Semiotika Tikus sampai dengan “Cicak Melawan Buaya”
Oleh Arif saifudin yudistira*)
Paul Ricouer dalam filsafat wacana mengatakan, “Apa yang terjadi dalam tulisan adalah manifestasi sepenuhnya dari sesuatu yang berada dalam keadaan virtual, sesuatu yang bermuncul dan bermula dalam pembicaraan yang hidup yakni pemilahan makna dari peristiwa.
Dari pernyataan Paul Ricouer tadi kita bisa melihat, bahwasannya pemunculan istilah “tikus kantor” sampai pada cicak melawan buaya adalah sesuatu yang muncul dari pemilahan makna dan peristiwa. Selain itu, pemunculan istilah ini juga bermula dari pembicaraan yang sebelumnya ada dalam era virtual pula. Misalnya pada dunia facebook.
Misalnya pada kata “tikus” kata tikus disetarakan dengan koruptor. Iwan Fals dengan apik menggambarkan dalam lagunya yang berjudul “tikus kantor”. “ Kisah usang tikus-tikus kantor yang suka berenang di sungai yang kotor”,Kisah usang tikus-tikus berdasi yang suka ingkar janji lalu sembunyi”. Tikus-tikus tak kenal kenyang, rakus-rakus bukan kepayang.
Koruptor dianggap seperti tikus kantor yang suka berenang di sungai yang kotor. Artinya, koruptor sangat senang meskipun hidupnya dalam kehinaan dan kenistaan dan tidak malu melakukan perbuatan yang jijik. Tikus atau koruptor juga dianggap sebagai seseorang yang rakus karena kebanyakan koruptor adalah pejabat tinggi yang notabene hidup berkecukupan dengan gaji yang cukup tinggi.
Metafora inipun juga pernah diungkapkan oleh Monroe beardsly sebagai puisi miniatur. Sedang menurut Paul Ricouer dalam buku filsafat wacana menjelaskan tentang metafora “ ia merepresentasikan perluasan makna dari suatu nama melalui deviasi dan makna kata literal. Secara simbolis, ketika melihat fenomena saat ini, sangat tidak mungkin jika dilihat dari realita. Bagaimana mungkin “Cicak bisa melawan Buaya”.
Kembali pada semiotika, istilah cicak , tikus, dan buaya hanyalah iconitas yang merupakan pengilhaman sesuatu yang riil secara lebih riil dari pada realitas. Karena secara realitas tidak mungkin kemudian cicak menangkap tikus apalagi melawan buaya.
Sama halnya dengan istilah “Cicak melawan Buaya”. KPK disini digambarkan melawan musuh-musuhnya yang besar, yaitu anggodo karena dianggap mafia peradilan. Yang bisa memainkan hukum dan peradilan dengan uang dan kekuasaannya.
Pengistilahan Cicak melawan Buaya sah-sah saja dalam era kekinian, Akan tetapi, gerakan rakyat dalam dunia maya akan menjadi simbolisasi semata dalam menegakkan keadilan di negeri ini.
Akan sangat ironi ketika gerakan mahasiswa saat ini bisa teriak-teriak di dunia maya “lawan koruptor” tapi enggan turun ke jalan bersama rekan-rekan lainnya menyuarakan suaranya dalam dunia realita.
Semiotika “ Cicak melawan Buaya” adalah simbolisasi perlawanan yang tidak hanya disuarakan dalam dunia maya, tetapi perlu diaktualisasikan dalam kehidupan nyata kita.
*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, alumnus LPMF FIGUR UMS.
Paul Ricouer dalam filsafat wacana mengatakan, “Apa yang terjadi dalam tulisan adalah manifestasi sepenuhnya dari sesuatu yang berada dalam keadaan virtual, sesuatu yang bermuncul dan bermula dalam pembicaraan yang hidup yakni pemilahan makna dari peristiwa.
Dari pernyataan Paul Ricouer tadi kita bisa melihat, bahwasannya pemunculan istilah “tikus kantor” sampai pada cicak melawan buaya adalah sesuatu yang muncul dari pemilahan makna dan peristiwa. Selain itu, pemunculan istilah ini juga bermula dari pembicaraan yang sebelumnya ada dalam era virtual pula. Misalnya pada dunia facebook.
Misalnya pada kata “tikus” kata tikus disetarakan dengan koruptor. Iwan Fals dengan apik menggambarkan dalam lagunya yang berjudul “tikus kantor”. “ Kisah usang tikus-tikus kantor yang suka berenang di sungai yang kotor”,Kisah usang tikus-tikus berdasi yang suka ingkar janji lalu sembunyi”. Tikus-tikus tak kenal kenyang, rakus-rakus bukan kepayang.
Koruptor dianggap seperti tikus kantor yang suka berenang di sungai yang kotor. Artinya, koruptor sangat senang meskipun hidupnya dalam kehinaan dan kenistaan dan tidak malu melakukan perbuatan yang jijik. Tikus atau koruptor juga dianggap sebagai seseorang yang rakus karena kebanyakan koruptor adalah pejabat tinggi yang notabene hidup berkecukupan dengan gaji yang cukup tinggi.
Metafora inipun juga pernah diungkapkan oleh Monroe beardsly sebagai puisi miniatur. Sedang menurut Paul Ricouer dalam buku filsafat wacana menjelaskan tentang metafora “ ia merepresentasikan perluasan makna dari suatu nama melalui deviasi dan makna kata literal. Secara simbolis, ketika melihat fenomena saat ini, sangat tidak mungkin jika dilihat dari realita. Bagaimana mungkin “Cicak bisa melawan Buaya”.
Kembali pada semiotika, istilah cicak , tikus, dan buaya hanyalah iconitas yang merupakan pengilhaman sesuatu yang riil secara lebih riil dari pada realitas. Karena secara realitas tidak mungkin kemudian cicak menangkap tikus apalagi melawan buaya.
Sama halnya dengan istilah “Cicak melawan Buaya”. KPK disini digambarkan melawan musuh-musuhnya yang besar, yaitu anggodo karena dianggap mafia peradilan. Yang bisa memainkan hukum dan peradilan dengan uang dan kekuasaannya.
Pengistilahan Cicak melawan Buaya sah-sah saja dalam era kekinian, Akan tetapi, gerakan rakyat dalam dunia maya akan menjadi simbolisasi semata dalam menegakkan keadilan di negeri ini.
Akan sangat ironi ketika gerakan mahasiswa saat ini bisa teriak-teriak di dunia maya “lawan koruptor” tapi enggan turun ke jalan bersama rekan-rekan lainnya menyuarakan suaranya dalam dunia realita.
Semiotika “ Cicak melawan Buaya” adalah simbolisasi perlawanan yang tidak hanya disuarakan dalam dunia maya, tetapi perlu diaktualisasikan dalam kehidupan nyata kita.
*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, alumnus LPMF FIGUR UMS.