Oleh Arif saifudin yudistira*)
”Tuhan kami adalah nurani,neraka dan surga kami adalah nurani kami. Dengan melakukan kejahatan, nurani kamilah yang menghukum kami,dengan melakukan kebajikan nurani kami pulalah yang memberi kurnia”[surat kartini 15 agustus 1902 pada nyonya EC.abendanon,ditulis kembali oleh pramudya dalam buku ”panggil aku kartini saja”]
Sepertinya kita akan sulit mengakui bahwasannya secara falsafati apa yang dikatakan kartini ada benarnya. Mungkin kita akan beranggapan bahwasannya karting sudah atéis, bahwa kartini sosok yang liberal dan apapun itu dalam cara pandang konservatif.
Menurut karting nurani memang menjadi nilai atau patokan dasar seseorang mengamalkan religiositas yang hakiki. Sebab ketika seseorang yang religius, tentu nuraninya akan berbicara jujur. Ia sudah tidak lagi memandang, apalagi membedakan status agama seseorang ketika nurani berbicara.
Esensi ketuhanan sebenarnya akan mampu menjelma dalam kehidupan manusia ketika manusia sudah menyatu atau mampu menuruti kehendak-kehendak Tuhannya. dalam falsafah Jawa kita mengenal istilah
”manunggaling kawula gusti”. Yang dimaknai bahwasannya apa yang dilakukan oleh seluruh tubuhnya, aktifitasnya, adalah kehendak Tuhan, kehendak nurani.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa di negeri ini masih saja ada semacam konflik laten yang kemudian mengatasnamakan agama?. Negeri ini sudah cukup lelah dilanda dengan berbagai konflik atas nama agama. Dari berbagai permasalahan tentang konflik antar masyarakat beragama sampai dengan kasus terbaru mengenai terorisme yang juga terkesan menyudutkan salah satu agama tertentu.
Konflik yang terlampau panjang dan berlebihan ini seringkali menimbulkan fanatisme yang sempit, yang bukan hanya memperlebar konflik, tapi juga menambah masalah baru. Tekanan psikologis, sosial, maupun budaya akan menyebabkan umat agama tertentu kemudian mengalami ”syndrome fanatisme religius” yang berlebihan.
Ketika hal ini terus dan senantiasa di biarkan, maka tidak heran yang muncul ketika di ceramah-ceramah di gereja, kotbah-kotbah di masjid, dan upacara-upacara keagamaan adalah hujatan kepada kelompok agama tertentu. Dalih pun dikeluarkan bukan hanya dengan ayat-ayat Tuhan, akan tetapi juga atas nama moralitas agama tertentu.
Ini sangat mengkhawatirkan bagi kebhinekaan kita. Menyelami hakikat ketuhanan bukan hanya kemudian kita menjalankan ibadah-ibadah sebagai sebuah rutinitas, melainkan mulai pada tahap aplikasi dalam kehidupannya. Sebagaimana dengan Betrand Russel yang ia juga menulis buku ”Bertuhan tanpa agama” dimaknai kita menyembah dan mengaplikasikan nilai-nilai ketuhanan tanpa harus diembel-embeli label agama.
Pejuang revolusioner indonesia tan malaka pernah pula mengatakan :
”ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan muslim”.Secara tidak langsung tan malaka pun sudah memberi contoh kepada kita generasi penerusnya, agama sebenarnya bukanlah pada sisi merk atau sesuatu yang bermakna simbolis semata. Meski kita butuh simbol sebagai sebuah identitas keagamaan kita.
Menyikapi pluralisme Kenyataan yang ada pada negeri ini dengan berbagai keanekaragaman dan masyarakat yang plural mengajarkan kita bahwa perbedaan adalah rahmah. Keanekaragaman tersebut termasuk adalah keanekaragaman dalam agama dan pengamalan praktek keagamaan. Sudah menjadi fitroh bahwasannya kita itu diciptakan dengan keanekaragaman.
Pluralisme yang menjadi isu yang hangat yang difahami oleh beberapa kelompok atau agama tertentu seringkali disalah artikan. Pluralisme menurut frans magnis suzeno dimaknai sebagai ”menerima segala perbedaan di antara kita”. Perbedaan tersebut dilihat bukan hanya dari sisi agama, akan tetapi dilihat juga dari sisi yang lain, seperti bahasa, suku, kebudayaan, dan sebagainya.
