahwa kultur militer ini mengendap pada politik balas dendam dan mendidik pada mentalitas yang tak mendidik. Persoalan ini belum selesai hingga saat ini, ospek di beberapa perguruan tinggi masih diwarnai dengan bentak-bentakan, perploncoan, dan juga penyeragaman dan aneh-anehan yang tidak manusiawi. Tak hanya itu, mahasiswa baru yang idealnya bisa mengenal kampus dan dunianya lebih dekat, terganjal pada tugas-tugas yang tidak manusiawi, tidak filosofis, dan menjerumuskan. Tak heran, ospek hanya menjadikan mahasiswa baru sebagai objek dan balas dendam bagi angkatan lama. Pola-pola militer seperti ini sudah selayaknya disudahi.
Ospek yang bergaya militeristik ini pun seringkali dijadikan ajang bisnis dengan para pedagang asongan. Barang-barang seperti caping,tas kardus, balon, dan barang-barang aksesoris lain pun menjadi barang yang layak untuk dijadikan ajang bisnis. Kita patut curiga, barangkali ospek yang seperti ini memang ada orang-orang yang ingin melestarikan. Mahasiswa seringkali kehilangan alasan ketika ditanya apa motif dari semua ini?, apa alasan dari semua ini? yang berujung pada politik balas dendam. Pihak universitas pun sebagai pengelola seringkali dilematis ketika dihadapkan dengan ancaman para mahasiswa yang tidak mau mengurusi ospek ini, jika mahasiswa tidak diberi otoritas dan kewenangan lebih. Pihak universitas sering alpa dalam hal pengawasan, pemantauan, dan sering acuh tak acuh dan merasa tak punya kepentingan. Seringkali mereka abai dengan urusan seperti ini, yang penting agenda sosialisasi dan pengenalan akademik selesai, dianggap sukses. Tanpa tahu, dan sadar, bahwasannya ospek yang tak mendidik dan perploncoan berakibat fatal pada persoalan mentalitas dan mengendap pada politik balas dendam.
Persoalan mentalitas ini yang sebenarnya menjadi persoalan klasik dan substansial yang harus diselesaikan. Inu kencana seorang mantan dosen IPDN yang mengungkap kedok di almamaternya mengatakan :”gaya-gaya militeristik inilah yang justru berbahaya ketika nantinya mahasiswa jadi birokrat atau siapapun itu. Mentalitas menjilat pada atasan dan menindas dan menyiksa kepada bawahan inilah yang harus dihapuskan”. Hal ini nampak pada rasa dendam pada bawahan, rasa penyiksaan kepada angkatan bawah, dan takut sekali kepada angkatan atas. Tanpa sadar, mentalitas seperti ini mengendap bertahun-tahun bahkan menjadi kultur yang dibiasakan. Jika kultur seperti ini yang dibudayakan dalam institusi pendidikan, maka jangan heran birokrasi kita ke depan akan menjadi birokrasi yang penuh dengan patron-patron dan politik oligarki yang ia akan menjilat pada atasan atau penguasa, dan menindas rakyat miskin.Apakah kultur semacam ini yang kemudian ingin kita wariskan?, tentu tidak demikian.
Ospek semestinya menjadi nuansa akademikyang sejuk, yang memberikan mahasiswa baru pengenalan dunia kampus dan pengembangan kepribadian. Sudah semestinya mahasiswa baru dikenalkan dengan dunia mahasiswa. Dunia mahasiswa yang tidak hanya identik dengan mahasiswa kupu-kupu [kuliah pulang,kuliah-pulang]. Akan tetapi dunia mahasiswa adalah dunia imajinasi, dunia berekspresi, dan dunia yang penuh dengan dinamika yang tidak melepaskan diri dari realita. Idealnya, mahasiswa dikenalkan dengan budaya menulis dan membaca buku-buku sejarah, membaca buku-buku yang ilmiah yang semuanya bermanfaat pada pengembangan nalar kritis dan nalar akademik. Kegiatan ini bisa diwujudkan dengan baca bersama, menulis bersama, atau kompetisi-kompetisi yang diadakan selama proses orientasi. Sehingga aspek dan nilai-nilai yang mendidik yang lebih dikembangkan ketimbang bentak-bentakan yang tidak mendidik dan manusiawi.

