Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Minggu, Desember 26, 2010

Jalan Politik Mengatasi Cyber Crime

Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
“ Tehnologi bila diterapkan secara selektif akan bermanfaat bagi tujuan tehnologi”
Cyber crime menurut saya, tidak jadi masalah, karena itu permainan para elit saja. Dampaknya pun tidak signifikan bagi orang miskin, itulah alasan saya mengapa cyber crime tak masalah. Sebab, itu hanya permainan para hecker-hecker yang menguntungkan para bankir-bankir


Pertanyaan yang muncul sebelum kita menganalisa dan memperbicangkan lebih jauh dampak positif dan negative dunia cyber. Maka mau tidak mau kita perlu memperbicangkan dan meninjau ulang sejauh mana teknologi kita saat ini berguna bagi kehidupan manusia atau malah sebaliknya justru meringkus manusia dalam dunia yang diciptakannya.
Sejarah revolusi industry di awal abad 19 muncul karena manusia memerlukan teknologi untuk efisiensi, efektifitas dan kelancaran kepentingan manusia diantaranya peningkatan proses produksi dan keperluan distribusi serta kelancaran aktifitas ekonomi lainnya. Meski satu sisi membawa kelebihan, tapi di sisi lain, teknologi pun menimbulkan pola budaya manusia yang berubah. Baik berefek pada pola budaya konsumsi, pola budaya virtual dan memuja dunia yang
Akibatnya, di era modernitas saat ini, atau sering disebut oleh Alvin toeffler dengan gelombang ketiga. Terjadi Perubahan-perubahan yang tiba-tiba atau sebaliknya peristiwa-peristiwa kecil yang -sering kebetulan- yang kadang-kadang berkembang menjadi kekuatan-kekuatan raksasa yang eksplosif .
Maka tidak heran, dalam setiap hari arus informasi yang berputar cepat saat ini menimbulkan manusia sesak dan membutuhkan ruang imaji dan ruang ekspresi, serta hiburan dengan tujuan ingin menciptakan ruang tersendiri bagi kepuasan dirinya. Selain itu, era modern menuntut ruang virtual dijadikan pengganti komunikasi, bisa diartikan komunikasi mati karena yang ada hanyalah komunikasi antara benda dengan benda . Ini pun pernah ditulis oleh Adorno “fetisisme komoditi yang di dalamnya relasi social diubah menjadi relasi-relasi antar benda” .
Saat ini ruang komunikasi digantikan dengan relasi antar benda seperti adanya handphone, email, ATM, dan alat-alat komunikasi lainnya diantaranya internet. Facebook, twitter, blog, dan lain-lain selain menjadi ruang komunikasi virtual, saat ini menjadi ruang bisnis, ekonomi, transaksi politik, terjadi disana.