Akan tetapi, pluralisme oleh beberapa kelompok agama tertentu dimaknai secara sempit yaitu semua agama itu benar. Sehingga gesekan-gesekan antar kelompok agama tertentu menjadi tidak terhindarkan. Sikap menerima, menghargai perbedaan, serta menyikapi segala perbedaan itu dengan arif diperlukan di negeri yang plural ini.Dengan begitu,
pluralisme yang dimaknai dan dijunjung tinggi secara bijak bukan menimbulkan konflik, akan tetapi menimbulkan semangat persatuan dan toleransi yang tinggi.
Memaknai ReligiositasSlamet Gundono pernah mengatakan bahwa sederhananya ”agama itu untuk manusia”.Artinya ketika orang yang beragama kemudian menyakiti sesama manusia, orang yang beragama tapi masih merusak alam, orang yang beragama masih menimbulkan keresahan bagi manusia lain, maka tidak berartilah agama manusia tersebut.
Religiositas perlu dimaknai sebagai sesuatu yang bukan lagi eksklusif, tabu, bahkan menakutkan. Makna agama akan tereduksi menjadi sesuatu yang remeh, bahkan ditinggalkan ketika demikian halnya. Memaknai agama yang seperti ini memang bukanlah hal yang mudah. Seringkali dalil-dalil agama begitu difahami secara tekstual dan dimaknai secara sempit, sehingga apa yang sering kita sebut dengan dakwah, atau penyebaran agama dipandang sebagai sesuatu yang keras, menakutkan,dan lain-lain.
Sayang sekali forum-forum kerukunan umat beragama masih saja belum menyentuh pada persoalan substansial yang dihadapi oleh masalah-masalah kemanusiaan dan kebangsaan. Yang seringkali dibicarakan masih saja berkisar pada persoalan-persoalan bagaimana menanggulangi konflik,menanggulangi gesekan antar umat beragama. Para tokoh agamawan belum mulai memikirkan bagaimana kemudian umat beragama bisa bersama-sama memerangi kapitalisme, bagimana umat ini bersatu memerangi kemiskinan, kebodohan, permasalahan kesehatan, dan lain-lain.
Sehingga agama untuk manusia, untuk rahmat seluruh alam bukan menjadi sesuatu yang utopi melainkan sebuah usaha dan praktek yang terus-menerus menjadi cita-cita semua agama. Bukankah semua agama menolak kemiskinan, bukankah agama juga menolak kekerasan, dan kebiadaban?.
Teologi Pengharapan Sigmund Freud pernah mengatakan ”agama adalah ilusi karena ia tidak dilandaskan pada rasionalitas”.Pernyataan Freud tidak bisa kita benarkan seluruhnya tapi juga tidak baik ketika kita nafikkan seluruhnya. Yang menjadi titik tekan disini adalah agama-agama kita pada umumnya memang disiarkan dan dikabarkan melalui teologi pengharapan. Harapan-harapan surga, harapan-harapan kedamaian, bahkan juga gambaran neraka yang tidak bisa kita tangkap dalam bayangan pun.
Harapan-harapan itulah yang kemudian memberikan pengaruh, motivasi, dorongan, dan cita-cita. YB mangun wijaya pernah mengungkapkan ini dalam roman burung-burung manyar “ Manusia tanpa harapan, ia mayat berjalan”.
Dari situlah kemudian, harapan-harapan agama mempunyai titik temu dalam melawan musuh bersama. Cita-cita ini tidaklah berlebihan ketika semua agama memiliki satu visi-misi yang sama. Misalnya cita-cita akan perdamaian, cita-cita melawan kemiskinan, kejahatan, dan lain sebagainya.
Yang akhirnya, memaknai religiositas sejati tidak lain adalah merumuskan, memikirkan kembali dan bekerjasama untuk senantiasa mencari dan menemukan solusi dari pada masalah-masalah keumatan. Yang kesemuanya itu membutuhkan kerelaan hati, legowo[ikhlas] menerima perbedaan yang ada, serta menepiskan rasa curiga.
*) Penulis adalah presidium kawah institute indonesia, Tulisan dimuat di majalah bhinneka juni 2011