Ajang narsisme dan balas dendam

Ospek yang diwarnai dengan perploncoan ini seringkali dijadikan sebagai ajang narsisme dan politik balas dendam semata. Pola-pola ini sering kita temukan dengan tugas-tugas yang sulit diterima nalar. Misalnya dengan foto-foto bersama bareng para pemandu ospek, tanda tangan, dan lain sebagainya. Ini menjadikan mahasiswa menjadi mati nalar kritisnya. Sehingga ketika pasca orientasi mahasiswa, yang sering muncul justru pacaran antara pemandu dengan mahasiswa baru, dan biasanya mereka takut pada birokrat kampus. Ketika nalar kritis dimatikan, maka kondisi yang muncul adalah kondisi yang nyaman, aman , dan tunduk pada aturan dan kebijakan yang diturunkan birokrat tanpa memandang perlu kritik yang membangun. Maka jangan heran, ketika kondisi mahasiswa saat ini sulit sekali diajak diskusi, sulit diajak demonstrasi menolak kenaikan SPP, dan lain-lain.
Ospek yang demikian, sejatinya tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai yang ada di pendidikan. Tugas pendidikan ialah memanusiakan manusia. Ketika pola-pola perploncoan yang berujung pada nalar kritis yang mati, mentalitas birokrat yang menindas, maka pendidikan akan kehilangan ruhnya. Bukankah tugas universitas adalah menjembatani dan menciptakan intelektual-intelaktual yang tidak melepaskan diri dari kepentingan masyarakat?. Bukankah salah satu isi tri darma perguruan tinggi adalah pengabdian kepada masyarakat?. Itu tidak mungkin terwujud, ketika gaya-gaya militeristik dan gaya-gaya orde baru masih diterapkan dan dilestarikan dilingkungan akademik kita. Maka sudah selayaknya pola-pola ospek yang tidak manusiawi dan identik dengan gaya perploncoan disudahi. Mahasiswa sudah selayaknya diperlakukan secara dewasa dan dikenalkan dengan dunia imajinasi, dunia idealisme yang penuh dengan mimpi-mimpi perubahan. Demikian.

*)Penulis adalah mahasiswa UMS, alumnus LITBANG PERS FIGUR UMS, bergiat di komunitas tanda Tanya


Tulisan dimuat di info ums JULI 2011

Rabu, Oktober 20, 2010

Perempuan Mati Gaya ???

Oleh Arif saifudin yudistira*)

Menjelang Lebaran ini, perempuan tak henti-hentinya mendapatkan referensi gaya baru dan trend terbaru dari media cetak, hingga media elektronik. Hampir setiap tahunnya trend dan gaya perempuan berubah sesuai jamannya. Media massa pun mengiklankan diri untuk dijadikan referensi gaya bagi perempuan. Trend ini masih berlangsung hingga saat ini, sampai-sampai kita tak tahu sampai dimana kita akan berhenti menjadikan trend dan mode sebagai buku dan gaya perempuan-perempuan kita.
Trend ini pun muncul bak kamus dan buku yang bisa dijadikan referensi bagi perempuan kita. Ini bisa kita lihat di berbagai media cetak maupun elektronik. Mulai dari majalah, koran, tabloid, hingga siaran televisi dan radio pun ikut berlomba menarik perempuan dan memberikan referensi mutakhir “seperti apa” perempuan tampil di lebaran kali ini. Mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki produk pun ditawarkan. Mulai dari aksesoris kalung,gelang, hingga pakaian paling ngetrend pun juga menjadi godaan yang menggoda para perempuan kita untuk sama-sama bergaya di hari raya tahun ini. Tidak hanya itu, jilbab pun hadir dengan berbagai variasi jilbab mode atau lebih dikenal dengan jimod, jilbab seksi atau lebih dikenal dengan jisex, jilbab syar'i yang lebih dikenal dengan ji'syar dan lain-lain.
Gaya dan trend perempuan tidak hanya sampai disini, perempuan pun mendapatkan referensi yang lengkap dalam membuat menu special apa yang akan dihidangkan ketika lebaran tiba. Mulai dari tips menjaga kesehatan dan cara makan setelah lebaran, juga resep makanan apa yang paling cocok dihidangkan untuk para keluarga dan tamu di saat lebaran. Lengkap sudah perempuan menjadi sosok peniru, sosok yang mengidentifikasi iklan, mengidentifikasi majalah, berguru pada televisi, dan lain-lain.