Hal ini memungkinkan terjadinya kejahatan yang melanda pada dunia cyber. Karena batas –batas maya dan nyata sepertinya tidak mampu lagi dibedakan dan cenderung absurd. Tantangan manusia semakin kompleks dihadapkan dengan kebutuhan dan keinginan manusia yang semakin kompleks, maka tidak heran persoalan yang muncul pun serasa semakin kompleks.
Kasus situs wikileaks yang membongkar data-data dari amerika, Indonesia, yang begitu mencemaskan SBY, kasus prita beberapa waktu lalu, kasus pemerkosaan yang berawal dari komunikasidi situs jejaring social, dan lain-lain adalah salah satu bentuk kriminalisasi dalam dunia cyber[cyber crime].
Persoalan cyber crime muncul tidak lain dan tidak bukan adalah akibat dari pola budaya manusia dan permasalahan manusia. Sebab, manusialah yang berkecimpung, bergelut, dan menggunakan teknologi sebagai sarana untuk kepentingannya. Ketika ditinjau dari factor sosiologis, yang kemudian penting adalah bagaimana adanya teknologi tidak menimbulkan kerusakan ekologis, kerusakan ekosistem, dan juga kerusakan mentalitas manusia.
Sebagaimana yang dikemukakan soedjatmoko : “Manusia dihadapkan kembali persoalan-persoalan pokok yang sebenarnya sudah dihadapinya semenjak dia menyadari dirinya sebagai manusia tukang, homofaber”. Persoalan yang dihadapi manusia sekarang lebih gawat lagi. Sejauh dia hidup dalam Negara-negara industrial, persoalan yang dihadapinya ialah bagaimana manusia dapat menguasai teknologi dan dapat mengendalikannya untuk mewujudkan masyarakat yang lebih human. Sejauh manusia hidup di Negara miskin, persoalannya ialah bagaimana dia dalam menggunakan teknologi.Ia dapat menghindari untuk dikuasasi oleh teknologi Negara-negara kaya .
Setiap kali dihadapkan pada tantangan-tantangan baru,suatu bangsa perlu memperbaharui diri dalam hal memberikan respons. Oleh karena itu, Redefinisi system nilai dalam setiap peralihan sejarah atau lebih tepatnya kemampuan untuk memperbaharui konfigurasi nilai-nilai sesuai dengan keperluan baru adalah cirri kontinuitas dan vitalitas suatu bangsa .
Teknologi dalam hal ini adalah fenomena cyber crime adalah bentuk-bentuk tantangan baru itu. Maka selain dari sisi undang-undang atau aturan hukum yang sudah ada, Perlu juga mengatasi pola budaya kita yang cenderung narsis dan sering kali kejahatan dalam dunia cyber ini tidak disadari.
Ini sebenarnya sudah diamati jauh oleh Alvin toeffler dalam bukunya “the third wave” yang membaca fenomena-fenomena kini. Diantaranya fenomena ekonomi virtual. “Jaringan kerja bank-bank yang luas, termasuk kelompok city bank, kelompok Barclay, sumitomo, Credit Swise,dan bank nasional Abu Dhabi,menciptakan sebuah balon “ mata uang tanpa Negara”uang dan kredit diluar penguasa individual yang mengancam akan meledak di depan wajah setiap orang.
Dengan fenomena itulah muncul uni Europe, muncul mata uang dollar amerika, muncul pula bank asia, dan lain sebagainya. Yang secara tak sadar menembus batas-batas Negara pada satu sisi, dan di sisi lain, transaksi-transaksi yang ada melalui transaksi virtual. Sebagaimana dengan jaringan terorisme pun menggunakan dunia cyber sebagai sarananya. Begitupula para konspirator dan komparador yang ada dinegeri ini. Di Jakarta, sebelum amandemen dan ketika pembuatan undang-undang di DPR. Sudah muncul di sekeliling mereka, para investor dan para pihak asing yang menaruh kepentingan terhadap undang-undang tersebut.
Dengan berbagai persoalan di dunia cyber dan realita yang ada saat ini, pemerintah kita dihadapkan oleh pertanyaan substansial. Bagaimana Negara memenuhi hak-haknya sebagai pelindung hak-hak asasi manusia melalui lembaga-lembaga yang berperan di dalamnya pada satu sisi. Dan di sisi lain, bagaimana Negara mensejahterakan dan memenuhi hak-hak ekosob warganya sehingga tidak menimbulkan kejahatan baik pada dunia realita, maupun dunia cyber.
Karena pada dasarnya kejahatan muncul sebagai ekspresi-ekspresi ketidakpuasan manusia akan kekurangan dan krisis di dalam dirinya. Misalnya saja munculnya terorisme akibat ketidakpuasan sekelompok orang akan kebijakan SBY yang inferior terhadap bangsa asing. Hal ini perlu diperhatikan pada satu sisi. Agar kita bisa mempolitisasi teknologi, bukan sebaliknya teknologi mempengaruhi kita dalam pengambilan kebijakan politik.
Di sisi lain, perlu kiranya penanggulangan kejahatan yang ditimbulkan oleh generasi muda terhadap penyalahgunaan internet dengan cara menyadarkan kembali peran dan fungsi teknologi sebagai alat untuk mencapai tujuan social, memenuhi aspirasi-aspirasi manusia,sesuai dengan keperluan kita, dihadapkan dunia kita yang semakin padat dan sempit.




*) Penulis adalah Aktivis IMM, DEPLU BEM UMS ,makalah disampaikan dalam seminar cyber crime BEM UMS 21 desmeber 2010