Akhirnya Hari raya idul fitri pun menjadi semakin meriah dengan tajuk kemeriahan gaya dan aksesoris yang ada pada perempuan. Tak hanya itu, menu pun lengkap sudah dari makanan pembuka hingga makanan penutup. Perempuan pun menjadi sosok yang cukup berarti dalam keluarga ketika lebaran tiba. Perempuan pun menjadi nomer satu kala itu, dengan hujan pujian karena telah menyuguhkan segalanya sesuai dengan apa yang disukai keluarga, apa yang disukai masyarakat, tapi juga apa yang disukai pasar. Trend dan gaya perempuan untuk meghadapi lebaran ini memang sudah disiapkan oleh para capital dan pasar untuk menarik perempuan agar tidak “kehabisan ide”, agar tetap “ngetrend”, dan mengikuti jaman sesuai dengan apa yang mereka inginkan.
Jean Paul Badrillard dalam bukunya masyarakat konsumsi mengatakan : “bahwasannya saat ini keinginan [want] sudah berubah menjadi kebutuhan [need]”. Sehingga apa yang nampak sebagai keinginan seolah-olah menjadi kebutuhan pokok yang harus dibeli. Maka perempuan pun menjadi sasaran yang cukup empuk untuk berbagai produk. Baik dari produk makanan, produk kecantikan, maupun gaya berpakaian.


Jebakan Iklan & Pasar


Perempuan melakukan itu semua akibat dari jebakan dan daya tarik iklan yang membius mereka untuk membeli, dan menikmati serta melakukan imitasi terhadap apa yang ada di iklan. Iklan memang menjadi alat yang represif untuk menteror, serta memaksa perempuan untuk melanggengkan masyarakat konsumsi. Melalui iklan itulah dimunculkan sosok artis idola, sosok yang semenarik mungkin yang bisa membius konsumen untuk tertarik dan membeli produk.
Dengan keterpesonaan itulah, perempuan sudah masuk dalam jeratan pasar yang melenakan. Pasar pun diciptakan di bulan suci ramadhan. Sehingga yang ada di bulan ramadhan adalah ritus-ritus konsumsi yang justru meningkat.
Dengan pasar inilah, diciptakan jebakan-jebakan seperti diskon, obral, dan lain-lain. Dengan rayuan diskon dan harga murah itulah, perempuan rame-rame berbelanja habis-habisan. Mumpung lagi diskon, mumpung lagi obral, begitulah kiranya. Sehingga mulai dari awal bulan ramadhan dan menjelang idul fitri kita melihat pasar sesak dan penuh dengan pembeli. Idul fitri pun menjadi sekedar ritus yang tidak lagi sacral, tapi profan ketika ritus-ritus konsumsi yang lebih diunggulkan daripada esensi dan sikap saling memaafkan.
Tanpa sadar perempuan terjebak dan terlena dalam jebakan pasar tersebut, akhirnya yang diuntungkan tidak lain dan tidak bukan adalah pasar. Pasar pun cerdik ketika menjelang idul fitri menjadi meriah dan berhias ucapan “selamat hari raya idul fitri” untuk menunjukkan bahwa seolah-olah pasar juga ikut merayakan idul fitri.


Mati gaya


Perempuan pun menjadi sosok yang lincah melakukan imitasi, dan identifikasi sesuai dengan apa yang diinginkan pasar. Maka tak heran, daya kreatifitas perempuan menjadi mati karena gaya hidup perempuan tidak lain adalah gaya tiruan. Tiruan dari buku iklan, tiruan dari media cetak, televise, dan lain-lain.
Dengan demikian, perempuan kembali menjadi korban iklan, korban kapitalisasi, dan korban trend yang tak sadar mereka menjadi pribadi yang semu. Sebab tanpa gaya yang ada di televise, iklan, dan media lainnya perempuan akan menjadi pribadi yang hilang. Artinya, perempuan akan kehilangan kepercayaan dirinya dalam melakukan sesuatu hal. Baik dari aktifitas memasak, berpakaian, berias, dan lain-lain.
Oleh karena itu, sudah waktunya perempuan sadar dan mampu menciptakan pribadinya sendiri tanpa harus berguru pada trend dan mode yang ada pada media massa maupun elektronik. Sehingga perempuan menjadi pribadi yang mantap, kreatif, dan tetap percaya diri penuh dengan gayanya sendiri, dengan karakteristiknya sendiri. Sehingga perempuan tidak lagi menjadi korban iklan, trend, dan referensi gaya yang secara tidak langsung menipu, melenakan, dan menjebak perempuan menjadi pribadi yang hilang. Demikian.

“Nasionalisme Kita”

Oleh Arif saifudin yudistira


Saya sudah biasa mendengar anak-anak kita tahu bapak Suharto. Sekaligus merasa iri dengan pak harto yang begitu popular sampai saat ini dibanding nama-nama lain seperti Sukarno, Muhammad hatta, Syahrir, dan lain-lain. Nama Pak Harto begitu popular dan begitu hangat menyapa generasi muda kita dibanding nama para founding fathers kita. Ketika ditanya siapa pak Harto rata-rata akan menjawab bapak pembangunan, bapak orde baru, dan lain sebagainya. Bahkan masih banyak pula orang tua kita atau bahkan diantara kita mengatakan : “Kalau saya boleh memilih, saya akan memilih hidup di jaman Suharto yang serba murah, serba makmur, serba mudah dari pada hidup di jaman SBY yang serba mahal, serba sulit, dan lain-lain”. Benak saya pun bergumam : barangkali nenek-nenek kita belum mengerti sejarah betapa kejamnya rezim Suharto, barangkali banyak generasi kita juga belum mengerti rezim suharto dibangun dengan berjuta darah dan kekejaman militer”.
Anak-anak dan generasi kita saat ini belum banyak mengerti sejarah yang digelapkan oleh orde baru selama 32 tahun itu. Selama itu pula saya tidak mengenal tan malaka bapak republic Indonesia yang dilupakan hingga saya masuk di perguruan tinggi. Itupun karena saya membaca buku-bukunya sendiri hingga saya mengenalinya. Tanpa saya membaca buku-buku tentangnya, dan karya-karyanya sendiri, barangkali selama hidup saya tidak akan mengerti tan malaka dan perjuangannya.
Pertanyaannya kemudian adalah apa pentingnya mengenal Tan malaka? apa pentingnya mengenal Sukarno, apa pentingnya mengenal Syahrir dan lain-lain?. Mengenal mereka adalah membaca Indonesia. Mengenal mereka adalah membaca semangat dan jiwa nasionalisme yang tak surut hingga akhir riwayat mereka. Kisah mereka adalah kisah tragis dan teladan yang tiada bandingnya tentang bagaimana memaknai perjuangan dan memaknai nasionalisme yang sesungguhnya.
Muhammad Hatta adalah tokoh yang gigih dengan konsepsi demokrasi ekonominya dengan konsep koperasinya, ekonomi Indonesia dan ekonomi kerakyatan bisa diwujudkan. Syahrir dengan kecerdasan berpolitiknya, sehingga ia ditakuti dan disegani oleh musuh-musuhnya. Dalam novel burung-burung manyar YB mangunwijaya bercerita : “ Mereka pun tahu;bukan Sukarno, tetapi syahrirlah musuh mereka yang paling berbahaya. Justru karena ia halus,justru karena ia berbahasa manusiawi dan tidak fanatic. Orang macam ini mudah sekali memikat opini dunia”. Begitupun Sukarno yang dikenal sebagai sosok orator yang ulung, tapi juga sebagai sosok pria yang romantis di keluarganya.
Dari merekalah kita akan mengenal indonesia. dari merekalah kita menemukan semangat dan pendapat yang berbeda-beda tapi dengan satu tujuan. Dengan satu cinta mereka untuk indonesia merdeka 100 %. Mereka dengan segala kelebihan dan kekurangan memperjuangkan dan merelakan hidupnya untuk indonesia tercinta.
Lalu, apa jadinya ketika sampai saat ini sejarah negeri ini masih saja belum bisa lurus?. Apa jadinya ketika anak-anak dan remaja kita lebih mengenal suharto tanpa tahu siapa sosok suharto yang sebenarnya?. Ketika hal ini terjadi, yang akan muncul adalah generasi yang hilang, generasi yang tak tahu arah, generasi yang tanpa pegangan.
Karena generasi yang tidak mampu membaca sejarah negerinya, adalah generasi yang jelas tidak mampu memahami pesan-pesan dan spirit para pejuang masa lalu, dan tidak bisa membaca karakteristik masyarakat kita, masa lampau, maupun membaca masyarakat kita di masa yang akan datang.