De- Sakralisasi Liburan

Oleh Arif saifudin yudistira*)
Liburan menjadi waktu yang amat ditunggu-tunggu manusia modern untuk sekedar melepaskan kepenatan, atau sekedar untuk mengisi waktu luang. Liburan pun menjadi hari yang ditunggu-tunggu bagi karyawan yang sibuk dengan aktifitas kerjanya. Manusia modern membutuhkan tempat untuk lepas dari aktifitas-aktifitas mekanik mereka. Lyotard pernah mengatakan ini dalam bukunya nirmanusia : “Kecerdasan manusia digantikan oleh kecerdasan artificial[AI] suatu saat kelak kehidupan pun bakal beralih pada kehidupan artificial “. Apa yang terjadi ketika kehidupan pun beralih dari kehidupan artificial. Aktifitas kita adalah aktifitas buatan. Yang didesain oleh kekuatan besar, yang disetting sedemikian rupa, sehingga manusia tak lagi memiliki identitas diri.
Imaji akan kesenangan dan hiburan pun dimunculkan oleh media sebagai daya tarik bagi para pekerja kantor, bagi para pejabat, bagi para mahasiswa, untuk menikmati sejenak keindahan-keindahan yang muncul sewaktu liburan. Tak heran, Koran-koran, televise, dan radio kerap menayangkan iklan yang luar biasa dengan berbagai model. Ada paket wisata ke bali murah meriah, ada paket liburan ke Singapore, paket liburan hemat,bahkan ada juga paket liburan ruhani.
Dimana kemudian kita menemukan sosok religiositas ketika hal-hal yang bermakna religi pun ditempatkan dalam paket wisata liburan. Kita memiliki minat besar akan hal-hal yang popular, daripada hal-hal yang substantive. Religiositas yang semula sacral kini menjadi profan berbenturan dengan pola budaya kita yang mengagungkan kenikmatan artificial.
Kebiasaan ini pun seperti dicontohkan oleh wakil rakyat kita. Para anggota DPR dan pejabat-pejabat kita pun tak jauh berbeda. Mereka mengisi liburan mereka dengan belanja dan plesir di luar negeri dengan dibungkus dengan kata yang lebih akademik “ studi banding”. Tanpa sadar, budaya menikmati liburan hanya sekadar menghabiskan uang dan memperoleh kepuasan sudah menjadi budaya massal.
Begitu pun dengan hari libur agama. Kita begitu ramai dengan aktifitas yang tak sacral lagi. Natal yang sebentar lagi tiba tidak lagi menggambarkan sebagaimana jejak cultural pada waktu itu. Natal yang seharusnya menjadi moment perenungan dan hari yang sacral, kini hanya sebagai sebuah rutinitas yang tak beda dengan hari-hari biasa. Umat Kristen pun mahfum bukan pada penghayatan dan makna natal, akan tetapi justru menikmatinya dengan memenuhi mall-mall dan tempat belanja favorit mereka.
Maka tak heran, natal pun menjadi ajang eksistensi dan perlombaan identitas social. Seakan-akan dengan pohon natal yang mahal, nilai dan tingkat religiositasnya menjadi semakin tinggi. Kita tak bisa membayangkan ketika kaum papa merayakan hari raya natal yang harus mengeluarkan kocek begitu banyak.
Tak hanya libur natal yang kemudian kehilangan kesakralannya. Libur tahun baru pun demikian halnya. Tahun baru yang menjadi moment perenungan dan bahkan dengan puasa, kini tak lagi demikian. Kini, tahun baru lebih identik dengan trek-trekan motor, kembang api, makan bareng, dan hal-hal yang bersifat materialis semata. Kini liburan hanya sekedar diisi dengan wisata, belanja, jalan-jalan yang tak lepas dari sekedar memenuhi hasrat dan nafsu konsumsi.
Liburan menjadi kebutuhan orang untuk sekedar memenuhi dokumentasi pribadi, foto-foto, video pribadi untuk ajang narsis di facebook. Kebiasaan manusia modern telah benar-benar menggeser nilai dari liburan itu sendiri. Tak hanya itu, Indonesia memiliki hari libur nasional terbanyak, terbanyak pula tingkat konsumsinya ketika liburan tiba. Kita begitu ramai dengan hari libur nasional, tapi seakan miskin pemaknaan. Betapa kita telah berubah, menghilangkan makna hari libur yang dikultuskan menjadi hari libur yang berlalu begitu saja.
Ketika liburan kehilangan maknanya, maka yang muncul adalah rutinitas-rutinitas yang mengarah pada pola budaya konsumsi dan budaya popular semata. Kita semakin kehilangan makna dan indentitas cultural kita. Liburan kini tak lagi menyimpan rekam jejak cultural itu. Hal ini senada dengan yang dikatakan Thomas Carlyle dalam “works” : “Manusia semakin mekanis baik dalam kepala,hati maupun tangannya...seluruh upaya, rasa keterikatan, dan pendapat mereka mendorong mekanisme dan karakter mekanis[29]Thomas carlyle ” works”.
Konser musik, temu artis , lomba-lomba keluarga kini menjadi contoh nyata aktifitas liburan yang dimunculkan dan dikemas dengan kemampuan iklan dan pelibatan dunia entertaintment yang begitu intim.Mungkinkah liburan masih tetap sacral sebagai hari yang penuh dengan pemaknaan dan identitas cultural kita?. Atau sebaliknya, liburan adalah perayaan bagi para entertaintment, industry pariwisata, dan industry lainnya?. Sepertinya modernitas tak mampu membuat manusia-manusianya bertahan dengan identitas dirinya, meski hanya pada satu pola budaya massal yakni de sakralisasi liburan. Begitu.


Penulis adalah mahasiswa UMS, Aktif di forum diskusi perkotaan “balai sudjatmoko”, bergiat di komunitas tanda tanya.