Jas Merah

Itulah pesan yang disampaikan oleh Sukarno JAS MERAH yang berarti jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sebab sejarah adalah kejadian yang bisa diambil pelajaran dalam membaca situasi masa lampau untuk pelajaran di masa saat ini dan yang akan datang. Generasi kita perlu tahu dan memahami riwayat perjuangan para pahlawan kita untuk meneladani, mengilhami, serta menjadikan semangatnya adalah semangat generasi kita saat ini.
Pagi itu, saya semangat sekali mengajar di SMP tempat saya praktek mengajar. Ketika itu saya mencoba menanyakan pada murid-murid saya kelas 3 SLTP, apakah ada diantara anak-anak yang kenal tan malaka?. Mereka serentak menjawab “tidak!”. Tapi ketika saya tanya apakah anak-anak tahu Suharto?. Serentak menjawab “tahu pak…..”. Mereka mengenal pak suharto sebagai presiden kedua republic indonesia, tapi mereka tidak mengenal tan malaka, bahkan terasa asing di mata anak-anak tersebut. Kemudian di malam harinya saya kenal anak mahasiswa baru sebuah universitas di jogja lewat account facebook saya, ia terkejut ketika nama account facebook saya diganti dengan nama “tan muda” ia memberikan komentar tan muda itu makhluk apa?. Tan malaka itu siapa?. Saya hanya bisa sejenak diam, dan merenungkan apa jadinya ketika anak muda dan generasi kita kedepan buta Indonesia. Buta sejarah negerinya. Barangkali nasionalisme kita akan menjadi nasionalisme gincu semata yang hanya gemerlap dan meriah ketika mau peringatan kemerdekaan saja.

Nasionalisme kita hanya akan menjadi nasionalisme lamisan, yang hanya sebagai ritus-ritus belaka tapi miskin esensi, miskin makna. Kita fasih mengikuti upacara bendera setiap hari senin, kita rutin mendoakan pahlawan kita ketika mengheningkan cipta, tapi kita hampa, kita masih meraba, siapa mereka? apa sumbangsihnya bagi negeri ini? apa yang dia tinggalkan untuk kita? dan semangat seperti apa yang mereka wariskan kepada kita?.

Bagaimana kita tahu dan memahami mereka, ketika guru-guru kita tidak mengenalkan pahlawan-pahlawan kita saat ini? pahlawan-pahlawan kita hanya dijadikan museum dalam kelas sebagai hiasan dinding kita dalam keseharian kita, tanpa tahu riwayat dan perjuangan mereka. Apakah kita salah mengajarkan sejarah pada anak-anak kita?. Barangkali ini pertanyaan yang layak kita ajukan kepada kita semua.
Mungkin ada benarnya, sebab pelajaran sejarah kita selama ini hanya dijadikan hafalan semata tanpa kemudian kita tahu dan memahami apa makna yang dikandung dibalik peristiwa sejarah yang ada selama ini. Sejarah kita begitu mahir, begitu luar biasa ketika diukur dengan score A, atau angka 100 tapi begitu miskin esensi ketika dibenturkan dengan budaya dan semangat generasi muda saat ini. Dahulu para founding fathers kita adalah pemuda yang rajin sekali membaca buku, tetapi juga rajin berorasi di depan rakyat kita. Dulu para founding fathers kita adalah tokoh yang bergulat melawan penjajah dengan gigihnya. Akan tetapi, saat ini remaja dan pemuda kita adalah remaja yang rajin dan rutin mengikuti buku mode dan model hape terbaru. Generasi muda kita adalah generasi yang rajin ke mall, rajin mengamati gossip-gossip artis kita.

Kontradiksi inilah yang ada sampai saat ini. Sejarah kita pun juga terbentur masalah kurikulum yang kadang belum juga keluar dari tembok-tembok yang mengikat lagi terkesan kaku. Bukankah sejarah adalah penyajian yang objektif dan jujur?. Tetapi ketika kita melihat pengajaran sejarah kita di sekolah-sekolah kita, kita masih saja sulit menemukan nama tan malaka, riwayat, serta perjuangannya. Anehnya, justru sejarawan belanda Harry.A.Poeze yang meneliti tentang dia, menghabiskan waktu berpuluh-puluh tahun untuk menemukan kisah tentangnya.

Padahal tan malaka adalah bapak yang merumuskan tentang indonesia pertama kalinya dengan brosur politiknya dalam naar de republic indonesia. Sehingga sejarah dan pengajaran sejarah kita di sekolah-sekolah perlu dibenahi. Untuk menegaskan kembali, bahwa sejarah adalah kompas, sejarah adalah kaca mata kita dan generasi muda kita untuk melihat lebih jelas bagaimana masa lampau diciptakan, bagaimana keadaan sekarang terbentuk, dan bagaimana masa depan akan dirancang. Tanpa pembenahan metode, tanpa pelurusan sejarah kita kepada generasi kita, maka mustahil bangsa ini akan menjadi bangsa yang kuat dan bermartabat.

Sejarah dan nasionalisme

Dalam buku roman patjar merah Indonesia, ivan alminsky atau alimin yang waktu itu bertemu dengan kekasihnya, ia mengatakan : “Kekasihku, cintaku padamu bukan main besarnya, akan tetapi cintaku pada tanah airku lebih besar lagi….lebih mempengaruhi diriku. Janganlah bujuk dan rayu aku supaya mengabaikan kewajibanku terhadap tanah airku…..karena dengan berbuat demikian sia-sialah kelak hidupku diatas dunia ini tidak hanya oleh kawan ataupun lawan”.
Sikap alimin tadi adalah sikap seorang yang mempunyai jiwa nasionalisme yang tinggi. Meski dia begitu cinta pada kekasihnya, tapi ia rela meninggalkan kekasihnya demi tanah air Indonesia yang masih dijajah. Riwayat tersebut tidak akan kita temukan ketika kita tidak membaca sejarah Indonesia. Meskipun ini adalah roman yang setengah fiksi setengah non fiksi, ini adalah kisah sejarah kita yang perlu dijelaskan pada generasi muda kita. Membaca sejarah kita bisa dilakukan dengan membaca buku-buku, karya, dan riwayat tentang para pahlawan dan pejuang kemerdekaan kita.
Kita juga akan menemukan betapa luar biasanya sosok tan malaka yang sepanjang hidupnya dihabiskan di pelarian dan di penjara. Riwayatnya menjadi misteri hingga saat ini, hidupnya dihabiskan untuk merumuskan dan memikirkan nasib negerinya. Sampai-sampai ketika ia menyampaikan pidatonya yang dihadiri jenderal sudirman dalam kongres persatuan perjuangan, jenderal sudirman menyatakan dukungannya dengan kesimpulan : “lebih baik di bom atom daripada merdeka kurang dari 100%”.
Sikapnya yang konsisten menjadikannya dimusuhi oleh kawan ataupun lawan. Pemikirannya brilliant, visioner dan futuristic. Sehingga ia seringkali berbeda pendapat dengan kawan-kawannya. Hingga banyak yang tidak tahu sejarah tentangnya menganggap tan malaka seorang yang atheis. Padahal ia adalah sosok yang hafidz al-qur’an. Tanpa membaca karyanya, riwayat tentangnya, kita pun tidak akan tahu siapa dia sebenarnya.
Oleh karena itu, dengan mengetahui sejarah para pejuang kita inilah, kita bisa mendalami semangat dan pesan-pesan yang bisa kita teladani untuk generasi muda kita. Tanpa mengetahui riwayat perjuangannya, membaca karyanya, mana mungkin kita akan tahu betapa sulit para pahlawan kita mempertahankan negeri ini, bagaimana mencintai negeri ini, dan bagaimana menerapkan sikap nasionalisme di era global saat ini.
Bangsa ini begitu kaya akan nama-nama pahlawan dan pejuang-pejuangnya mulai dari aceh sampai merauke. Dari laki-laki hingga pejuang perempuan. Para pahlawan itulah yang mencontohkan bagaimana kita bersikap dan memiliki jiwa nasionalisme yang sesungguhnya. Dengan membaca sejarah negeri ini, membaca riwayat pahlawan negeri kita, akan menjadikan kita orang yang bisa mengilhami, meneladani, dan menumbuhkan sikap nasionalisme yang kuat di dalam diri kita. Serta menumbuhkan kesadaran yang tinggi bahwa sejarah bangsa ini adalah sejarah yang penuh khazanah, penuh perjuangan, dan tidak dibangun dengan budaya foya-foya, tidak dibangun dengan budaya senang-senang, melainkan dibangun dengan semangat nasionalisme yang tinggi dengan semangat rela berkorban sebagai konsekuensinya.

Selasa, Oktober 05, 2010

Saatnya Kurangi Plastik Demi Bumi


Pada Sabtu (25/9), angin lisus menimpa di beberapa kawasan di Kota Solo, Jogja dan sekitarnya.

Angin lebat ini tidak biasa terjadi bila kita cermati. Bumi kita ini semakin panas, bumi kita ini sepertinya sudah tidak mampu menanggung bebannya lagi. Beban yang dimaksud adalah beban panas yang dikandungnya. Sehingga hujan yang tidak pada musimnya dan angin lisus yang tak wajar karena suhu yang tak menentu.

Isu global warming (pemanasan global) dan climate change (perubahan cuaca) sudah menjadi perhatian negara-negara dunia. Kelakuan manusialah yang mengakibatkan bumi ini sedemikian rupa. Gas emisi yang berlebihan, suhu udara yang tak menentu dan angin lisus yang ada beberapa hari lalu adalah salah satu akibat global warming.

Beberapa tahun yang lalu, saya mengikuti workshop koperasi se-Asia Pasifik. Tema yang diangkat adalah global warming and climate change. Di antara peserta tersebut berasal dari Jepang, Filipina dan Thailand. Beberapa di antara mereka terkejut karena tawaran yang diajukan dari Indonesia telah dilaksanakan oleh koperasi tersebut. Misalnya green product labelling (pemberian label buat produk hijau). Ini sudah dilaksanakan di negara-negara peserta workshop. Saya jadi merasa canggung untuk mengusulkan langkah konkret yang lain. Tanam pohon adalah hal yang seharusnya sudah menjadi praktik dan usaha kita, bukan lagi rekomendasi-rekomendasi semu.

Di negeri ini, kita sepertinya menemukan ironi yang sangat kentara antara teori dan praktik mengatasi pemanasan global ini. Kita masih saja boros soal kertas. Produk kertas dibuang dan tidak didaur ulang padahal kita tahu bahwa kertas berasal dari pohon hutan. Kita juga mengimpor sepeda motor dan mobil setiap tahunnya. Padahal asap kendaraan adalah penyumbang bagi kerusakan alam dan ketidakseimbangan alam kita ini.

Ironi lain adalah kita memperbanyak swalayan sampai masuk desa yang menyumbang plastik begitu besar dan sampah yang mengakibatkan tanah kita sempit dan semakin habis sehingga sampah berserakan di mana-mana.

Hipokrit

Sikap kita terhadap fenomena ini cenderung hipokrit. Ini tampak ketika kita tak kunjung berhenti menyalahkan pabrik, menyalahkan negara industri dan menyalahkan orang lain. Siapa yang bertanggung jawab terhadap semua ini? Kebanyakan dari kita sering mengatakan: pemerintah. Salah siapa ketika sudah seperti ini? Sebagian dari kita pun akan menjawab: pemerintah. Padahal sejatinya adalah tanggung jawab kita. Meski pemerintah adalah penanggung jawab utama, kita pun ikut bertanggung jawab untuk itu. Ini adalah kesalahan kita dan tanggung jawab kita.

Olah karena itu, salah satu solusi konkret yang bisa dilakukan di negeri ini adalah gerakan antiplastik dan pengurangan konsumsi kertas. Gerakan antiplastik adalah salah satu strategi nyata untuk mengatasi global warming dan climate change. Dengan mengurangi plastik dalam kehidupan, kita telah memberikan sumbangsih setidaknya untuk mengurangi panas di bumi ini. Bisa dibayangkan, seandainya manusia setiap hari membuang plastik di bumi ini, padahal bumi kita hanya satu.

Gerakan ini bisa dilakukan dengan : pertama, say no to plastic! Ini bisa kita lakukan dengan menolak pemberian plastik ketika berbelanja di supermarket atau pasar. Kedua, membuang sampah pada tempatnya. Dengan cara itu, kita telah mengurangi polusi.

Ketiga, suarakan dan laksanakan. Dengan menyuarakan kepada setiap keluarga, teman dan lain-lain untuk melakukan gerakan antiplastik, akan memberikan solusi konkret dari bahaya global warming. Keempat, mengurangi dan menghentikan impor barang teknologi, maupun kendaraan yang menyumbang emisi. Misalnya dengan membatasi impor kendaraan bermotor dan mobil akan mengurangi polusi dari emisi yang ditimbulkan dari gas buang CO2.

Terakhir, mengurangi dan membatasi penggunaan kertas. Dengan mengurangi dan membatasi penggunaan dan konsumsi kertas kita, kita sudah menghemat hutan dan pohon kita untuk tidak digunduli dan dihabisi. Kita sudah harus sadar bumi ini akan menimbulkan bencana dan hal-hal lain adalah akibat dari tangan kita sendiri. Apakah kita harus menunggu Tuhan memperingatkan kita? Tentu tidak begitu. -
Oleh : Arif saifudin yudistira
Penulis adalah mahasiswa UMS, presidium kawah institute indonesia, diterima di SOLO POS selasa, 5 oktober 2010